042

289 25 12
                                    

Kakiku melangkah dengan hatiku yang terasa kacau, memang benar jika aku mulai menyukai Alif, ia lelaki yang sangat baik dan sangat penyayang, lelaki pertama yang mampu merubah pemikiranku selama ini, dan lelaki pertama yang menyadarkanku akan adanya Allah yang selalu membersamaiku.

Dan ia adalah laki-laki yang sangat aku hormati.Hanya sekedar suka, namun jika untuk mencintainya aku belum bisa. Namun entah mengapa dadaku terasa sesak begitu tahu jika Abi Umar tak akan merestuiku untuk bersama dengan Alif meskipun ia menganggapku seperti keluarganya sendiri.

Akupun tahu, dia bukan untuk kumiliki, dia berhak untuk mendapatkan seseorang yang jauh lebih baik dari diriku yang hanya sepenggal kata dalam takdir yang sudah dituliskan untuknya.

Dia tidak ditakdirkan untukku, dan aku tak akan membiarkan diriku menjadi noda dalam hidupnya. Akupun ingin ia bahagia sebagaimana ia menginginkanku bahagia.

"Mina!" Panggil seseorang dari arah belakangku, akupun menolehkan kepalaku dan menatap sosoknya yang berjalan mendekatiku meskipun au hanya bisa melihatnya samar dari kejauhan, "Ozzi?" Gumamku karena tak mengerti apa maksut dari kedatangannya, 

Semakin dekat ia denganku semakin jelas pula dirinya dalam pandanganku, ia mendekatiku dengan sebuah sapu tangan dalam gengaman tangannya. Sapu tangan yang membuatku teringat akan kenanganku dua belas tahun lalu.

"Itu?" Gumamku yang masih tak bisa mengalihkan pandanganku dari sapu tangan itu.

Ia mengangkat sapu tangan itu setara dengan wajahku dengan senyum tipis di wajahnya, aku menatapnya lekat, memperhatikan sapu tangan itu dengan seksama.

Sekarang aku merasa sangat yakin jika itu adalah sapu tangan yang aku buat dua belas tahun silam untuk calon adikku, adik yang sudah sangat dinanti-nantikan dalam keuargaku namun ia justru tak dapat melihat dunia ini walaupun hanya sedetikpun, mungkin tuhan lebih menyayanginya kaarena itulah Tuhan tak membiarkan adikku hidup didunia yang kejam ini dan menempatkannya di sisinya.

Tanpa basa-basi Ozzi meraih tanganku dan memberikan sapu tangan itu padaku, aku menatapnya penuh ragu, bebagai pertanyaan terus berputar di kepalaku.

Dari mana ia mendapat sapu tangan ini?

Sudah hampir tiga tahun sapu tangan ini tak berada padaku karena sebuah alasan, lalu bagaimana bisa ini ada pada Ozzi?

Apa Ozzi tak sengaja menemukannya, tapi darimana ia tahu jika sapu tangan ini milikku?

Ozzi menenggam tanganku dan menatapku dalam, "Aku sudah tahu perasaannya padamu. Aku akan menghormati keputusan dan pilihanmu. Tapi biarkan aku juga memperjuangkan cintaku." Ucapnya dengan senyum tulus yang terukir di wajahnya.

Untuk sesaat tubuhku terasa membeku, antara rasa tak percaya jika sapu tangan ini bisa kembali padaku dan rasa tak percaya jika Ozzi mengatakan hal seperti itu padaku. Ia juga menyukaiku? Maksudku ia tak main-main dengan itu? Apa ia benar-benar serius sekarang?

Ada apa dengan hari ini? Kenapa semua orang bertingkah sangat Aneh?

"Tapi dari mana kamu mendapatkan ini? Dan bagaimana bisa?" Tanyaku serius karena sudah tak dapat membendung rasa penasaran yang sudah menyelimutiku sejak tadi.

Ozzi tersenyum, senyum yang terlihat sangat manis, berbeda dengan ia yang biasanya, hari ini ia terlihat seperti bukan dirinya. "Seorang wanita cantik baik hati yang memberikannya tiga tahun yang lalu, di bawah pohon bunga sakura yang sedang bermekaran dengan indahnya." Jawabnya yang membuatku langsung menyadari sesuatu,

Apa Ozzi pemuda yang dulu pernah kutemui di Jepang? Pemuda dengan luka di tangan kananya?

"Iya, beda banget kan sama Ozzi yang sekarang?" Celetuknya seolah ia bisa membaca pikiraku.

"Lebih ganteng sekarang kan?" Tanyanya lagi dengan rasa percaya diri yang terpancar jelas di matanya.

Aku menatapnya lekat, ku perhatikan dirinya dengan seksama. Jadi benar ia adalah pemuda yang dulu ku temui dalam keadaan hampir menangis karena terjatuh dari sepedanya di Jepang?

"Padahal waktu pertama kali lihat kamu aku bisa langsung tahu loh kalau kamu wanita baik hati yang dulu nolongin anak cengeng ini." Ucapnya dengan kekehan kecil.

"Yahh walaupun sempet nggak yakin sih karena kamu tiba-tiba pakai hijab, tapi ini, perasaan yang ada di sini nih yang terus meyakinkanku." sambungnya sembari menyentuh dadanya,

"Udah lama aku mau ucapin makasih tapi susah buat cari kamu, dan setelah perjalanan tiga tahun takdir yang nemuin kita kayak gini, aneh ya!" Tambahnya lagi, namun kali ini ia mengatakan hal itu sembari menatap bulan yang besinar cukup terang.

aku hanya bisa terdiam, tak tahu respon apa yang harus ku berikan, terlebih aku masih tak percaya jika Ozzi adalah pemuda yang dulu ku tolong. Pemuda yang membuat orang-orang kebingungan karena ia hanya bisa berbahasa indonesia dan bahasa arab di Jepang sana, terdengar aneh namun itulah dia, untunglah saat itu aku ada di sana sehingga bisa menolongnya.

Sejak dulu aku sangat menyukai bunga sakura, aku akan selalu meluangkan waktuku untuk bisa melihat bunga sakura, meskpun hanya dengan dua orang pengasuhku.

"Mina!" Panggil Ozzi membuyarkan lamunanku.

"Haa? Ya?" Gumamku yang langsung terpaku pada sosok Ozzi yang dengan tiba-tiba melepas jaket yang ia kenakan. 

"Dingin," Ucapnya sembari meletakkan jaket itu menutupi kedua bahuku.

"Cepet ke kamar ya, nggak usah mampir-mampir!" Sambungnya yang langsung berlari menjauh dariku.

"Inget! Mulai detik ini aku bakal ikut perang sama Alif buat dapetin hati kamu!" Pekiknya antusias.

"Good night, Assalamualaikum!" Sambungnya yang sudah semakin terlihat samar dalam pandanganku.

Terbit senyum di bibirku, "Waalaikumussalam," Jawabku lirih dan kembali melangkahkan kakiku melanjutkan perjalananku yang tadi terhenti.

"Takdir yang aneh." Gumamku lirih mengingat pertemuanku dengan Ozzi tiga tahun yang lalu. Jadi selama ini ia terus mencariku? Bagaimanapun juga dia lebih muda dariku, jadi mungkin saat ini perasaannya masih labil dan belum bisa tahu mana cinta, kagum, dan sekedar suka.

Jadi aku hanya perlu memberinya waktu sampai ia menyadari perasaannya yang sebenarnya.

Takdir TerakhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang