056

295 24 17
                                    

Aku menyambut kedatangan kuasa hukumku. Bersama Gadis tentunya, dan di kantorku. Bahkan Alfan pun ikut mendampingiku. Awalnya aku mennyuruhnya untuk meninggalkanku sendiri, namun Alfan terus bersikeras dan menghubungi kuasa hukumku untuk bertanya apa yang sebenarnya terjadi. Dan yaahh, saat ini ia sudah tahu semuanya. Meskipun awalnya kuasa hukumku tak memberitahunya, entah dengan cara apa ia mengancam kuasa hukumku itu sampai mau mengatakan segalanya pada Alfan.

Ia tahu tentang aku yang sedang mengurus surat perjanjian adopsi. Dan anehnya ia malah berjanji padaku untuk tidak memberitahukan hal ini pada nenekku. Entah karena merasa bersalah padaku atau apa. Yang jelas ini membuatku sedikit merasa lega.

Oh, dan satu lagi. alif juga ada di sini.

Ia memaksa untuk mengantarku ke kantor karena ia bilang ia juga ikut bertanggung jawab atas apa yang saat ini terjadi karena ia lah yang membawaku ke tempatnya. Pondok pesantren. Dan setelah percakapan kami pagi tadi, Alif memberiku waktu tiga hari untuk memikirkan ajakannya untuk menikah. Ia memintaku untuk melakukan shalat istiqarah. Dan bila nanti hasilnya tetap sama. Aku tetap tak ingin atau hatiku tetap tak tergerak untuk menerima pinangannya ia tak akan memintaku untuk menikah dengannya lagi. Dan aku menyetujuinya.

Gadis duduk di sampingku, sementara Alif duduk bersebelahan dengan kuasa hukumku di hadapanku yang hanya dibatasi meja kaca kecil . Sedangkan Alfan memilih untuk tetap berdiri di sampingku meskipun aku sudah memintanya untuk ikut duduk bersama kami.

Aku memulai pembicaraan. Mennyakan apa-apa saja sebenarnya persyaratan untuk bisa mengadopsi seorang anak. Dan apa saat ini aku bisa mengadopsinya.

Kuasa hukumku itu langsung mengeluarkan sebuah dokumen dengan map berarna merah dari tasnya lalu menyerahkannya padaku. Ia memintaku untuk membacanya bersama Gadis. Dan beliau menjelaskan satu per satu poin yang ada di dokumen ini.

Jadi memang benar, aku harus sudah menikah setidaknya lima tahun untuk bisa mengadopsi anak yang masih ada di kandungan Gadis.

"Sebenarnya bisa kalau Bu Mina tetap ingin mengadopsi anak itu tepat setelah anak itu lahir. Namun tanpa surat adopsi resmi dan hanya tanda tangan di atas perjajian dari dua belah pihak." Ucap Kuasa hukumku membuatku semakin bingung. Bukankah sangat jelas jika harus menikah dulu untuk bisa mengadopsi anak?

"Maksudnya saya bisa mengadopsi anak ini tanpa menikah?"

"Benar, namun ada resiko di balik itu semua. Karen itu saya akan menyrankan agar Bu Mina menikah sebelum anak itu lahir, agar nantinya setelah pernikahan Bu Mina sudah menginjak usia lima tahun kita bisa mengatur ulang surat adopsinya." Jawabnya membuat kepalaku terasa semakin pusing. Aku tidak mungkin menarik perkataanku sendiri. Dan akupun belum siap jika harus menikah.

"kalau begitu menikahlah mbak!" Timpa Gadis dengan ekspresinya yang terlihat khawatir.

Aku menatapnya lekat. Apa aku harus mengorbankan diriku demi menolong seseorang?

*****

Setelah pertemuan siang tadi aku mengantar Gadis untuk melakukan pemeriksaan pada kandungannya. Dan alhamdulillah hasilnya semua normal. namun di sepanjang perjalanan kembali ke kantorku aku terus memikirkan semua perkataan kuasa hukumku. Terlebih mengingat perkataan Alif pagi tadi.

Tapi rasanya tak adil jika aku menikah dengan Alif hanya untuk memenuhi persyaratan adopsi anak Gadis. 

Hahhh,,,

aku menghela nafasku dan kembali melihat-lihat apartemen yang sekiranya bisa digunakan Gadis untuk tinggal sementara waktu selama ia mengandung. Samai saat ini para santri lain belum ada yang tahu jika saat ini Gadis tengah mengandung. Bahkan semua santriwati yang tahu akan percobaan Gadis untuk mengakhiri hidupnya sendiri di minta untuk tetap bungkam tak mengatakannya pada siapapun.

"Fan!" Panggilku pad Alfan yang baru saja datang dengan sebuah dokumen di tangannya.

"Ya?"

"Bisa tolong kamu antar Gadis kembali ke ponpes?"

Alfan pun mengangguk.

"Sama tolong kamu carikan tempat tinggal untuk Gadis. Apartemen atau apapun itu terserah, yang penting layak untuk ditinggali dan tak terlalu kecil." Tambahku yang lagi-lagi langsug ia angguki. Ia segera melenggang untuk mengantar Gadis yang saat ini sedang berjalan-jalan di lantai bawah.

Aku kembali menghela nafasku entah untuk yang keberapa kalinya hari ini dan memeriksa dokumen yang tadi Alfan berikan.

Tok,,tok,,tok,,

"Permisi Bu Mina." Ucap seseoranng yang saat ini berada di balik pintu itu, dan sepertinya itu suara Alfan. Untuk apa ia kembali lagi? Apa ia tak bisa menemukan Gadis? Padahal belum sampai lima menit setelah ia keluar tadi.

"Iya masuk."

PIntu terbuka perlahan. Dan memang benar itu Alfan, namun kali ini ia tak datang sendiri, ia datang bersama dengan sebuah paperbag di tangannya.

"Itu apa?" Tanyaku kepo.

"Tadi ada yang menitipkan makanan di resepsionis."

"Siapa?"

"Kalau tidak salah tadi dari Alif Ahmad Maulana." Jawabnya yang semakin membuatku penasaran.

Dari Alif? Apa benar? Tapi untuk apa? Bukankah tadi ia juga baru dari sini? Kenapa malah menitipkan makanan?

Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di kepalaku. Dan yaa, aku menerima paperbg itu meskipun pikiranku masih dipenuhi dengan tanda tanya.

"Jangan-jangan ini sogokan biar aku mau nikah sama dia?" Gumamku lirih setelah melihat isi paperbag ini.

Takdir TerakhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang