035

322 21 4
                                    


Setelah berhasil mendapatkan izin dari pengurus pondok untuk pergi ke luar bersama dengan Alif akupun segera bergegas menemui Alif yang sudah menungguku di teras rumah. Tak hanya Alif, ada Ummi Rifa dan tante Mei yang terlihat di depan sana, entah apa yang beliau lakukan.

"Alin!" Pangilnya yang langsung berlari dan memelukku.

Sama seperti sebelum-sebelumnya, rspon seperti apa yang harus ku berikan aku tak tahu. Untuk sepersekian detik kami berpelukan sangat erat. Ya,, mungkin selama ini tante Mei juga khawatir dan mencariku.

"Kamu baik-baik aja kan sayang?" Tanyanya, terlihat rasa khawatir di kedua netranya. Aku mengangguk dan kembali memeluknya. Aku memejamkan mataku, merasakan kehangatan Tante Mei yang kini membelai puncak kepalaku. 

"Kenapa kamu nggak pulang sayang?" Tanyanya dengan kedua tangannya yang meraih pipiku, akupun menundukkan kepalaku, bagaimana perasaannya nanti ketika ia tahu aku nyaris bunuh diri? Saat itu aku bahkan tak memikirkan perasaan tante Alin, satu-satunya saudara papa yang masih memiliki sedikit hati dibandinkan dengan saudara-saudaranya yang lain.

"Tante akan selalu membuka pintu tante untuk kamu, jadikan tante sebagai rumah kamu untuk pulang sayang." Lanjutnya yang membuat air mataku hampir menetes. 

Kami berbincang cukup lama di rumah Alif, sementara Alif tetap bersikeras untuk menungguku di luar meskipun aku sudah memintanya untuk berangkat terlebih dahulu tanpa diriku.

"Nggak apa-apa, kamu ngobrol aja dulu sama tante kamu, pihak majlis udah aku hubungin kok kalau kita nanti berangkat sedikit terlambat." ucapnya yang tentu saja membuatku merasa sedikit tak enak.

Tepat pukul tiga lebih empat puluh sore Aku dan Alif berangkat menuju majlis ta'lim, Alif berangkat mnggunkan motornya, sementara aku bersama dengan tante Mei menggunakan mobil tante Mei, dengan alasan agar kami berdu bisa mengobrol di tengah perjalanan nanti, dan Alif pun menyetujui hal ini.


*****


Sama seperti kemarin, setelah menghadiri majlis ta'lim Alif mengajakku untuk mencari makan sekaligus menikmati udara malam. Terasa sangat menyenangkan bisa menikmati suasana sepeti ini setelah seharian sibuk dengan jadwal ponpes, terlebih hari ini adalah hari yang di khususkan untuk membesihkan seluruh area ponpes yang tentu sangat menguras tenagaku.

Meski kali ini Alif menjadi lebih diam dari biasanya, yahh mskipun biasanya ia memang pendiam tapi hari in ia lebih diam lagi. 

Bayangkan saja, ia yang mengajakku untuk melihat pasar malam tapi ia bahkan tak tahu apa yang ia ingin lakukan di sini.

"Mau cari makanan dulu aja?" Tanya Alif memecah keheningan diantara kami.

"Tadi kan kita udah cari makan, masa mau makan lagi?" Jawabku balik bertanya. Ia pun hanya tersenyum lalu mengalihkan pandangannya dariku, entah mengapa ia bertingkah seperti ini hari ini.

Kami hanya menyusuri pasar malam tanpa sepatah kata yang keluar dari mulut kami, dan hal ini membuatku sangat terganggu, setidaknya jika ia merasa tak nyaman ia tak perlu mengajakku kemari.

"Kamu suka sama Ozzi?" Tanyanya memecah keheningan.


*****


"Mina!" Panggil Warda yang langsung berlari menghampiriku begitu ia melihatku turun dari motor bersama dengan Alif.

Ia terlihat sedikit panik dan terburu-buru. Dengan nafasnya yang terengah ia memegang kedua pundakku. Ia menatapku lekat, entah apa yang terjadi padanya sampai ia terlihat sepanik ini.

"Gus! Punya hp kan?" Tanya Warda tanpa basa-basi, bahkan kali ini ia tak mengucap salam seperti biasa.

Alif pun menganggukkan kepalanya dengan ekspresinya yang terlihat sangat kebingungan. Bagaimana tidak kebingungan disaat salah satu santriwati tiba-tiba menanyakan ponsel pada gus nya yang bahkan tak dekat dengannya. Bahkan santriwati itudatang tanpa mengucap salam ataupun menyapanya.

"Pinjem sebentar boleh?" Tambahnya sedikit ragu lengkap dengan suaranya yang terdengar bergetar.

Spontan Alif menatapku seolah bertanya apa yang saat ini sedang terjadi, akupun hanya menggelengkan kepalaku dengan pundakku yang ku angkat, tentu karena akupun tak tahu apa yang saat ini sedang terjadi. Toh kita sama-sama baru datang kan.

"Emm, boleh sih, tapi mau buat apa?" Tanya Alif sembari menyodorkan ponsenya pada Warda.

Warda menutup rapat mulutnya dan jari-jemarinya sibuk memainkan ponsel Alif yang berada di tangannya. Tak butuh waktu lama ia kembali menyodorkan ponsel itu pada Alif.

Alif mengamatinya dengan seksama, entah apa yang Warda tunjukkan padanya sampai kedua bola matanya membelalak seperti itu. "Apa maksudnya ini?" Tanyanya pada Warda merasa tak paham dengan apa yang baru saja ia lihat.

Lagi-lagi tanpa menjawab pertanyaan Alif Warda menyodorkan ponsel itu padaku, padahal Warda sangat mengagumi dan menghormati Alif tapi entah mengapa ia bahkan tak menjawab beberapa pertanyaan yang Alif lontarkan padanya. Ia tidak seperti Warda yang biasanya.

Akupun memfokuskan pandanganku pada ponsel Alif, terdapat sebuah postingan video dengan sebuah caption di bawahnya.

"Gus Alif datang mengisi majlis ta'lim bersama Calon Istrinya." Gumamku membaca caption yang ada di bawah video itu. Sontak akupun menatap Alif yang kini juga menatapku seolah iapun memikirkan hal yang sama dengan yang ku pikirkan.

Bagaimana mungkin aku menjadi calon istrinya? Aku? Calon istri Alif? Mustahil!


Takdir TerakhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang