038

271 23 1
                                    

Alif menatapku pasrah dengan helaan nafasnya yang terasa sedikit berat lalu secara bergantian ia menatap sebuah buku yang ada di tangannya.

Tanpa aba-aba ia menyodorkan buku itu padaku, "Nih." Ucapnya terdengar serius.

Spontan aku menatapnya penuh tanda tanya, apa aku harus menerima buku itu? pertanyaan itu tiba-tiba muncul di benakku.

Dengan perasaan sedikit ragu aku menerimanya. Ku amati buku itu dengan seksama. Ternyata ini adalah sebuah buku yang berisikan tentang perjalanan dakwah Rasulullah SAW. entah apa maksudnya ia memberiku buku ini akupun tak tahu.

Hanya saja kemarin aku memang sempat bertanya pada Alif mengenai kisah perjalanan hidup Rasulullah, sepenggal kisah yang ternyata mampu membuat air mataku mengalir dengan derasnya.

"Terimakasih." Ucapku dengan senyum yang terukir di wajahku.

Alif menganggukkan kepalanya dan tersenyum kepadaku.

Hahhh,,, semakin aku mengenal alif rasanya semakin terlihat perbedaan antara diriku dengannya, bahkan rasanya aku harus lebih menghormatinya mulai sekarang.

Dan yaa, kata Warda aku harus segera membiasakan diri untuk memangil Alif dengan sebutan Gus meskipun aku dekat dengannya karena itu juga merupakan salah satu cara untuk mengungkapkan rasa hormatku pada Alif.

"Kenapa?" Tanya Alif menyadari diriku yang tiba-tiba melamun.

Akupun menggelengkan kepalaku perlahan dan seketika itu juga aku mengingat tujuan awalku datan kemari.

"Hukumannya apa Gus?" Tanyaku lirih dengan kepalaku yang tertunduk.

Aku memainkan jari-jemariku sembari menunggu jawaban dari Alif, namun meskipu beberapa menit sudah berlalu aku tak juga mendapat jawaban yang ku inginkan, tentu saja aku langsung mendongakkan kepalaku memastikan Alif masih di sini, tak meninggalkanku.

Ia benar masih ada di sini, namun ada satu hal aneh yang aku tangkap saat ini.

Ia terdiam menatapku dengan kedua matanya yang memincing dan dahinya yang berkerut.

"Kamu tadi bilang apa Mina?" Tanyanya dengan sorot mata yang terlihat tak percaya.

Aku menatapnya ragu dan mengatakan ulang apa yang aku katakan padaya tadi. "Hukumannya apa Gus?" Ucapku patuh.

"Gus?" Tanyanya cepat.

Dengan segenap keyakinan yang ku miliki akupun menganggukkan kepalaku mengiyakan pertanyaannya, memangnya ada yang salah? Toh seluruh penghuni pondok pesantren ini memang memanggilnya Gus Alif kan.

"Kenapa?" Tanyanya lagi, namun kali ini aku yang memincingkan mataku mengisaratkan tanda tanya yang sama dengannya.

"Apanya?" Tanyaku balik.

"Gus. Kenapa kamu manggil saya Gus?"

"Semua orang kan juga manggil kamu Gus." Jawabku tanpa pikir panjang.

"Tapi kamu kan-" Ucap Alif yang terpotong karena suara yang tiba-tiba muncul di antara kami.

Krucukkkkk,,,,

Sontak kami pun hanya saling pandang. Dan dengan senyumku yang sedikit cangung akupun memegang perutku yang tadi tiba-tiba berbunyi, benar-benar sangat memalukan. Kenapa juga harus berbunyi di saat-saat seperti ini!!

Aghhhh,,, rasanya aku ingin menghilang saat ini juga jika bisa.

"Laper?" Tanya Alif tiba-tiba, akupun hanya mersponnya dengan sebuah senyum kecut.

Dia ini pura-pura tidak tahu atau benar-benar tidak tahu sih,

Aghhhh,,, Ya Allah, sembunyikan hamba saat ini juga, kali ini hamba benar-benar memaksa Ya Allah. 

*****

Setelah puas melahap sepiring nasi goreng spesial buatan Alif dan Ummi Rifa akupun kembali memulai kegiatan belajar mengajiku bersama Alif di ruang tamu.

Dan yahh,,,

Sewaktu aku membantu Ummi Rifa dan Alif memasak, ternyata Alif memintaku datang ke sini lebih awal karena ia ingin memberiku buku yang tadi ia berikan padaku.

Padahal ku kira ia benar-benar akan menghumku seperti pengurus lain.

Dan untuk tambahan informasi, di sini makan malam dilakukan setelah shalat maghrib dan semaan selesai di lakukan, jadi kira-kira hampir mendekati waktu isya. Waktu makan pun disini sebenarnya ada tiga kali.

Yang pertama setelah shalat subuh, kemudian selepas waktu dzuhur, dan yang trakhir saat mendekati waktu isya. Namun terkadang aku melewatkan waktu makan siang karena rasa malas yang selalu menemaniku, dan terkadang akupun lebih memilih untuk tidur daripada harus mengantri mengambil makan siang di kantin.

"Kenapa lagi? Masih laper?" Tanya Alif yang sontak saja membuatku tersentak.

"En-enggak, bukan itu." Elakku cepat.

"Yaudah kalau itu udah bisa dimulai kan ngajinya?" Tanyanya lagi dengan senum cerah di wajahnya.

Akupun mengangguk dan segera membuka iqra yang sudah siap di atas meja. Dari ekor mataku aku bisa melihat Ozzi yang berjalan melewati kami dengan sebuah jaket kulit yang ia kenakan.

Sontak aku menatapnya serius, jujur saja sampai saat ini aku masih kepikiran dengan apa yang Ozzi katakan, dan sialnya ia bahkan tak melajutkannya tadi.

"Mina!" Panggil Alif yang membuatku tersadar.

"Ya?"

Alif menatapku dengan tatapannya yang terasa sangat medominasi, ia menghela nafasnya. "Kemarin katanya kamu nggak suka sama Ozzi. Kenapa sekarang natapnya sampai segitunya?" Tanyanya terdengar kesal.

Akupun menatapnya penuh tanda tanya, memang benar aku mengatakan padanya jika aku tak menyukai Ozzi kemarin saat kami berada di luar, namun bukan berarti aku tak boleh melihatnya kan? Ada apa dengan Alif hari ini? Apa ia baik-baik saja?

Takdir TerakhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang