014.

396 46 15
                                    

Sontak aku membelalakkan kedua bola mataku lebar begitu rasa pedas menjalar ke seluruh mulutku.

Benar-benar hari yang sial untukku, sudah tak mendapat sarapan pagi, sekarang mulutku terasa terbakar karena si cilok itu.

"Minum air dulu Na!" Ujar Ratna terlihat kelabakan memberiku air, berbeda dengan warda yang justru menertawakanku tanpa beban seolah ini adalah hal lucu untuknya. Kalau bukan karena cilok yang ia berikan tentu aku tak akan seperti ini kan?

Tanpa basa-basi dan pikir panjang lagi aku langsung meraih sebotol air yang diberikan Ratna padaku lalu ku tegak habis tanpa tersisa.

"Habis ini kamu mau ikut ke perpus nggak Na?" Tanya Warda padaku dan tentu aku langsung mengelengkan kepalaku karena tak mengerti apa maksud Warda.

"Dia ada tugas, jadi harus ke perpus buat pakai laptopnya. Kamu mau ikut kita nggak?" Sahut Ratna seolah mengerti jika aku tak tahu apa maksud perkataan Warda tadi.

"Emangnya di sini ada perpustakaan ya?" Tanyaku mengingat aku memang belum mengerti apa saja yang ada di dalam pondok pesantren ini karena kemarin kita langsung tertidur setelah sedikit berbincang-bincang.

"Ada dong, meskipun kelihatannya kecil gini tapi pondok pesantren Darul Ilmi ini lengkap loh fasilitasnya. Nanti sekalian kita ajak kamu keliling lihat-lihat, mau?" Jawab Warda dan spontan aku langsung menganggukkan kepalaku.

Kami pun berbincang-bincang seperti biasa, namun pembahasan kali ini masih tentang diriku yang tentu membuat mereka penasaran karena aku bisa dekat dengan Alif dan keluarganya. Terlebih mereka bilang Alif belum pernah mendatangi kamar santriwati seperti kemarin malam hanya untuk mengantarkan selimut dan juga pakaian.

Tok,,,tok,,tok,,,

"Assalamualaikum." Salam seorang lelaki bersamaan dengan suara ketukan pintu itu. Dan ya, suara siapa lagi kalau bukan suara Alif. Sekarang aku sangat hafal betul dengan suara Alif yang terdengar lembut namun sedikit berat.

Dengan cepat Ratna dan Warda memintaku untuk membuka pintu itu sendiri. Katanya mereka tak akan sanggup jika harus melihat wajah tampan Alif siang-siang begini, yang ada mereka akan pingsan. Katanya.

Aku menghela nafas beratku sesaat, entah apa lagi yang Alif bawakan untukku kali ini. Tentu aku akan sangat berterimakasih jika ia membawakanku makanan.

Ceklekk,,,

"Ya?" Ucapku setelah membuka pintu itu dan menatap Alif yang kini berdiri tepat di hadapanku dengan tangan kosong.

"Bisa ikut saya sebentar?" Tanya Alif tanpa basa-basi. Dan di saat yang bersamaan aku mendengar suara jeritan dari dalam kamarku, siapa lagi kalau bukan suara jeritan Ratna dan Warda yang saat ini menguping.

Aku pun menganggukkan kepalaku dan segera berpamitan pada Ratna dan Warda yang entah mengapa justru tersenyum lebar padaku. Apa ini salah satu gejala awal penyakit mematikan yang akan menjangkit mereka?

Aku segera menutup pintu itu kembali dan begitu aku membalikkan tubuhku aku memang melihat Alif yang masih menungguku, tapi tak hanya itu. Aku pun melihat wanita lain menatapku tajam, seolah mereka tak ingin aku pergi bersama Alif.

Di sepanjang langkahku, Alif berjalan di depanku, ia benar-benar tak mau berjalan beriringan denganku, meskipun ku mengatakan akan menjaga jarak dengannya.

Dan di sepanjang langkah itu juga aku bisa mendengar bisikan-bisikan dari para wanita yang memperhatikan kami berjalan. Entah apa itu akupun tak tahu karena suara mereka benar-benar lirih.

"Assalamualaikum gus." Sapa setiap wanita yang kita temui di sepanjang perjalanan sembari sedikit membungkuk dan kepala yang tertunduk.

"Waalaikumussalam." Jawab Alif pada setiap orang yang menyapanya. Sementara di belakang aku hanya bisa menghela nafasku, rasanya sangat canggung ketika melihat wanita-wanita yang tadi menyapa Alif langsung menatapku dengan tajam seolah aku tak seharusnya berjalan di belakang Alif seperti ini.

"Jangan di lihat dan di dengarkan. Fokus pada jalan kamu!" Ucap Alif dari depan dan tentu aku masih bisa mendengarnya.

Akupun menganggukkan kepalaku meskipun aku tahu Alif tak akan melihatnya.

"Emangnya ini kita mau ke mana?" Tanyaku lirih begitu aku sadar kita sedang berjalan menuju arah rumah Alif, bisa juga keluar sih karena rumah Alif terletak di paling depan sana, sementara kamarku terletak di paling belakang.

"Ketemu ummi." Jawab Alif yang langsung terdiam lagi.

Tak berselang lama aku sudah duduk di sofa ruang tamu rumah Alif, bersama dengan ummi Rifa tentunya.

"Hari ini ummi mau minta tolong sama kamu boleh?" Tanya ummi Rifa dengan senyum yang terpancar jelas dari matanya.

Tanpa pikir panjang akupun menganggukkan kepalaku.

"Tolong habis ini kamu ikut Alif ke panti asuhan ya!" Ucap ummi Rifa santai, namun berbeda dengan Alif yang kini justru membelalakkan kedua bola matanya.

"Ummi? Kok?" Celetuk Alif seolah ia tak terima jika harus pergi denganku.

"Alif kan biasanya pergi sama Husna, kenapa ummi malah suruh Alif pergi sama Mina?" Sambung Alif cepat.

"Husna kan tadi pagi berangkat ke Semarang." Jawab ummi santai.

"Kan Alif bisa pergi sama santri lain ummi, kenapa harus Mina?" Timpa Alif, dan jujur saja perkataannya kali ini sedikit menyinggungku, memangnya aku seburuk itu sampai ia tak ingin pergi denganku?

"Habis ini kan sebagian dari mereka mau Abi ajak bersih-bersih kebun sama masjid. Sisa santriwati aja, emangnya kamu mau pergi sama santriwati lain selain Mina?"

Alif pun terdiam dan menggelengkan kepalanya perlahan dengan kepalanya yang tertunduk. Berbeda dengan ummi Rifa yang kini tersenyum dan menatapku bahagia.

"Yaudah, cepet bawa kardusnya keluar, udah ummi siapin tadi. Sama ini nanti kamu kasih ke kepala panti nya ya." Ujar Ummi Rifa sembari menyelipkan sebuah amplop yang lumayan tebal ke tangan Alif.

Alif pun menganggukkan kepalanya dan segera mengangkat dua buah kardus yang berisi buah-buahan hasil panen kemarin di kebun milik keluarga Alif.

Alif pun menyodorkan helm padaku dan dengan cepat aku memakainya. Alif memintaku untuk naik setelah memastikan kardus yang menjadi pembatas antara diriku dengan dirinya sudah terpasang dengan Aman. Satu kardus di letakkan di depan dan satu lagi di letakkan di belakang sebagai pembatas.

"Semangat ya, jangan nyerah. Ummi pasti dukung kamu." Bisik Ummi Rifa sesaat sebelum Alif menyalakan mesin motornya. Dan ya, aku hanya menatap Ummi Rifa lekat yang kini melambaikan tangannya pada kami yang sudah melaju melewati gerbang. Apa maksudnya tadi?

Takdir TerakhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang