026

335 23 3
                                    

Aku menatap Ratna dan Warda yang saat ini sedang bersiap untuk shalat jamaah subuh di masjid. Begitupun denganku yang kini sudah mengenakan mukenah pemberian Husna tadi malam.

Mereka terdiam dan menatapku enggan, seolah ada kebencian untukku dalam tatapan itu. Tapi lagi-lagi aku meyakinkan diriku untuk tetap diam karena itu memang kesalahanku.

Tanpa sepatah kata mereka keluar dan menutup pintu itu dengan keras.

Aku menundukkan kepalaku. Aku harus menjelaskan semuanya pada mereka berdua secepat mungkin. Entah respon apapun yang akan diberikan mereka untukku, aku akan menerimanya.

Tanpa pikir panjang aku segera mengambil sajadah yang sudah ku siapkan di atas ranjangku.

Aku berjalan perlahan, melangkahkan kakiku melewati koridor yang masih ramai oleh para santriwati yang terlihat terburu-buru menuju masjid sama sepertiku.

Ini kali pertamaku mengikuti shalat jamaah di masjid bersama santri-santri lain. Kata Husna abaikan santri-santri yang memandangku jika aku merasa tak nyaman.

Dan benar saja, semua pandangan seperti tertuju padaku saat ini. Dan ya, tatapan mereka sama seperti tatapan Ratna dan Warda tadi.

Tak terasa aku sudah sampai di masjid yang ternyata terlihat begitu indah. Rasanya berbeda dengan saat pertama kali aku melihatnya.

Tanpa pikir panjang aku segera melepas alas kakiku dan bergegas berjalan menuju area perempuan.

Ternyata sudah banyak sekali santriwati yang duduk menunggu di sana. Akupun segera mencari tempat dan menggelar sajadahku di sana.

Tak berselang lama suara Iqamah terdengar dan semua santriwati bergegas berdiri. Begitupun denganku yang langsung berdiri mengikuti mereka.

Suara Abi Umar terdengar, meminta agar seluruh santrinya merapatkan shaf masing-masing. Dan disusul dengan suara takbir.

Aku mulai membaca niat yang kemarin malam Husna ajarkan, lalu mengangkat tanganku, namun belum sempat tanganku bersedekap di dada seseorang menarikku dan membawaku menjauh.

Aku pernah melihatnya sekali, dia adalah santriwati yang menjadi salah satu pengurus ponpes ini.

Tanpa sepatah kata ia terus menarikku ke luar dari masjid ini, dan akupun hanya bisa mengikutinya karena aku tak bisa berteriak karena hal itu pasti akan membuat yang lainnya terganggu.

Tepat setelah kami berada di luar area masjid ia melepas tanganku dan menatapku tajam.

"Kamu mau ngapain tadi di dalam?" Tanyanya cepat.

Sontak aku mengerenyitkan dahiku. "Mau shalat lah." Jawabku yang membuatnya ikut mengerenyitkan dahinya.

"Shalat?" Tekannya padaku dan tentu aku langsung menganggukkan kepalaku.

Melihat anggukanku ia menyeringai, mungkin ia juga sama seperti santri yang lain.

"Saya sudah tahu semuanya!" Sahutnya dengan suara yang semakin meninggi, toh tak akan ada yang mendengarnya karena kami berada lumayan jauh dari area masjid, lebih tepatnya kami berada di bawah pohon mangga yang tumbuh di samping pagar yang menjadi pembatas area rumah Alif dan pondok pesantren.

"Jadi kamu tidak perlu berbohong lagi!" Sambungnya yang terlihat begitu kesal padaku.

Aku menatapnya lekat. "Tapi saya tidak berbohong! Saya benar-benar ingin sha—"

"Kami semua sudah tahu! Kami semua tahu kebusukan kamu yang berpura-pura menjadi seorang muslimah!" Potongnya tanpa mendengar perkataanku.

"Tapi saya benar-benar tidak berbohong! Sekarang saya sudah masuk islam!"

Ia terdiam untuk sesaat dan mengalihkan pandangannya dariku. "kamu pikir saya percaya?" Tanyanya.

"Kamu benar-benar seorang wanita paling buruk yang pernah saya temui. Bahkan dengan bangganya kamu berbohong mengenai agama." Lanjutnya.

"Sungguh semoga Allah tidak melaknatmu suatu hari nanti." Tambahnya dan langsung melenggang meninggalkanku.

"Saya akan segera mengurus masalah kamu dan mengadukannya pada ustadz dan ustadzah, lebih baik sekarang kamu kembali ke kamar sebelum ada keributan dari santri lain." Ucapnya.

Tanpa pikir panjang aku menarik tangannya dan menatapnya lekat. "Saya wanita muslim! Dan saya kan tetap mengikuti jamaah di masjid!" Ucapku serius.

"Dan mau kamu percaya atau tidak, tapi saya adalah seorang muslimah! Saya muslim! Dan Allah tuhan saya!" Tambahku yang langsung membuatnya menyipitkan mata lalu melepas cengkraman tanganku.

"Sayangnya saya tidak sebodoh itu sampai mempercayai ucapan kamu." Sahutnya cepat.

Kami terdiam untuk sesaat, entah apa yang sudah mereka semua dengan tentangku tapi aku ingin meluruskan semuanya. Dan aku akan tetap mengakui semua kesalahanku.

"Bahkan jika saya yang mengatakannya?" Timpa Alif yang tiba-tiba muncul, sontak santriwati itu menundukkan kepalanya begitu menyadari Alif berada di hadapannya.

"Maaf gus, tapi sepertinya gus salah faham. Dia ini—"

"Wanita non islam? Penipu? Atau apa?" Potong Alif tegas.

Mendengar hal itu sontak wanita itu mendongakkan kepalanya dan menatap Alif untuk sepersekian detik. "Tapi memang benar kalau wanita itu menipu kita semua gus, dia berbohong menjadi seorang muslimah padahal dia tidak menganut agama islam. Dia bahkan berniat untuk shalat berjamaah tadi." Jelasnya.

"Kalau begitu, saya juga pembohong kan karena saya sendiri yang membawanya ke sini? Jadi kamu tidak ingin memarahi saya juga?" Tanya Alif yang langsung membuat santriwati itu menutup mulutnya rapat-rapat.

"Memang benar jika dulu ia adalah seorang wanita yang tidak menganut ajaran agama Islam, tapi sekarang dia sudah menganut apa yang saya anut, dia mempercayai apa yang saya percayai."

"Mina, dia adalah Aminah Humaira, seorang muslimah yang juga ingin memperdalam ilmu agamanya seperti kalian." Tambah Alif yang membuat santriwati itu langsung menatapku seakan tak percaya dengan apa yang ia dengar.

"Dia sudah mengucap dua kalimat syahadat, dan saya adalah saksinya." Sambung Alif yang mengundang keheningan di antara kami bertiga.

"Apa kamu juga tidak akan mempercayai ucapan saya?" Tanya Alif di tengah keheningan.

Santriwati itupun dengan cepat menggelengkan kepalanya dan meminta maaf padaku. Sebenarnya bukan dia yang seharusnya meminta maaf, melainkan aku. Karena memang benar aku menipu mereka semua.

Akupun meminta maaf padanya, dan dengan senyum yang terlihat ia paksakan ia menganggukkan kepalanya.

"Kalau begitu saya pamit undur diri gus. Assalamualaikum." Pamit santriwati itu meninggalkan kami berdua.

Aku menundukkan kepalaku dan menghela nafas beratku. Mungkin aku akan mengalami hal seperti ini tak hanya sekali atau dua kali untuk kedepannya. Terlebih aku harus benar-benar meminta maaf pada mereka semua.

"Kamu mau tetap di sini?" Tanya Alif memecah keheningan.

"O—oh, en—enggak." Jawabku cepat dengan ekspresiku yang sedikit kecewa.

Alif melirik ke arahku yang tak kunjung melangkah.

"Kenapa?" Tanya Alif lagi dengan nadanya yang lebih lembut dari sebelumnya.

"O—oh itu, ta—tadi kan aku mau ikut jamaah subuh, tapi sekarang jamaah nya udah selesai." Jawabku cepat.

"Hmm?" Gumam Alif sembari menelengkan kepalanya mengisyaratkan ia tak mengerti maksud dari ucapanku.

"Aku kan belum hafal doa yang waktu angkat tangan itu, kan ada doa apa itu namanya —"

"Doa qunut?" Sahut Alif.

"Iya itu. Kata Husna kalau kita jamaah kan tinggal nurut imamnya jadi nggak masalah kalau belum hafal, tapi sekarang jamaah nya pasti udah selesai, jadi harus hafalin doanya dulu baru bisa sha—"

"Saya yang akan jadi imam kamu!" Sahut Alif cepat dan sontak saja aku menatapnya dengan perasaan bahagia, berbeda dengannya yang langsung menundukkan kepala dan melenggang meninggalkanku, dan ya aku segera mengikuti langkahnya menuju masjid.

Takdir TerakhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang