048

278 22 5
                                    

Suasana menjadi semakin menegangkan ketika ustadzah Luluk mencoba untuk membuka pintu itu dengan paksa. Namun usahanya itu tentu sia-sia, Warda pun kembali diminta untuk memanggil salah satu pengurus putra untuk membuka pintu ini.

Ustadzah Luluk tak berhenti untuk meminta santriwati itu untuk keluar, namun jawabannya tetap sama. "Gue nggak mau hidup lagi! Jangan ikut campur kalian semua!"

Sebenarnya saat mendengar hal itu sontak aku teringat pada diriku yang dulu. Akupun dulu sempat untuk bunuh diri dan Alhamdulillah nya ada Alif yang datang untuk menjadi penyelamatku.

Aku bisa mengurungkan niatku untu mengakhiri hidupku yang kedua kalinya karena Alif mampu menyadarkanku arti dari hidupku yang sebenarnya, dan apa tujuanku hidup di dunia ini. Mungkin akupun bisa menyadarkan santriwati itu arti hidupnya dan tujuannya dari hidupnya sendiri, namun bagaimana caranya?

"Bukankah kamu juga sudah tahu konsekuensi apa yang akan kamu dapat dengan bunuh diri? Allah paling tidak suka jika hambanya berbuat demikian nak, hagai diri kamu, hargai hidup kamu. Kita hanya akan hidup sekali di dunia ini." Ucap Ustadzah Luluk dengan nada khasnya yang lemah lembut.

"Persetan sama hidup! Apa gunanya hidup -" Teriaknya yang tiba-tiba terhenti.

Isak tangisnya kembali memenuhi ruangan yang tak terlalu besar ini. Untung saja semua santri lain berada di aula untuk mengikuti kajian, jika tidak, mungkin saat ini di sini sudah dipenuhi oleh para santriwati lain yang ikut kepo pada apa yang sedang terjadi.

"Kamu sudah bawa tali?" Tanyaku tanpa sadar yang seketika membuat pandangan semua orang tertuju padaku. Akupun balik menatap mereka kebingungan, tentu akupun tak tahu kenapa aku tiba-tiba bertanya hal itu pada santriwati yang bahkan tak ku ketahui namanya.

Suasana kembali hening, tak ada jawaban dari dalam sana, artinya saat ini hanya ada dua kemungkinan, dia sudah tiada atau dia benar tak membawa tali ataupun alat lainnya untuk meancarkan aksinya itu.

"Nggak bawa ya?" Tanyaku lagi memastikan, tentu aku berharap masih ada jawaban dari dalam sana karena itu artinya ia masih hidup.

"Atau kamu ada bawa pisau? Tapi kayaknya lebih gampang pakek racun deh daripada pisau atau tali gitu. Ribet tau!" Tambahku dan tentu sajasemua oran semakin bertanya-tanya terhadap apa yang baru saja ku katakan.

"Sebagai sesama wanita yang pernah mau bunuh diri, aku cuma mau kasih saran aja sih." 

"Mina?" Gumam Nira menyebut namaku. Akupun tersenyum dan menatapnya sembari menganggukkan kepalaku.

Semua orang tahu kisahku, namun hanya Alif, aku dan Allah lah yang tahu jika aku sempat untuk melakukan percobaan bunuh diri. Bahkan Warda dan Ratna pun tak tahu kebenaran itu karena Alif memintaku untuk menyembunyikannya, katanya itu termasuk salah satu aibku yang Allah tutupi, jadi akupun juga harus menutupinya rapat-rapat. Namun apa unanya itu sekarang? Mungkin di saat-saat seperti ini hal itu bisa berguna.

Aku menghela nafas beratku dan lebih mendekatt ke arah pintu ruangan kamar mandi yang di tempati santriwati itu, aku menyandarkan tubuhku di sana dan terdiam untuk sepersekian detik sebelum aku kembali berbicara.

"Susah memang hidup di dunia ini. Dunia yang dipenuhi oleh oang-orang munafik." Ucapku memecah keheningan.

"Kalau boleh sedikit cerita, dulu akupun sempat berpikir untuk bunuh diri. Tapi bukan dengan cara mengurung diri di kamar mandi kayak kamu gini. Agak ekstrim dikit sih hehehehe,,," Ucapku sembari menginat-ingat kejadian lalu.

"Mau tau nggak?" Tanyaku padanya.

"Apa?" Jawabnya cepat.

Terukir senyum di sudut bibirku, begitupun dengan ustadzah Luluk yang meenghela nafasnya lega karena ini artinya santriwati itu masih hidup di dalam sana dan tak membawa alat apapun untuk melancarkan aksinya.

"Lompat dari jembatan." Jawabku singkat lalu segera meangkah mendekati Nira yang saat ini menyimak perkataanku dengan seksama.

"Haa? Gila ya lo!" Pekik santriwati itu yang tanpa aba-aba membuka pintu kamar mandinya.

"Tangkappp!!!" Teriak Nira yang langsung memeluk santriwati dengan gamis merah dan hijabnya yang terlihat acak-acakan itu dengan pelukannya yang sangat erat.

Santriwati itu tentu meronta dan berusaha untuk membebaskan dirinya namun usahanya itu sia-sia karena salah satu pengurus yang datang bersama Ustadzah Luluk ikut memeluk santriwati baru itu.

Kalau tidak salah namanya Gadis, wanita asal yokyakarta yang baru menjadi penghuni pondok pesantren ini satu minggu yang lalu.

"Bren*sek ngejebak gue lo ya!" Teriaknya.

Dengan cepat Nira menutup mulut Gadis dengan tangan kirinya. Atas perintah Ustadzah Luluk Gadis di bawa ke ruangan ustadzah Luluk untuk diinterogasi mengenai alasannya melakukan hal ini, terlebih ruangan ustadzah Luluklah yang paling dekat dari sini.

Akupun hanya diam di sini dan mengecek kondisi kamar mandi yang digunakan Gadis untuk mengurung dirinya, ku amati setiap sudutnya dengan seksama. Tak ada apapun yang bisa ia gunakan untuk mengakhiri hidupnya di dalam amar mandi ini.

Brakkk,,,,

"Mana yang mau bunuh diri?" Pekik Ustadz Farid terdengar panik tepat setelah pintu utama keluar dan masuk kamar mandi terbuka.

"Loh? yang lainnya pada kemana Na?" Tanya Warda ikut bingung melihat kamar mandi yang sudah sepi.

"Udah di bawa ke ruanannya ustadzah Luluk." Jawabku singkat lalu segera melenggang mendekati Warda.

"Kalian cuma mau ngeprank saya ya?" sahut Ustadz Farid sembari memincingkan matanya.

"Ihhh ngapain juga ngeprank ustadz!" Bantah Warda cepat. "Udah tua juga nanti kalau kena jantungan kan repot." Gumam Warda yang masih bisa ku dengar. Akupun tertawa mendengar hal itu, berbeda dengan Ustadz Farid yang membelalakkan kedua netranya lebar.

"Tua? Kita cuma beda satu tahun ya Wardhani Amalia! Kalau saya tua berarti kamu juga tua!" Tegas Ustadz farid yang memang sebenarnya hanya berbeda bebrapa bulan saja dengan Warda, terlebih mereka berkuliah di kampus yang sama dan di kelas yang sama sehingga terkadang keduanya lebih terlihat seperti teman daripada ustadz dan santriwati.

"Tetep aja tuaan ustadz kan!" jawab Warda yang semakin membuat Ustadz farid menghela nafasnya panjang, berbeda denganku yang hanya bisa geleng-geleng kepala melihat keduanya yang sangat sering berdebat seperti sekarang ini. Aku tersenyum dan mengedarkan pananganku ke seluruh penjuru kamar mandi.

Dan di saat itulah pandanganku tertuju pada sebuah benda kecil yang tereletak di sudut kamar mandi tempat Gadis mengurung diri. Tanpa pikir panjang akupun beranjak untuk mengambilnya.

Aku mengamatinya untuk beberapa saat, belum pernah aku melihat benda seperti ini, lebih terlihat seperti stik es krim, atau ini memang stik es krim?

"Warda! Ini apa ya?" Tanyaku yang masih terfokus pada benda asing di tanganku ini.

Sontak Warda dan Ustadz Farid yang tadinya berdepatpun menjadi diam sunyi. Dengan langkahnya yang perlahan ia berjalan mendekat ke arahku.

"Astaghfirullah Mina! Kamu hamil?" Pekik Warda yang tentu saja membuatku terkejut. Hamil? Yang benar saja? Memangnya aku melakukan hal itu dengan siapa?

"Husss,,, di kamar mandi nggak boleh bilang astaghfirullah!" Sahut Ustadz Farid mengingatkan.

"Lah itu ustadz juga bilang astaghfirullah! Ehh?" Timpa Warda dengan dahinya yang mengkerut.

"Kelepasan maaf!" Sambungnya sembari menutupi mulutnya.

"Kamu beneran hamil?" Tanya Warda berusaha untuk mengalihkan topik pembicaraan.

Dengan cepat aku menggelengkan kepalaku. "Enggak kok!" Jawabku setelah elenan kepalaku.

"Terus itu yang di tangan kamu apa? Itu kan test pack, buat ngetes kehamilan." Tanya Warda lagi sembari menunjuk benda asing yang berada di tanganku ini.

Spontan ku tatap benda yang ada di tanganku ini lekat, ku amati benda ini dengan seksama. "Ini? Buat ngetes kehamilan?" Tanyaku tak percaya, memangnya alat sekecil dan setipis ini bisa untuk mendeteksi kehamilan?

Takdir TerakhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang