022

342 26 10
                                    

Aku terdiam menatap langit-langit kamar yang tak terlalu besar ini.

Saat ini aku berada di rumah keluarga Alif yang dulu pernah aku tinggali sebelum Alif mengajakku untuk tinggal di pondok pesantren.

Aku menghela nafas beratku entah sudah yang ke berapa kali hari ini, aku bahkan sudah lupa.

"Mbak belum tidur?" Tanya Husna yang bertugas untuk menemaniku tidur di sini karena aku masih terngiang-ngiang akan kejadian dengan tikus yang sampai saat ini masih membuatku merinding.

Aku menganggukkan kepalaku dan menatap Husna yang masih mengenakan mukena nya. Sebenarnya aku kasihan padanya, karena ia bahkan baru saja pulang dan malah di minta untuk menemaniku di sini, terlebih sampai saat ini kami berdua masih sangat canggung.

"Mau Husna buatin teh?" Tanyanya lagi sembari melipat mukena itu tanpa memalingkan pandangannya padaku.

Sekali lagi aku menganggukkan kepalaku dan segera bangkit membuntutinya menuju dapur.

Benar. Setelah percakapan yang cukup panjang antara aku, Alif, serta keluarganya. Mereka memutuskan untuk membiarkan aku tinggal di rumah ini untuk sementara waktu.

Lebih tepatnya sampai aku tenang dan memikirkan apa yang aku katakan pada mereka tadi.

Keinginanku untuk masuk agama Islam.

Aku pikir mereka akan setuju begitu saja. Namun di luar perkiraanku, mereka justru memberiku banyak nasihat dan memintaku untuk memikirkan keinginanku itu lagi.

"Bukannya kami tidak mau membantu karena kita memiliki tuhan yang berbeda. Namun masalah yang kamu hadapi saat ini hanya kamu yang bisa menyelesaikannya."

"Terlebih agama kami tidak pernah menginginkan seseorang mempercayainya atas dasar terpaksa, ataupun tekanan. Kami tidak akan pernah memaksa kamu untuk meyakini apa yang kami yakini."

"Agama bukan untuk main-main. Mungkin saat ini kamu masih larut dalam emosi kamu. Mungkin saat ini kamu tidak bisa berpikir jernih karena tekanan yang kamu dapatkan. Sebaiknya kamu istirahat terlebih dahulu dan pikirkan hal itu matang-matang. Dan jangan sampai keputusan yang akan kamu ambil membuatmu menyesal di kemudian hari. "

Itu yang Abi Umar katakan padaku dan meminta Husna yang baru saja pulang untuk menemaniku di sini.

Meskipun awalnya Alif meminta untuk ikut menemani kami di rumah ini hanya untuk memastikan keamanan kami, namun Abi Umar dengan tegas mengatakan tidak karena aku dan Alif bukan mahram.

Jujur saja, aku sempat sangat terganggu dengan adanya batasan-batasan seperti itu dalam agama Islam, namun di sisi lain aku pun merasa sangat di hormati sebagai seorang wanita dengan adanya batasan-batasan tersebut yang selalu memprioritaskan kedudukan seorang wanita yang jauh lebih di jaga kehormatannya.

"Ini teh nya mbak." Ucap Husna sembari menyodorkan secangkir teh hangat padaku.

Padahal dari tadi aku mengamati setiap pergerakan Husna dalam menyiapkan teh ini, namun aku bahkan tak sadar jika saat ini teh nya sudah siap.

"Makasih." Jawabku dengan senyum tipis yang terbit di bibirku.

Husna melangkahkan kakinya menuju ruang tamu. Begitupun denganku yang terus mengekor padanya.

Aku duduk di hadapannya. Kami menikmati teh hangat ini di tengah gelapnya malam, meskipun bisa di bilang sudah hampir mendekati pagi karena saat ini sudah pukul 02.45 WIB.

"Kenapa mbak mau masuk Islam?" Tanya Husna dengan sangat tenang.

"Hmm?" Gumamku sembari meletakkan cangkir teh ku ke atas meja.

"Sebenarnya Husna juga sedikit kecewa waktu dengan cerita dari ummi tadi. Tapi Husna yakin kalau setiap keputusan selalu ada alasan. Jadi saat ini Husna penasaran. Apa alasan mbak dan mas Alif berbohong sampai sejauh ini? Dan alasan mengapa mbak ingin menjadi seorang mualaf?"

Tiba-tiba lidahku terasa kelu. Aku benar-benar tak tahu harus menjawab apa saat ini. Terlebih alasanku ingin masuk agama islam tak lain hanya untuk membuat nenekku menyerah. Karena aku tahu nenekku itu tak akan pernah mau menerimaku lagi jika ia tahu aku memiliki keyakinan yang berbeda dengannya.

Namun ada alasan lain yang aku temukan dalam diriku saat ini. Damai.

Aku selalu menemukan damai yang selama ini belum aku dapatkan. Aku merasa damai saat bersama dengan santriwati lain yang sibuk menghafal kitab mereka. Aku selalu merasa damai ketika mendengar lantunan ayat suci yang selalu mereka lantunkan untuk mengawali dan mengakhiri hari.

Dan aku selalu terpesona dengan tingkah laku mereka yang selalu bersikap sopan dan menjaga jarak serta pandangan dari lawan jenis mereka.

Tak ada perbedaan kasta seperti yang selama ini aku lihat di lingkunganku. "Si kaya dan si miskin, si tampan dan si buruk rupa, si tinggi dan si pendek, si gemuk dan si kurus. Semuanya setara di mata Allah SWT." Itu yang aku dengar dari acara tadi pagi yang di laksanakan setelah shalat subuh.

Meskipun aku hanya bersama mereka selama dua hari aku merasa sangat damai dan bahagia. Sesaat aku melupakan tujuan awalku. Dan hal itu pula yang membuatku yakin serta bertekad untuk menjadi seorang mualaf.

Aku tersenyum dan menatap Husna yakin. "Untuk pertanyaan pertama, akan sedikit rumit jika menjelaskannya saat ini."

"Namun untuk pertanyaan kedua, aku akan menjawabnya dengan semua keyakinan yang aku miliki." Sambungku.

"Damai. Aku menemukan kedamaian dalam agama islam." Ucapku tanpa satu keraguan pun.

Husna menatapku lekat dengan ekspresi datarnya. Dan tak lama setelah itu senyum tipis terbit daru sudut bibirnya.

"Sebaiknya sekarang kita segera ke kamar dan tidur. Kita pasti butuh tenaga untuk menghadapi hari esok yang mungkin akan cukup menghabiskan tenaga!" Ajak Husna yang langsung membawa cangkirnya ke dapur lalu segera ke kamar tidur.

Lagi-lagi akupun hanya mengikutinya meskipun kemungkinan kami bisa tidur hanya sekitar 30 menit sampai satu jam saja dari sekarang. Tentu karena jam 4 kami sudah harus bangun untuk melakukan aktifitas seperti saat aku berada di pondok pesantren.

Takdir TerakhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang