027

340 24 11
                                    

"assalamualaikum warahmatullah." Salam Alif setelah menolehkan kepalanya ke kanan.

"Assalamualaikum warahmatullaah." Tambahnya lagi.

Akupun mengikutinya melakukan salam. Tak lama setelah itu Alif mengangkat tangannya dan membaca doa-doa yang tentu aku tak mengerti doa apa itu, aku hanya mengaminkannya saja. Toh tentu itu bukan doa yang buruk untukku.

Suara Alif menggema dalam masjid ini. Hanya ada kami berdua disini, karena kami datang tepat setelah semua orang pergi untuk melakukan kegiatan selanjutnya.

Dalam jadwal yang sempat aku lihat seharusnya saat ini mereka sedang mengaji kitab di Aula bersama beberapa ustadz dan ustadzah yang menjaga.

Namun entah kemana perginya santriwati pengurus keamanan tadi. Seharusnya kan ia shalat berjamaah bersama kami karena kami tadi pergi ke sini tak lama setelah ia pergi.

Dan aku baru tahu, ternyata santriwati tadi bernama Nira. Sudah lebih dari sepuluh tahun ia menjadi santriwati di sini.

Bahkan Alif bilang ia sudah sangat akrab dengan ummi Rifa dan para ustadzah yang ada di pondok pesantren ini.

Seringkali ia mendapat amanah dari ummi Rifa, bahkan Abi Umar pun juga sangat mempercayainya.

"Walhamdulillahi rabbil 'aalamiin." Ucap Alif mengakhiri doanya.

Akupun segera mengusapkan kedua telapak tanganku pada wajahku sembari membaca surah Al-Ikhlas. Begitupun dengan Alif yang langsung berbalik dan menyodorkan tangannya padaku.

Dalam situasi ini bisa dibilang jarak kami lumayan dekat, karena aku tak berada di area khusus wanita yang biasanya digunakan oleh santriwati.

Jangan tanya kenapa. Tentu karena aku tak bisa mendengar suara Alif dengan jelas karena jarak yang lumayan jauh. Toh tak mungkin juga kan Alif menggunakan mic yang biasanya digunakan para imam di sini. Terlebih hanya kami berdua yang shalat saat ini.

Aku hanya terdiam menatap tangannya sembari menelengkan kepalaku. Apa aku harus mencium punggung tangannya juga seperti saat aku mencium tangan ummi Rifa? Tapi, Alif kan pernah bilang kami tidak boleh bersentuhan karena kami bukan mahram. Jadi, apa sekarang kami sudah mahram?

"Astaghfirullah hal adzim." Gumam Alif yang langsung menggelengkan kepalanya dan menarik tangannya lagi lalu segera bangkit dari duduknya.

"Ma—maaf, udah kebiasaan." Ucap Alif terlihat salah tingkah.

Untuk sepersekian detik aku terperanjat, dan tepat setelah itu aku menganggukkan kepalaku paham lalu segera beranjak karena akupun ingin mengikuti kajian kitab yang saat ini masih berlangsung.

Aku mengangkat sajadahku lalu meneggerkannya di lengan kiriku. Ku langkahkan kakiku perlahan karena saat ini aku masih mengenakan mukenah, bisa-bisa aku terjatuh jika tidak berjalan dengan hati-hati.

Terlebih dengan tangan kiriku yang membawa sajadah dan tangan kananku yang memegangi mukenah bagian bawahku agar tak terinjak dan kotor saat aku berjalan.

"Mina!" Panggil Alif yang sontak saja menghentikan langkahku.

"Iya?" Jawabku sembari membalikkan tubuhku menatapnya.

"Emm,, kalau kamu nggak keberatan, setelah ini —" ucapnya yang terpotong oleh suara yang tiba-tiba datang dari arah pintu masuk masjid.

"Alif!!!" Teriak seorang lelaki memanggil nama Alif berulang kali.

Alif pun menghela nafasnya dan tersenyum getir, sepertinya ia tahu siapa  sosok pemilik suara ini.

"Ya!" Jawab Alif lantang dan sontak saja mataku membulat karena terkejut. Tak biasanya Alif menjawab dengan suara lantang seperti ini.

"Ngapain aja sih kok bisa lama banget!" Sahut lelaki itu yang kini terlihat berjalan menghampiri kami.

Dengan jarak yang lebih kurang hanya dua meter, ia menatapku dari ujung kaki sampai ujung kepalaku.

"Masyaallah ukhti,,,,kenapa masih di sini sama mabro Alif?" Tanyanya sembari melanjutkan langkahnya mendekati kami.

"Nggak boleh loh berduaan di masjid. Haram!haram!" Tambahnya. Jujur saja baru kali ini aku mendengar logat bicaranya yang terdengar aneh di telingaku.

"Kalau berduaan gini biasanya yang ketiganya setan!" Lanjutnya serius.

"Iya, kamu setannya." Sahut Alif lirih sembari memalingkan wajahnya dari lelaki itu.

*****

"Labunya satu berapa bu?" Tanya ummi Rifa sembari membolak-balikkan labu yang ada di hadapannya.

"Tuju belas ribu bu, kalau yang kecil di sana sepuluh ribuan." Jawab ibu-ibu penjual yang mengenakan hijab berwarna kuning dengan sangat ramah.

Jika kalian bertanya saat ini aku ada di mana, jawabannya adalah pasar.

Benar, pasar. Baru kali ini aku menginjakkan kakiku di pasar seperti ini.

Sementara ummi Rifa sibuk dengan labu di hadapannya, aku sibuk memandangi sekeliling yang cukup ramai.

Bau amis ikan serta bau segar dari sayur dan buah tercium dari setiap langkah kakiku. Rasanya aneh, aku bahkan tak tahu apa yang harus aku lakukan di sini, dan kenapa pula ummi Rifa mengajakku kemari.

Terlebih Alif yang tiba-tiba memberitahuku setelah shalat subuh tadi. Dan Ozzi yang saat ini mengikutiku dan ummi Rifa di pasar.

Benar Ozzi, laki-laki yang tadi menghampiriku dan Alif di masjid.

Ia ikut bersamaku dan ummi Rifa karena ia lah yang menjadi driver kami hari ini. Terlebih baik aku ataupun ummi Rifa sama-sama tak bisa mengendarai motor, dan Alif pun sibuk karena harus mengisi beberapa majlis ta'lim hari ini, jadilah Ozzi yang menjadi driver sekaligus kuli panggul kami hehehe.

"Kamu mau ini?" Tanya Ozzi antusias sembari menyodorkan sebuah apel padaku.

Akupun tersenyum dan menggelengkan kepalaku perlahan.

"Kalau nikah sama aku mau?" Sambung Ozzi dengan senyumnya yang mengisyaratkan agar aku menganggukkan kepalaku.

Dan tentu, aku menggelengkan kepalaku dengan senyum getir yang aku tunjukkan. Meskipun ia hanya main-main tapi tak seharusnya ia melakukannya di tempat umum seperti ini, dan bukan aku orang yang cocok untuk ia ajak bercanda.

Ummi Rifa yang melihat tingkah Ozzi tanpa pikir panjang lagi langsung memukul bahu Ozzi. Dan Ozzi pun hanya bisa meringis karena ia bahkan tak memiliki nyali untuk melawan ummi Rifa.

Baginya ummi Rifa sudah seperti ibunya sendiri, terlebih sedari ia kecil ia sering tinggal di rumah keluarga Alif. Seperti saat ini.

Kata ummi, kali ini Ozzi kabur dari rumahnya karena Abinya akan segera pulang dari Tarim.

Akupun bertanya-tanya siapa Ozzi sebenarnya sampai Ummi Rifa bisa sangat akrab dengannya.

Ternyata ia adalah seorang gus, cucu dari pemilik pondok pesantren ternama di salah satu daerah di Solo, sekaligus kerabat jauh keluarga Alif.

Jadi tak heran jika Ozzi memiliki paras yang bisa dibilang tampan untuk seukuran laki-laki seusianya. Terlebih retinanya yang berwarna hazel menambah nilai plus dalam penampilannya.

"Mina udah ummi keep jadi kamu jangan macem-macem ya!" Ujar Ummi Rifa terdengar serius, namun aku tahu saat ini ummi Rifa hanya ingin mengikuti permainan Ozzi.

Dan tentu saja mendengar hal itu, senyum yang tadinya mengembang di wajah Ozzi perlahan mulai memudar. "Walaupun ummi nggangep Ozzi cuma bercanda tapi seenggaknya hargai perasaan Ozzi dong Ummi. Masa Ozzi harus potek sebelum perang! Biarin Ozzi duel sama mabro Alif! Kita perang memperebutkan hati ukhti Mina!" Gumam Ozi lengkap dengan tangan kanannya yang memukul dadanya perlahan agar terlihat lebih dramatis.

"Biarin. Wleekkk,,," ejek ummi Rifa yang sepertinya memang suka menjahili Ozzi.

"Kamu mau jadi mantu Ummi kan Mina?" Tanya Ummi Rifa yang membuat mulutku terkatup rapat. Apa yang harus aku katakan? Apa aku iyakan saja agar drama antara kedua orang ini cepat selesai?

Takdir TerakhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang