015

416 34 5
                                    

Motor mulai melaju dengan kecepatan sedang, aku memandangi pemandangan sekitar yang terlihat cukup sepi, mungkin karena sekarang termasuk jam kerja sehingga tak terlalu banyak kendaraan yang berlalu-lalang siang ini.

Di sepanjang perjalanan Alif hanya terdiam, ia tak mengucapkan satu kata pun sehingga membuatku merasa canggung dan bosan.

Setelah lebih kurang 45 menit kami menyusuri jalanan, kini kami tiba di salah satu bangunan yang terlihat cukup tua dengan plang panti asuhan Dharma.

Jika dilihat sekilas bangunan ini terlihat seperti bangunan terbengkalai yang tak berpenghuni. Benar-benar sepi dan berada di pinggiran kota.

"Emmm,,, kamu bisa turun dulu?" Tanya Alif lirih dan sontak saja aku langsung turun dari atas motornya lalu melepas helmku. Namun bagaimana caranya melepas helm?

Aku menarik helm ini berkali-kali, namun tali pengaitnya tetap tak mau terlepas, aku menghela nafasku, apa memang sesulit ini untuk melepaskan helm?

Sementara aku masih sibuk dengan helmku, Alif mulai menurunkan kardus yang kami bawa, dan merapihkan bajunya lalu memasang topi hitam lonjong miliknya lagi.

"Mina!" Panggil Alif yang sedari tadi mengamatiku.

"Ya?" Jawabku langsung menatapnya lekat. Apa Alif berniat membantuku?

"Bisa lebih cepat?" Tanya Alif yang entah mengapa tiba-tiba membuatku merasa kesal padanya.

"IYA!" Jawabku penuh penekanan, memangnya ia tak bisa melihat ya jika saat ini aku sedang kesulitan melepas helm ini? Dasar laki-laki tidak peka!

Aku menghela nafasku, aku benar-benar sudah menyerah dengan helm ini, toh bukan masalah besar kan jika aku memakainya sampai ke dalam sana?

Tanpa basa-basi lagi aku segera mengangkat bajuku yang sangat panjang ini agar aku tak kesusahan saat berjalan. "Yuk!" Ajak ku pada Alif yang daritadi menungguku.

Aku menatapnya kesal, di saat aku mengajaknya masuk ia malah berdiri saja di sana. Apa aku salah tempat? Yahh memang aku yang bodoh karena berjalan lebih dulu padahal tak mengetahui di mana tempatnya. Tapi di sini terdapat plang panti asuhan, memangnya ada plang panti asuhan lain di sini selain tempat ini?

"Kenapa?" Tanyaku sinis karena masih kesal padanya.

"Itu?" Jawab Alif sembari menunjuk helm ku menggunakan isyarat matanya.

Mendengar hal itu aku semakin mengerucutkan bibirku, setidaknya jika ia tak ingin membantu ia bisa diam saja kan.

"Tren baru!" Jawabku kesal dan sepertinya Alif menyadari hal itu.

"Oh." Gumam Alif namun terdengar seperti ejekan di telingaku. Apa Alif ini benar-benar manusia? Sepertinya bukan, kurasa Alif adalah batu jadi-jadian yang menyamar menjadi manusia!!!

"Yaudah kalau gitu yuk!" Ajak Alif yang langsung berjalan mendahuluiku memasuki gerbang panti asuhan itu.

Tok,,,tok,,,tok,,,

"Assalamualaikum," salam Alif sembari mengetuk pintu di hadapan kami beberapa kali.

Di saat Alif sibuk mengetuk pintu itu aku mengamati ke sekeliling tempat ini. Terdapat banyak sekali bunga bunga indah yang di tanam di taman panti ini, namun sayangnya hanya bangunannya yang terlihat tua.

Cat di dindingnya saja terlihat sudah sangat lama tidak di cat ulang sehingga terlihat cukup usang, di tambah dengan lantai keramik yang sudah ada beberapa yang retak, begitupun dengan jendela kotak-kotak dengan kaca hitam ini. Bukankah ini sudah sangat jadul?

"Mina!" Panggil Alif yang sontak membuat lamunanku buyar.

"Y—ya?"

"Ini ibu Oki, pengurus panti di sini." Jelas Alif memperkenalkan wanita paruh baya yang kini tersenyum ramah padaku.

"O—oh i—iya, saya Mina, teman Alif." Ucapku memperkenalkan diri sembari menjabat tangan bu Oki.

Bu Oki pun tersenyum sembari menganggukkan kepalanya. "Saya Oki, pengurus panti ini, mari silahkan masuk!" Jawab Bu Oki benar-benar ramah.

Kami pun memasuki panti ini, begitu aku menginjakkan kakiku di ruangan yang terlihat seperti ruang tamu, suasananya terasa sangat berbeda seperti suasana di luar tadi.

Terasa sangat nyaman dan penuh warna. Terdapat beberapa lukisan abstrak yang terpajang di dinding dinding, beberapa foto bersama anak panti, dan beberapa kerajinan tangan yang sepertinya di buat oleh anak-anak di sini.

Aku cukup terpaku pada ruangan yang penuh dengan warna ini, tak terasa aku melangkahkan kakiku menjauh dari Alif dan menuju ke lemari kaca yang menyimpan beberapa foto dan juga piala.

Aku menatapnya satu per satu, selain piala, ada juga beberapa piagam yang terpajang di sini.

"Itu piala yang di dapat anak-anak dari lomba membaca puisi, qiraat, melukis, membuat kerajinan, dan masih banyak lagi." Ujar Bu Oki yang sontak saja membuatku mengangguk-anggukkan kepala.

Setelah cukup melihat-lihat, bu Oki mengajak kami untuk berkeliling, melihat anak-anak yang saat ini belajar di ruangan yang tak terlalu luas di belakang. Terdapat juga anak-anak yang lebih kecil bermain di taman belakang dengan riangnya.

Tanpa tersadar aku tersenyum, benar-benar terlihat menyenangkan bisa bermain bersama seperti yang sedang mereka lakukan sekarang, tak seperti diriku dulu yang tak memiliki teman sehingga aku memutuskan untuk belajar balet dan piano untuk mengisi hari-hariku yang membosankan.

"Wahhh,,, tantenya masih pakai helm!" Teriak salah satu anak laki-laki sembari menunjuk ke arahku.

Mendengar hal itu sontak aku hanya bisa tersenyum kaku dan menutupi wajahku karena merasa malu. Berbeda dengan Alif yang justru mengalihkan pandangannya dariku, seolah ia tak tahu apa yang sedang terjadi saat ini.

"Hehehe,,, ini tren baru yang lagi viral." Jawabku sedikit canggung. Rasanya benar-benar sangat malu karena ditertawai oleh anak kecil.

"Sini sini biar Jihan bantu!" Ucap salah seorang anak perempuan dengan rambut sebahu yang sepertinya dipotong asal.

Sontak akupun menyetarakan diriku dengan Jihan, melihatku melakukan hal itu sontak Alif tertawa, namun ia segera mengalihkan pandangannya begitu aku menatapnya.

Tangan mungil Jihan mulai menyentuh tali pengait helmku, cukup lama tangannya itu berusaha untuk membantuku melepaskan helm ini, namun sepertinya usahanya itu sia-sia, ia pun menyerah dan menghela nafasnya.

"Om! Bantuin pacarnya dong!" Teriak anak lain dengan tubuh gempal dan rambut keriting.

Sontak Alif menatapku, "pacar? Dia bukan pacar om!" Elak Alif cepat namun anak-anak itu tak menghiraukan perkataan Alif dan tetap menariknya untuk lebih dekat denganku.

"Bantuin tantenya dulu om!" Titah Jihan serius.

Alif pun menatapku untuk sepersekian detik, rasanya benar-benar canggung. Dan entah mengapa jantungku berdetak kencang saat ini.

Tanpa pikir panjang aku segera mendongakkan kepalaku, toh bohong jika aku bilang aku nyaman menggunakan helm ini.

"Ngapain?" Tanya Alif lirih agar anak-anak tak mendengar percakapan kami.

"Lepasin!" Jawabku masih mendongakkan kepalaku.

"Nyuruh?"

Sontak aku menghela nafasku. "Tolong!" Jawabku lirih, sekilas aku bisa melihat Alif tersenyum, dan ia pun segera sedikit membungkuk, karena yaah kalian tahu lah tubuhku ini bukan tipe-tipe wanita yang tinggi seperti aktris aktris di luar sana.

"Lihat ke atas! Jangan nunduk!" Titah Alif begitu aku mencoba untuk mengintip dirinya yang terlihat serius.

"Iya." Jawabku dengan jantungku yang berdetak semakin kencang.

Takdir TerakhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang