005

564 46 1
                                    

Aku menatap langit malam dari balik jendela yang terlihat seperti jeruji besi untukku. Aku menghela nafas beratku sesaat dan perlahan membuka jendela yang lumayan tinggi itu dengan paksa.

Aku mengerjapkan mataku, menikmati hembusan angin yang menyapa tubuhku. Rasanya sangat damai sampai aku lupa akan tujuan awalku. Benar, mengakhiri hidupku.

Entah mengapa saat ini hatiku terasa sedikit berat jika harus meninggalkan dunia ini setelah mendengar perkataan Alif siang tadi. Dan ada benarnya juga, hidupku belum tentu hancur dan menderita meskipun aku hanya seorang diri di sini.

Toh aku masih harus menyelidiki penyebab kecelakaan kedua orangtuaku, yang kemungkinan dilakukan oleh keluargaku sendiri. Benar, keluargaku sendiri. Lucu bukan?

Aku berpikiran seperti itu bukan tanpa alasan, melainkan kecelakaan itu terjadi tepat sehari setelah pembagian ahli waris keluarga besar ku, dan tentu ayah ku lah yang mendapatkan bagian lebih banyak dari ke tiga saudaranya, dengan alasan ayahku satu-satunya ahli waris laki-laki di keluarga itu.

Banyak sekali kemungkinan yang bisa terjadi dengan  kehidupan keluarga besar ku yang cukup manipulatif. Aku tak ingin terjebak dan gila di sana seperti kedua orang tuaku dan saudara-saudaranya yang gila akan harta

Karena hal itu pula aku memutuskan untuk tetap hidup. Hidup demi keadilan mereka berdua.

*****

Pagi ini adalah pagi terakhirku di rumah skit ini. Dan ya, kini Alif ada di sini untuk menemaniku. Menemani wanita gila yang sudah ia selamatkan saat mencoba untuk bunuh diri.

"Apa ada nomor sanak saudara Anda yang bisa saya hubungi?" Tanya Alif lirih dan terlihat canggung di hadapanku dan dengan pandangannya yang selalu tertunduk. Dan jujur sikapnya itu selalu membuatku penasaran. Apa ada sesuatu di wajahku? Atau wajahku sebegitu buruknya sampai ia enggan untuk menatapku?

Tanpa pikir panjang aku menggelengkan kepalaku. Aku tak ingin orang-orang tahu apa yang sudah aku lakukan, aku tak ingin melihat tatapan menjijikan mereka yang seolah merasa iba padaku.

"Anda benar-benar sebatang kara? Nenek? Kakek? Bibi? Atau saudara lainnya?" Lanjut Alif terlihat terkejut mendengar jawabanku.

"Ada nenek, tapi saya tidak mau siapapun mengetahui kondisi saya yang seperti ini." Jawabku sembari memainkan jari-jemariku.

Alif menghela nafasnya lalu mengangguk pelan. "Lalu apa yang akan anda lakukan setelah keluar dari rumah sakit ini?" Tanyanya serius.

*****

Aku mengikuti langkah kaki Alif yang saat ini membukakan pintu untukku. Aku mengedarkan pandanganku ke sekeliling rumah yang ada di hadapanku. Rumah yang tak terlalu besar dan terlihat sangat sederhana.

Setelah percakapanku yang cukup panjang dengan Alif, akhirnya ia mau untuk membantuku mencarikan rumah untuk ku gunakan selama menenangkan diri.

"Rumahnya tidak terlalu besar, tapi sangat nyaman. Dulu ini adalah rumah paman dan bibi saya, namun beliau sudah menjualnya pada keluarga saya dan memutuskan untuk pindah ke Kalimantan menyusul anaknya. Jadi anda bisa menggunakan rumah ini untuk sementara waktu." Jelas Alif yang saat ini berada di ambang pintu dengan senyumnya yang terlihat sangat indah.

Baru kali ini aku melihat ia tersenyum seperti itu. Dan jujur saja hatiku sedikit bergetar saat ini.

"I—iya terimakasih."

"Mungkin tempatnya sedikit kotor, karena ya tak ada orang yang menempati rumah ini selama beberapa tahun belakangan. Tapi anda tidak perlu khawatir, saya akan membantu untuk membersihkan sebagian rumah dan anda bisa beristirahat dulu di kamar yang berada di ujung sana." Jelas Alif sembari memberikan kunci rumah ini padaku.

"Saya bisa membersihkannya sendiri nanti, jadi tidak perlu repot-repot." Sahutku karena merasa tak enak pada Alif, terlebih ia meminjamkan rumah ini untukku secara cuma-cuma. Karena ya, aku belum bisa membayarnya karena aku tak membawa dompet saat aku mencoba bunuh diri malam itu.

"Tidak apa-apa, saya ikhlas melakukannya. Dan saat saya berada di rumah ini kenangan saya bersama saudara-saudara saya terlintas kembali di benak saya, dan jujur itu membuat sya sedikit bahagia." Timpa Alif yang lagi-lagi dengan senyumnya yang terlihat sangat indah.

"Emm, kalau begitu maaf karena harus merepotkan." Ucapku lirih.

"Sama-sama. Saya ambil sapu dulu ya." Pamit Alif yang sudah bersiap untuk melenggang ke belakang.

"Alif!" Panggilku begitu Alif mulai beranjak.

"Ya?" Jawabnya yang langsung menghentikan langkahnya dan menghadapkan tubuhnya padaku, namun tidak dengan pandangannya.

"Emm,, apa orang tua kamu tahu kalau saya akan tinggal di sini?" Tanyaku yang entah mengapa Alif hanya terdiam dengan ekspresinya yang terlihat kelabakan saat mendengar pertanyaanku itu.

°

°

°

°

°

Haii Reader's ❤️

Gimana-gimana?

Maaf ya, up nya luamaaaaaa😣
Ada beberapa hal lain yang sedikittttt lebih penting soalnya hehehe, jadi jarang up yg ini, maap ya😚

Btw jan lupa vote and tinggalin jejak kalian di kolom komentar, dannnn jangan lupa follow Ig akun ini juga yaaa, banyak inpo yang Amiw share di sana!!!

Btw jan lupa vote and tinggalin jejak kalian di kolom komentar, dannnn jangan lupa follow Ig akun ini juga yaaa, banyak inpo yang Amiw share di sana!!!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Stay tuned and
Happy Reading ✨

Takdir TerakhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang