068

72 3 2
                                    

Setelah sesi foto berakhir dan semua tamu juga sudah dijamu, keluarga Alif memutuskan untuk berpamitan, terlebih hari pun juga sudah semakin larut.

Sementara Alif yang sedari tadi menggenggam tanganku kini terlihat sedikit resah, "Aku... Ikut pulang juga hari ini?" Tanyanya lirih dengan tatapannya yang hanya tertuju padaku.

Sekarang aku harus menjawab bagaimana? Sebenarnya aku ingin ia tetap di sini bersamaku, terlebih kami juga sudah sah menjadi suami istri.

Tapi, bagaimana jika nenek, Abi, dan Ummi tak memperbolehkannya untuk tetap di sini karena resepsi bahkan belum terjadi.

Ku tatap kedua netranya dalam-dalam, lalu perlahan ku angkat kedua bahuku.

Apa kami harus berpisah lagi seperti ini? Aku benar-benar masih ingin bersamanya.

"Ummi... Em... Alif?" Tanya Alif ragu pada Ummi Rifa.

Spontan Ummi Rifa tersenyum mendengar apa yang baru saja putranya katakan. "Hari ini kamu di sini aja juga nggak apa-apa, Ummi tahu kalian masih kangen kan... Iya kan Oma?" Jawab Ummi Rifa yang sontak membuatku dan Alif tersipu malu.

"Iya, hari ini kamu di sini dulu, kalian kan juga udah lama nggak ketemu, toh kalian udah sah kan." Sahut Nenek yang juga setuju dengan apa yang Ummi Rifa katakan.

Alif pun semakin mengeratkan genggamannya dan menatapku dengan senyumnya yang terlihat sangat manis.

Ahhh... Apa ini? Jantungku rasanya tak bisa ku kondisikan melihat senyumannya itu. Apa biasanya dia memang semanis ini?
Atau... Karena dia sudah menjadi suamiku sekarang senyumnya bisa jadi semanis ini!

Entah apapun itu, aku hanya ingin terus melihat senyumnya itu, dan aku sangat mencintainya lebih dari yang kupikirkan selama ini.

*****

Setelah memastikan semua tamu pulang, nenek meminta semua anak-anaknya untuk berkumpul, lebih tepatnya saudara-saudara ayah yang tak setuju dengan pernikahanku ini.

Sementara aku dan Alif kini hanya saling membisu di dalam kamar ini.

Aku takut nenek melakukan sesuatu hal yang bisa kembali membuat perpecahan diantara keluarga ini hanya karena diriku.

"Mina." Panggil Alif yang sontak membuyarkan lamunanku.

"Ya?" Jawabku gelagapan.

Terbit senyum di sudut bibirnya, dan dengan perlahan ia mulai meraih tanganku.

"Nggak apa-apa, jangan terlalu dipikirin ya..." Ucapnya berusaha untuk menenangkanku.

Ku tatap ke dua netranya yang setenang samudra itu, "boleh peluk nggak?" Tanyaku ragu, terlebih selama ini kami bahkan tak pernah melakukan kontak fisik sekalipun, mungkin saja ia akan menolakku tapi apa salahnya untuk mencoba?

Seperti dugaanku tadi, ia terdiam untuk beberapa saat seolah tak tahu harus menjawab apa dan bagaimana.

"Peluk?" Tanyanya lagi memastikan.

Dengan cepat ku anggukkan kepalaku dengan wajahku yang penuh harap, meskipun sebenarnya aku juga merasa malu sekaligus canggung ketika mengatakannya tadi.

Tapi jika aku tak melakukan hal ini, mungkin saja Alif hanya akan menggenggam tanganku sampai besok, atau mungkin lusa, bahkan bisa saja ia hanya menggenggamnya sampai minggu depan. Karena ia sangat menghormati apapun keinginan dan keputusanku, karena itulah aku berinisiatif untuk mengatakannya terlebih dulu.

Tanpa ku sadari senyum Alif mulai merekah. Ia menarik tanganku perlahan, lalu mengecupnya sekali yang sontak saja membuatku menatapnya dalam-dalam.

"Kenapa harus minta izin? Zaujati." Ucapnya dengan pipinya yang memerah.

Tentu, jika kalian bertanya bagaimana rasanya ketika dia mengatakan hal itu, akan ku jawab dengan pasti, rasanya seperti jiwaku melayang, jantungku berdebar-debar tak karuan, bahkan rasanya seperti dunia ini hanya milikku dan Alif. Hanya milik kami berdua.

Ya, hanya milik kami berdua.

Takdir TerakhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang