012

486 46 9
                                    

Aku menghela nafasku dan kembali melangkahkan kakiku kembali menuju kamarku. Kubuka pintu itu perlahan dan tentu kedua orang itu kini kelabakan karena aku kembali ke dalam kamar.

"Dikasih apa sama gus Alif?"

"Kalian deket ya?"

"Jangan-jangan kamu masuk ke pesantren ini lewat jalur dalem ya?"

"Atau? Kamu ini pacarnya gus Alif?"

Cecar keduanya bahkan sebelum aku mendudukkan tubuhku. Aku menghela nafasku dan meletakkan apa yang tadi Alif berikan padaku ke hadapan mereka.

Mereka tiba-tiba terdiam dan menatap tumpukan baju dan juga selimut itu penuh tanda tanya.

"Gus Alif kasih ini semua ke kamu?" Pekik keduanya benar-benar terkejut dengan apa yang mereka lihat sementara aku hanya menganggukkan kepalaku mengiyakan.

"Haa? Yang bener?" Tanya Ratna seolah masih tak percaya.

"Kan tadi kita juga lihat sendiri Asri!" Sahut Warda yang masih membolak balik baju-baju itu.

"Ini kan baju merek yang baru-baru ini hit yang harganya nggak murah ituloh. Beneran gus Alif kasih ini ke Mina?" Timpa Ratna masih tak percaya.

Aku hanya terdiam, toh tak ada gunanya juga mereka mau percaya atau tidak, itu bukanlah hal besar yang mengharuskanku untuk menjelaskan semuanya pada mereka.

"Atau,,,, kalian beneran punya hubungan spesial ya?" Celetuk Ratna yang masih kekeh.

"Kamu calon istrinya gus Alif ya?!" Pekik Warda dengan kedua bola matanya yang membelalak lebar.

Mendengar hal itu tentu saja aku mengerenyitkan dahiku, bagaimana mungkin aku adalah calon istrinya Alif, kami saja baru bertemu dua hari yang lalu di jembatan.

Meskipun memang benar jika kami memiliki hubungan spesial. Hubungan antara orang yang menyelamatkan dan orang yang diselamatkan, tak lebih.

"Bukan!" Tolakku tegas, namun sepertinya nereka tak akan mempercayai perkataanku sampai aku menceritakan semuanya pada mereka.

"I-ini di taruh di lemari yang mana?" Tanyaku berusaha untuk mengalihkan topik pembicaraan, namun sia-sia saja karena mereka masih menatap ku penuh curiga dan juga penasaran.

*****

Tepat pukul 04.00 pagi aku terbangun dengan mataku yang rasanya masih sangat berat untuk terbuka. Aku terbangun bukan tanpa alasan melainkan karena Warda dan Ratna yang terus menggoyang-goyangkan badanku.

"Apaan sih?" Tanyaku yang belum sepenuhnya sadar.

"Bangun, cepet mandi habis itu kita jamaah subuh." Jawab Warda yang sudah mengenakan pakaian oversize serba putih.

"Jamaah subuh ke mana?" Tanyaku asal sambil meregangkan tubuhku.

"Ya ke masjid lah ukhti yang paling cantik jelita,," sahut Ratna yang juga memakai pakaian yang sama seperti yang dikenakan oleh Warda, namun anehnya pakaian mereka tak memiliki jahitan lengan dan langsung terhubung dengan kepala mereka.

"Ini kenapa kalian pakai pakaian kayak gini?" Tanyaku lagi yang masih belum mengerti.

"Ya masa shalat pakai handuk mandi sih Mina,,, kan harus pakai mukenah." Jawab Warda cepat dan kembali memintaku untuk segera bergegas mandi.

Baru kali ini aku melihat pakaian yang seperti itu, dan ternyata namanya adalah mukenah.
Selama ini aku selalu berada di lingkungan yang dengan lingkup nonis, dan kebanyakan itu orang-orang Chinese, lebih tepatnya Chindo.

Terlebih mulai dari pendidikan dasarku saja aku sudah di sekolahkan di sekolah internasional, dan saat kuliah pun aku mengambil universitas luar negri karena tuntutan orang tuaku juga pastinya.

Dengan rasa kantuk yang masih menemaniku aku mulai berjalan keluar dengan sebuah gayung beserta peralatan mandi dan juga handuk yang tadi Warda berikan padaku.

"Ini masih jauh?" Tanyaku lirih.

"Udah deket, tinggal jalan sebentar sampai ke ujung sana." Jawab Ratna yang bertugas mengantarku ke kamar mandi karena ini kali pertamaku ke kamar mandi.

Tak berselang lama akhirnya kami sampai di kamar mandi yang berjajar 4 itu, dan anehnya banyak sekali yang berbaris di depan masing-masing pintu kamar mandi itu.

"Kenapa pada baris semua gini?" Tanyaku spontan.

"Ya kan harus antri dulu buat ke kamar mandi sayangku cintaku." Jawab Ratna yang sepertinya sudah lelah dengan seabrek pertanyaan yang keluar dari mulutku.

"Ohh antri dulu,,," gumamku manggut-manggut sembari mencoba menghitung antrian di depanku yang ternyata hanya ada 4 orang saja.

Kami menunggu cukup lama hanya untuk bisa masuk ke dalam kamar mandi. Bahkan sebenarnya aku merasa sangat malas tadi, karena toh biasanya aku bangun tidur dan mandi saat matahari sudah sepenuhnya naik, tapi di sini mereka semua sudah bangun bahkan saat sebelum matahari terbit.

"Kalian setiap hari bangun jam segini ya?" Tanyaku karena merasa bosan.

"Iya. Udah cepet sana masuk ke dalem, mandinya jangan lama-lama ya entar keburu dimarahin pengurus!" Jawab Ratna sembari mendorongku ke dalam kamar mandi.

Tanpa pikir panjang akupun segera masuk dan mengunci pintu itu. Aku mengamati seisi kamar mandi. "Shower nya mana?" Gumamku lirih dan langsung membuka pintu itu kembali.

"Ini mandinya gimana? Kan shower nya belum di pasang." Tanyaku pada Ratna yang masih menungguku di luar.

"Pakai gayung lah, gini nih, jebyur jebyur gitu pokoknya." Jawab Ratna sembari memperagakan saat mandi menggunakan gayung. Aku pun menganggukkan kepalaku, karena aku ingat ini bukan di rumahku dan aku tak boleh banyak pilih.

Aku segera melepas pakaianku dan mulai mengambil air menggunakan gayung berwarna biru ini. Rasanya sangat aneh ketika mengangkatnya dan menggugurkannya ke tubuhku sendiri.

Tak butuh waktu lama aku segera keluar setelah selesai mandi dan memakai pakaianku yang tadi kubawa sesuai dengan perkataan Warda dan Ratna.

Kami segera kembali ke kamar kami dan tepat saat aku melangkah masuk saat itu juga terdapat suara yang terdengar sangat keras.

"Cepet pakek mukenahnya. Udah adzan, nanti keburu ada pengurus yang nyamperin kita." Titah Warda sembari bergegas keluar dan mengenal sandal selopnya.

"Mukenah siapa? Kan aku nggak punya mukenah." Jawabku cepat dan sontak saja mereka berdua menatapku tak percaya, namun Warda segera berlari kembali masuk ke dalam kamar dan membuka lemarinya.

Ia mengambil sebuah mukenah berwarna putih dan memberikannya padaku. "Cepet pakek!" Titahnya yang langsung ngacir memakai sandalnya lagi dan menungguku di luar.

Dengan patuh akupun memakainya meskipun aku masih tak mengerti apa yang akan ku lakukan dengan mukenah ini nantinya.

"Yuk cepet lariii!" Pekik Ratna yang saat ini berlari sembari menggandeng tangannku.

Aku hanya bisa pasrah dan mengikuti langkah mereka berdua yang tergesa-gesa. Dan dengan cepat mereka menghentikan langkah mereka setelah sampai tepat di depan sebuah bangunan megah yang ternyata suara tadi berasal dari bangunan ini.

"Yuk cepet masuk!" Ajak Ratna sembari melepas sandalnya, begitupun dengan Warda.

"Iya." Jawabku mengikuti mereka, namun-

"Mina!" Panggil seseorang dari arah belakang, dan sontak saja aku menoleh karena merasa nama keduaku dipanggil.

"Ya?" Jawabku dan kini aku bisa melihat dengan jelas jika Alif lah yang memanggilku.

Tanpa basa-basi Alif menghampiriku dan menarik pergelangan tanganku lalu membawaku sedikit menjauh dari bangunan itu.

"Kamu mau ngapain?" Tanya Alif setelah memastikan tak ada orang yang melihat kami.

Takdir TerakhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang