066

108 8 0
                                    

Setelah memastikan semua sudah siap, Alif dan rombongannya segera berangkat menuju kediaman keluargaku.

Di sisi lain, nenekku terlihat sedikit gelisah, raut wajahnya mengatakan jika saat ini ia sedang memikirkan sesuatu. Entah apa itu, aku sendiri tak tahu.

"Oma?" Panggilku namun tak mendapat respon apapun darinya.

Ku langkahkan kakiku mendekat padanya, dan ku tepuk lembut pundaknya yang sudah mulai terlihat ringkih.

"Oma?" Panggilku sekali lagi dan kini berhasil membuatnya terfokus padaku.

"Ya?" Tanya nenek gugup setelah ia menoleh ke arahku dan menatapku penuh dengan tanda tanya dalam kedua netranya yang terlihat sudah lelah dihajar habis oleh kehidupan.

"Oma lagi mikirin apa?" Tanyaku sedikit ragu.

Tanpa aba-aba nenek meraih kedua tanganku, menggenggamnya erat lalu mengecupnya sekali. "Di sini masih ada Oma. Dan Oma nggak akan pernah biarin kamu sendirian, Oma akan selalu menemani kamu, dan Oma akan selalu melindungi kamu." Ucap Oma yang tiba-tiba membuat hatiku bergetar hebat.

Aku pun memeluk Oma yang juga mendekapku erat. Aku tahu tak seharusnya aku menangis di saat-saat seperti ini.

Tapi aku bisa apa?

Wajah Mama dan juga Papa tiba-tiba saja terlintas di kepalaku. Seandainya mereka masih ada di sini.

Menyaksikan setiap langkahku sebelum menjadi seorang istri, membangun rumah tangga bersama laki-laki yang ku cintai, laki-laki yang benar-benar mencintaiku.

Entah, rasa yang bergejolak di hatiku tak dapat ku gambarkan, tak dapat ku untaikan lewat kata apapun.

Ku seka air mata yang tiba-tiba saja membasahi pipiku.

Aku tersenyum dan ku tatap nenek yang kini menatapku dalam-dalam.

Di raih pipiku yang telah dibasahi air mata, ia menyeka air mata yang masih saja terus mengalir dari pelupuk mataku.

Ada sedikit rasa hampa di hatiku, entah mengapa.

Namun nenek kembali mendekapku, seolah mengatakan, 'tak apa, aku tak sendiri di sini.'

Aku berada dalam dekapan nenek dalam waktu yang cukup lama, merasakan hangat yang selalu ku rindukan, menyisihkan sendiri yang selama ini ku rasakan.

Seolah aku bisa mengintip bahagia setelah hari ini. Aku pun ingin bahagia seperti yang lainnya.

Setelah badai yang mengoyak diriku kini perlahan menjelma sebagai pelangi yang indah.

"Semua badai itu sudah berlalu. Tak perlu khawatir." Ucapku pada diriku sendiri yang sampai saat ini masih memeluk erat nenek.

Tak berselang lama, seorang pelayan mengetuk pintu kamar ini. Mengabarkan jika Alif dan rombongannya sudah datang.

Nenek pun segera turun ke lantai bawah dan menyambut mereka yang kini terlihat bahagia. Sementara aku masih menunggu di dalam kamar ini.

Terdengar suara gaduh para pelayan yang juga sepertinya sangat penasaran dengan calon suamiku.

Tanpa ku sadari terbit senyum di ujung bibirku.

Apa benar aku akan segera menjadi istri Alif? Aku akhirnya akan menikah dengannya?
Membangun rumah tangga bersamanya?

Pertanyaan itu terus berputar di kepalaku, dan membuatku tak bisa menahan rasa bahagiaku.

Tentu aku sangat bahagia meskipun hanya membayangkannya saja. Masa depanku bersama Alif, rumah tangga yang akan kami rajut bersama.

Ku tatap pantulan diriku di cermin ini sekali lagi, sebelum akhirnya aku di jemput untuk segera menyusul ke lantai bawah.

Ku pijak kan kakiku menuruni setiap anak tangga degan perlahan.

Seketika netraku mendapati sosok Alif yang kini menungguku di sana.

Senyumku kembali mengembang, mamun dengan cepat ku tundukkan kepalaku karena merasa malu.

Begitu menuruni anak tangga terakhir, nenek meraih tanganku, membawaku menuju kursi yang sudah di siapkan di sana.

Acara pun segera di mulai.

Abi yang menyampaikan maksudnya datang ke mari, dan Alif yang bermaksud untuk meminangku hari ini.

Aku pun menganggukan kepalaku sekali, dengan senyum yang merekah di wajahku begitu Alif bertanya apakah aku bersedia untuk dipinangnya.

Tepat setelah itu Ummi Rifa mendekatiku, memasangkan sebuah cincin di jari manisku dan juga di jari manis Alif yang kini berada tak jauh dariku.

Jantungku berdetak dengan hebatnya, hanya perlu beberapa langkah lagi untuk kami bisa bersama.

Aku benar-benar tak membayangkan hari bahagia seperti ini sebelumnya.

Ternyata benar apa yang Alif katakan padaku dulu.

"Rencana Allah jauh lebih indah daripada rencana yang hambanya buat."

Nenek pun mendekat ke arah kami berdua, meraih tanganku dan juga tangan Alif di saat yang bersamaan.

"Hari ini, Oma sudah memanggil penghulu." Ucap nenek yang sontak saja membuat semua orang yang ada di sini terkejut. Begitupun dengan aku dan juga Alif yang bahkan tak tahu bahwa nenek bahkan sudah memanggil penghulu ke acara pertunangan kami hari ini.

"Oma tidak tahu betul bagaimana seharusnya pernikahan yang dianggap sah dalam agama Islam, tapi Oma berusaha untuk mencaritahunya, dan Oma sudah berbicara pada salah satu pemuka agama yang Oma anggap mengerti, karena itulah Oma mengundang penghulu untuk menikahkan kalian secara agama." Jelas nenek yang jujur saja membuatku tak bisa mengatakan apa-apa.

Padahal nenek tak pernah bertanya apapun padaku mengenai bagaimana pernikahan dalam agama islam. Tpi ia malah mencaritahunya sendiri tanpa sepengetahuanku.

Aku kembali tersenyum menatap nenek yang kini masih mengenggam tanganku erat. Aku benar-benar bahagia bisa memiliki nenek sepertinya, meskipun dulu aku sangat membencinya.

Aku benar-benar menyayanginya.

Takdir TerakhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang