058

274 25 4
                                    

Aku melangkahkan kakiku menyusuri halaman pondok pesantren dengan kedua netraku yang juga ikut menyusur mencari keberadaan Alif yang tak kunjung ku temukan. Entah saat ini ia ada di mana, namun aku tak bisa menemukannya sejak pagi tadi.

Aku benar-benar merasa sangat gugup untuk memperlihatkan cincin yang kini melingkar di jari manisku padanya, entah respon seperti apa yang akan ia tunjukkan nanti aku begitu tak sabar untuk melihatnya.

Beberapa santriwati yang kebetulan lewat menyapaku dengan senyuman mereka, namun ada juga beberapa yang mengacuhkanku, seolah tak melihatku. 

"Nungguin siapa sih? serius amat." 

Aku menoleh, menatap sosok yang kini tersenyum di belakangku. Akupun tersenyum dan spontan menundukkan kepalaku, entah jawaban apa yang harus aku berikan.

"Mina?" Tanyanya lagi yang semakin mendekat ke arahku.

Ku mainkan jari jemariku dengan kepalaku yang masih tertunduk, padahal tadi aku sangat ingin bertemu dengannya, namun entah mengapa saat bertemu secara langsung seperti ini aku tak berani mengatakan apapun, bahkan untuk sekedar menatapnya pun rasanya sangat canggung.

"Mina?" Panggilnya lagi.

Aku mendongak, menatap netranya yang sontak membuat jantungku berdebar tak karuan. Apa biasanya jantungku juga bereaksi seperti ini? 

"Iya gus?" Ucapku pelan dengan netraku yang terus menatap lekat netranya seolah ada sesuatu yang membuatku enggan untuk mengalihkan netraku menatap yang lainnya.

"Tadi kata Warda kamu cari aku?" Tanyanya yang tak kunjung ku beri respon, karena jujur saja aku tak bisa fokus karena kedua netranya yang menatap lembut ke arahku, meskipun seseekali ia membuang muka dan memandang yang lain seperti biasanya.

"Mina"

"Iya gus."

Ia menaikkan alisnya sebagai pertanda menanyakan apa maksudku mencarinya, dan spontan saja aku mengangkat tangan kiriku, menunjukkan cincin yang melingkar di jari manisku tanpa ku sadari.

Alif menatap jari manisku cukup lama, seolah ia ingin memastikan yang ia lihat saat ini bukanlah hayalan atau mimpinya. Di saat yang bersamaan setitik air mata jatuh membasahi pipinya, dan saat itu pula aku menurunkan tanganku, dengan ekspresiku yang dipenuhi tanda tanya.

"Gus?" Tanyaku panik. apa Alif sudah tak mau menikah denganku? Pertanyaan itu tiba-tiba terlintas di benakku dan membuat air mataku ikut menetes.

Ia menyeka air matanya dan menatapku, "Setelah shalat Ashar nanti kita ke rumah nenek kamu ya." Ucapnya dengan senyum yang terukir jelas di wajahnya. Akupun tersenyum dan mengangukkan kepalaku tanda setuju.


*****


Aku berjalan tepat di belakang bodyguard nenekku, lebih tepatnya aku mengikuti langkahnya yang kini membawaku untuk menemui nenek yang saat ini sedang bersantai di balkon ruang baca.

Aku menghela nafasku sesaat sebelum pintu di hadapanku ini di buka.

"Makasih pak." Ucapku pada bodyguard Nenek yang membukakan pintu untukku dan mempersilahkanku untuk segera masuk ke dalam.

Kini saatnya aku mengatakan maksud kedatanganku bersama dengan Alif, meski saat ini Alif hanya diperbolehkan untuk menunggu di ruang tamu, karena nenek hanya ingin mengobrol berdua dengannku.

Netraku menatap sosok nenekku yang kini sedang duduk bersantai dengan secangkir teh d tangannya, aku segera mendekat dan duduk di samping nenekku.

Untuk beberapa saat hanya ada keheningan di antara kami.

"Kenapa anak itu ikut datang?" Tanya nenek mengawali sembari meletakkan kembali cangkir yang ada di tangannya ke atas meja.

"Mina mau minta izin sama Oma." Jawabku tanpa pikir panjang.

Oma kembali terdiam dan menatapku lekat. "Izin?" Tanyanya yang langsung ku angguki.

"Menikah?" Tanyanya lagi dan aku kembali menganggukkan kepalaku meskipun sebenarnya aku heran bagaimana bisa nenek menebak dengan tepat seperti itu.

"Dengan bocah itu?" Tanyanya lagi, namun kali ini aku belum sempat menganggukkan kepalaku.

"Oma tidak setuju." Sambungnya yang langsung beranjak dan melenggang meninggalkanku. Tanpa pikir panjang aku berlari mengejar lankah nenek.

"Kenapa Oma? Kenapa Oma nggak setuju?" Tanyaku panik.

nenek menghentikan langkahnya dan menatapku lekat tanpa memberikan sepatah kata jawaban.

"Kenapa Oma?" Tanyaku lagi dengan lantang.

"Apa karena Gus Alif nggak sekaya lelaki yang mau Oma jodohkan sama Mina kemarin?"Tanyaku namun nenek tetap diam tak merespon.

"Ohh,, atau karena gus Alif bukan pengusaha? sama seperti mama dulu?" Tekanku lagi menginginkan jawaban.

"Oma tidak akan merelakan kamu menikah dengan orang yang membuat kamu semakin menjauh dari Oma." Jawab nenek dengan tatapannya yang terasa sangat dalam.


Takdir TerakhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang