053

276 27 2
                                    

Tak seperti biasanya, hari ini aku benar-benar di sibukkan dengan pekerjaan yang diberikan nenek padaku. Bahkan hari ini aku tak mengaji dengan ustadzah Luluk.

"Ini beberapa dokumen yang harus bu Mina periksa ulang." Ucap Alfan yang ditugaskan nenek untuk membantu dan mengawasiku dalam melakukan pekerjaan yang membosankan ini.

Akupun mengangguk dan mengambil dokumen yang ia sodorkan padaku. Aku memeriksanya sekilas hanya sebagai formalitas dan meletakkan dokumen ituke atas meja kerjaku. Lalu pandanganku beralih menatap jam tangan yang berada di tangan kiriku.

"Mau saya temani shalat dulu bu?" Tanya Alfan seolah paham apa yang saat ini ada di kepalaku.

"Boleh, yuk!" Jawabku sembari beraanjak dari tempat dudukku.

Kami berjaan beriringan menuju mushala kantor yan berada tak jauh dari ruang meeting di lantai dua. Suasana terasa cukup hening, terlebih Alfan sangat menjaga batasannya denganku. batasan antara bawahan dan atasan.

"umur kamu berapa?" Tanyaku basa-basi.

Ia meatapku, seolah terejut aku menanyakan hal itu padanya. "Tahun ini 25 tahun." Jawab Alfan singkat lalu segera mengalihkan pandangannya lagi.

"Wah,, sama dong kita. Jadi kamu nggak perlu panggi aku bu, panggil Mina aja kalau kita cuma berdua gini. Biar aku nggak ngerasa tua-tua amat hehehehe."

"Tapi itu tidak mencerminkan profesionalitas saya sebagai baahan bu Mina." Jawab Alfan tanpa mengalihkan pandangannya dari tombol-tombol lift yang sedang ia pencet.

Pintu lift tertutup, lagi-lagi suasana menjadi hening. Dan aku tak menyukai ini. "Di sini aku hanya belajar Alfan, bukan seorang atasan seperti yang kamu pikirkan. Bisa di bilang akupun bekerja di sini. Jadi kita sama. Sama-sama bekerja di perusahaan yang sama."

"Anggap saja kita ini rekan kerja. Rekan yang akan saling membantu kedepannya."

Alfan menatapku lekat, namun jujur aku merasa canggung jika ditatap seperti ini jadi tanpa ku sadari aku menundukkan kepalaku, menghindari tatapannya. Mungkin ini juga yang bisanya dirasakan Alif ketika aku menatapnya. Tanpa sadar aku tersenyum.

Aku menggelengkan kepalaku. Bisa-bisanya aku tersenyum ketika memikirkan Alif.

Ting,,,

Pintu lift terbuka. alfan mempersilahkan agar aku turun terlebih dahulu.

Tak butuh waktu lama kami pun sampai di mushala kantor yang ukurannya tak terlalu besar ini. Bahkan mushala ini tak lebih besar dari kamarku di pondok pesantren.

Tanpa pikir panjang aku pun segera mengambil wudhlu. Kali ini Alfan yang menjadi imam shalatku. Tak jarang Alfan pun mengajariku menaji di sela-sela aku mengerjakan tugas kantor yang menumpuk.

"Habis ini ada meeting lagi ya?" Tanyaku sembari melipat mukenahku.

Alfan mengangguk, "Sekitar pukul 5 nanti di restoran Dersa, bertemu dengan wakil CEO Artha Corp. Dan ada pertemuan pribadi dengan ibu Mei di hotel Alin's pukul 7 nanti." jawab Alfan setelah melihat sebuah catatan yang ukurannya hanya setelapak tangannya yang selalu ia bawa kemanapun ia pergi.

Akupun mengangguk paham, hampir saja aku lupa jika aku sudah berjanji pada tante Mei untuk merayakan anniversary nya yang di adakan di hotel Alin's pukul 7 nanti. Yang merupakan salah satu hotel yang didirikan oleh nenekku.

Kami pun segera bergegas menuju restoran Dersa yang hanya berjarak tiga kilo meter dari kantor ini.

Seperti biasa, bukan Jakarta namanya jika tidak ada kemacetan. Namun beruntungnya kami bisa tiba tepat waktu di sana.

Rapat di mulai dengan cukup serius. Kali ini nenekku pun ada di sini untuk mengawasi kinerjaku. Dan tentu tak mudah melakukan itu semua seorang diri.

"Ini adalah putra pertama dari wakil CEO Artha corp. Refal." Ucap nenekku memperkenalkan seorang pemuda yang datang bersama wakil CEO Artha Corp bahkan sebelum aku membuka rapat ini.

Akupun tersenyum lalu menatapnya sekilas, "Salam kena. Mina." Ucapku sembari menelangkupkan kedua tanganku begitu ia mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan denganku. Ia tersenyum canggung daan menarik tangannya lagi, ia terlihat cukup tampan, tapi tak sebanding jika disandingkan dengan Alif.

Aghh,, kenpa lagi-lagi aku malah memikirkannya di saat seperti ini?

Ayo fokus Mina!

"Hari ini Refal akan menemani kamu jalan-jalan selama oma meeting di sini." Tambah Nenek yang semakin membuatku tak mengerti.

"Maksud oma?"

"Oma akan meeting dengan wakil CEO sementara kamu bisa jalan-jalan dengan Refal dulu." Jawab Nenekku cepat.

Jadi aku ke sini bukan untuk meeting?

Sontak aku menatap Alfan yang masih setia berdiri di samping kanan belakang kursiku. Ia menundukkan kepalanya seolah ia sudah tahu hal ini sejak awal. Tanpa pikir panjang akupun segera beranjak dan berjalan menuju parkiran tak peduli Refal mengejar di belakangku.

Aku menghela nafasku, entah mengapa aku merasa sangat kesal mengetahui Alfan membohongiku agar aku mau datang ke tempat ini.

Aku menengadahkan kepalaku. Menatap langit yang ditutupi oleh kabut hitam tebal sore ini.

"Mina?" Panggil seseorang dari depan sana.

Akupun menatapnya dalam-dalam. Ternyata Ozzi. Entah sudah berapa lama aku tak bertemu dengannya.

"Sama siapa?" Tanya Ozzi yang saat ini berdiri tepat di depanku.

"Sendiri." Jawabku singkat.

Ia menatap ke sekelilingku, memastikan aku tak berbohong padanya. "Mau jalan-jalan berdua?" Tanyanya tiba-tiba. Aku menatapnya penuh tanda tanya.

"Nyari angin aja kok. Janji nggak bakal ngapa-ngapain!" Ucapnya sembari mengangkat kedua tangannya agar aku percaya padanya.

Akupun mengangguk dan kami pun berjalan-jalan menyusuri terotoar kota Jakarta berdua saja. "Lagi ada masalah?" Tanya Ozzi yang dari tadi mengawasi setiap gerak-gerikku.

Aku menggeleng. Tak mungkin au menceritakannya pada Ozzi, toh itu bukan masalah yang sangat serius.

"Atau kamu lagi kangen seseorang?" Tanyanya lagi.

Apa terlihat sangat jelas jika hari ini aku terlalu banyak memikirkan Alif?

"Kangen aku misalnya." Sambung Ozzi membuatku merasa sedikit lega. Terbit senyum di wajahku. Aku kembali menatap pemandangan sekitar yang cukup ramai. Dan keheningan kembali menghampiri kami.

Ponselku terus berdering. Tentu itu panggilan dari Alfan. Aku hanya membiarkannya karena aku masih tak ingin berbicara dengannya. Padahal aku sudah sangat mempercayainya, tapi ia malah berbohong padaku seperti itu.

"Hari ini hari terakhirku di Indonesia loh." Ucap Ozzi lirih namun terdengar sangat jelas di telingaku. Aku menatapnya penuh tanda tanya. Ada sedikit rasa curiga.

"Soalnya besok aku berangkat ke Yaman." Sambungnya yang membuat mulutku terkatup.

Bukankah itu tempat yang sama dengan yang Alif kunjungi? Apa Ozzi ke sana untuk menemui Alif?

"Bukan buat nyusul Gus Alif kok. Tenang aja!" Ujar Ozzi seolah tahu apa maksud dari tatapanku padanya.

"Mau ngelanjutin kuliah sambil mondok aja."Tambahnya yang membuatku menganggukkan kepalaku mengerti.

"Tapi kalau semisal kamu ada nitip sesuatu buat si Gus Alif itu aku siap nganter ke dia kok." Sambungnya dengan senyum tipis di sudut bibirnya.

Aku menatapnya heran. Memberikan sesuatu pada Alif? Apa ia tahu tentang surat yang Alif berkan padaku beberapa minggu lalu?

"Aku udah tahu semuanya. Dan aku tidak akan pernah bisa memaksa hati seseorang untuk mencintaiku."

"Toh sepertinya kamu memang tercipta untuk Alif. Dan dia yang akan menjadi takdir pelengkap dalam garis takdirmu."

"Jadi yahhh, menyerah adalah jalan terakhir setelah aku berusaha." Ucapnya lagi terdengar sangat tegar.

Takdir TerakhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang