011

493 34 2
                                    

Kini aku hanya bisa patuh dan duduk bersila di hadapan mereka berdua yang daritadi terus melemparkan senyumnya padaku. Kami duduk di lantai, benar di lantai yang dingin tanpa alas apapun. Aku tidak tahu apa tindakanku ini sudah benar atau tidak, karena situasi ini terasa sangat aneh untukku, terlebih aku belum mengenal mereka, bagaimana nanti jika mereka membullyku? Membayangkannya saja sudah membuat tubuhku bergidik ngeri.

"Oke, yang pertama kita kenalan dulu!" Ucap Ratna yang langsung diangguki oleh gadis yang duduk di sampingnya.

"A-aku Alin—" ucapku spontan, dan tentu saja kedua gadis itu saling pandang karena seingat mereka tentu namaku bukan Alin.

"Ma-maksudnya Mina, Aminah Humairah." Timpaku cepat berharap mereka tak curiga. Sontak mereka berdua langsung membulatkan mulut mereka secara bersamaan, dan tentu aku menghela nafasku lega saat itu.

"Aku Ratna, Asri Ratna Sari. Udah mondok di sini dari usia masih 12 tahun, sekarang usianya udah 22 tahun hehehe. Kebetulan masih kuliah di dekat sini jadi disuruh lanjutin mondoknya sekalian sampai lulus kuliah." Ucap Ratna memperkenalkan dirinya.

"Ohh, jadi kayak ngekos gitu ya?" Sahutku basa-basi namun respon mereka justru seperti orang yang kebingungan.

"Ehhh? Tapi iya juga sih, kayak ngekos gitu sih emang, cuman ada bonus ngaji sama setoran hafalan tiap hari." Jawab Ratna sembari menggaruk kepalanya yang tertutup hijab meskipun tak gatal.

"Nahh kalau aku Wardhani Amalia. Biasa dipanggil sayang. Cuaksss." Sahut gadis yang dari tadi duduk di sebelah Ratna.

Plakk

Sebuah pukulan mendarat tepat di bahu kanan gadis bernama lengkap Wardhani Amalia itu yang kini meringis kesakitan. Dan melihat kejadian langka itu aku hanya bisa membulatkan kedua bola mataku, merekam setiap kejadian yang akan ku simpan baik-baik di kepalaku, karena mungkin saja aku tak akan melihat kejadian seperti ini lagi di masa depan, toh aku hanya akan tinggal di sini selama beberapa hari saja.

"Yang bener dong jangan bercanda." Sahut Ratna yang terlihat kesal dengan tingkah temannya.

"Iya-iya. Panggil aja Warda. Santriwati paling manis seantero ponpes Darul Ilmi." Sahut Warda sembari menyilangkan telunjuknya ke kedua pipinya.

Bayangkan saja saat ini aku merasa jika aku sudah terkurung di dunia lain bersama dua gadis yang sepertinya bisa memporak-porandakan dunia dengan segala tingkah mereka.

"Kenapa enggak yang paling cantik? Bukannya biasanya yang paling cantik ya?" Tanya Ratna lirih namun aku masih bisa mendengarnya.

"Karena sekarang santriwati yang paling cantik jadi dia." Bisik Warda sembari menunjuk ke arahku dan sontak saja aku terkekeh mendengar hal itu, bukannya apa-apa hanya saja itu terdengar lucu untukku.

"Ishhh, iya sih bener juga, wajahnya mulus, hidungnya mancung, bibirnya tipis, matanya sipit, badannya semlehoy lagi, kayak cewek-cewek Chindo gitu, iya kan?" Ucap Ratna yang juga berbisik.

"Emang Chindo." Jawabku cepat agar mereka tak lagi berbicara bisik-bisik meskipun aku masih bisa mendengar percakapan mereka. Benar-benar pengalaman baru untukku, mendengar seseorang membicarakan orang lain di depan orang itu langsung.

"Ehh? Yang bener?" Pekik mereka berdua kompak seolah benar-benar tak percaya jika aku ini memiliki darah campuran China dan Indonesia dari kedua orangtuaku.

Aku menganggukkan kepalaku dan disaat yang bersamaan pintu kamar kami diketuk dari arah luar.

Tok,,,tok,,,tok,,,

"Assalamualaikum,,," salam dari seseorang yang berada di luar dan suara itu terdengar seperti suara lelaki dan sepertinya suara itu familiar untukku.

"Waalaikumussalam." Jawab mereka berdua kompak dan Warda segera membuka pintu itu sementara aku dan Ratna hanya saling pandang menunggu Warda kembali.

Tak berselang lama pintu kamar kami kembali dibuka yang artinya Warda sudah kembali, dan entah mengapa saat ini jiwa kepoku meronta-ronta.

"Mina." Panggil Wada lirih yang kini berjalan ke arahku dengan pipinya yang memerah.

"Iya?"

"Dipanggil Gus Alif." Ucap Warda yang menjadi semakin lirih.

"Gus Alif? Gus Alif siapa?" Tanyaku spontan karena aku tak mengenal seseorang yang bernama Gus Alif, tapi jika Alif aku mengenalnya.

"Itu, anaknya Abuya sama Ummi, kakaknya Ning Husna yang paling ganteng seantero ponpes Darul Ilmi. Dambaannya santriwati sini." Sahut Ratna yang seketika langsung antusias begitu mendengar nama Alif.

"Ohh Alif." Gumamku dan sontak melihatu bergumam seperti itu keduanya saling tatap seolah tak terima aku memanggil Alif seperti barusan.

"Cepet udah sana, udah ditungguin." Timpa Warda yang langsung menarikku dan mendorongku keluar untuk menemui Alif di depan.

Aku hanya bisa pasrah dan menemui Alif yang ternyata memang sudah menungguku di depan kamar.

"Ya?" Ucapku setelah aku berdiri tepat di hadapannya, namun seperti biasa Alif justru melangkah mundur menjaga jaraknya denganku. Ini seperti sudah menjadi kebiasaannya saat bertemu denganku.

"Ini." Ucapnya sembari menyodorkan beberapa tumpukan kain padaku.

"Apa ini?"

"Ini selimut untuk kamu tidur, dan juga beberapa pakaian untuk kamu selama beberapa hari kedepan." Jelas Alif namun aku justru merasa janggal dengan ucapannya barusan.

"Kamu? Bukannya biasanya anda ya?" Tanyaku lirih karena aku tahu kedua teman sekamarku itu sedang mengintip dan menguping pembicaraan kami di balik pintu kamar yang tak sepenuhnya tertutup itu.

"I-iya, toh usia kita nggak beda jauh." Ucapnya lagi dan tentu aku hanya mengangguk paham dengan mulutku yang membulat.

"Tapi ini baju-bajunya dapet dari mana?"

"Dari Husna, tadi saya cerita kalau kamu nggak bawa baju sama sekali dan ummi suruh Husna kasih baju dia yang belum pernah kepakai sekalian sama di suruh nganter selimut buat kamu karena kata ummi kalau malem di sini dingin " jelas Alif.

"Yaudah kalau gitu saya pamit ya." Ucap Alif yang langsung membalikkan tubuhnya sementara aku masih menunggu kata-kata itu keluar dari mulutnya namun ia justru tak mengatakannya dan mulai melangkahkan kakinya.

"Alif tunggu!" Panggilku karena merasa ini sudah tak benar.

"Ya?" Jawab Alif yang langsung membalikkan tubuhnya dan menatapku singkat.

"Assalamualaikum nya mana? Lupa ya?" Tanyaku heran karena seingatku semua orang di sini selalu mengucapkan kalimat itu saat akan pergi maupun datang.

"Haa?" Gumam Alif dengan kedua bola matanya yang membelalak.

"Say goodbye kan itu?" Sahutku lagi karena Alif tak kunjung merespon.

"I-iya. Ka-kalau gitu Assalamualaikum." Ucapnya yang langsung kembali melangkahkan kakinya sembari menggaruk tengkuknya yang tak gatal.

"Nah gitu dong. Waalaikumussalam. Good night, mimpi indah." Jawabku santai namun Alif justru langsung berbalik dan menatapku dalam seolah baru saja mendengar sesuatu yang aneh dari mulutku.

Takdir TerakhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang