057

330 25 2
                                    

Dua hari berlalu, 

Kondisi Gadis tetap sama. Ia terus mendesakku untuk menerima pinangan Alif sebagai bukti jika aku memang benar-benar serius untuk mengadopsi anaknya. Begitupun dengan Alif yang memintaku untuk shalat istiqrah, meminta petunjuk pada Allah atas apa yang membuatku bimbang akan jawabanku sendiri.

Aku sempat mengusulkan untuk langsung mencantumkan nama anak Gadis di dokumen keluaraku tanpa adanya surat adopsi, seperti kartu keluarga misalnya. Namun kuasa hukumku dan Alif menolknya dengn tegas.

Dua hari terakhir ini Alif selalu ikut mengantarku ke kantor bersama dengan Alfan. Dan Alfan benar-benar menjaga janjinya, ia benar-benar menyimpan rapat akan rencanaku mengadopsi anak Gadis. Ia bahkan menawarkan dirinya untuk menjaga Gadis. Ia juga yang dengan sabar mendengar segala keluh kesa Gadis.

Entah mengapa aku masih merasa ada yang salah dengan semua ini.

Aku masih benar-benar bimbang dengan hatiku sendiri.

Aku tak tahu apa yang hatiku ini inginkan.

Aku menghela nafasku dan melipat sajadah yang menemani sudujku malam ini. Istiqarah. Aku benar-benar mengharap petunjuk yang mampu menenangkan hatiku. Jika memang takdirku benar-benar terikat dengan Alif, tolong, buat hatiku yakin.

"Mina!" Panggil Warda yang sepertinya sudah lama menungguku di sana.

Aku segera beranjak dan menghampirinya. "Ya?"

Tanpa aba-aba ia memelukku, erat dan begitu menenangkan. Seketika suasana menjadi sangat hening. Ia membelai puncak kepalaku lembut. Padahal aku tahu Warda juga sama lelahnya denganku namun entah mengapa air mataku ini malah mengalir begitu saja membasahi pipiku.

Kami terduduk di ranjang Gadis yang saat ini sudah kosong. Ia mengenggam kedua tanganku dengan wajahnya yang terlihat sangat lelah krena ia baru kembali menyelesaikan tugasnya di perpustakaan.

"Insyaallah Gus Alif memang takdir kamu Na." Ucapnya dengan senyum yang sangat indah terukir di wajahnya.

Aku menatapnya penuh tanda tanya, mengapa ia bisa mengatakan hal demikian?

"Tadi waktu di perpustakaan, aku nggak sengaja denger percakapan antara gus Alif dengan Ustadz Farid. Gus Alif bilang sudah sangat yakin untuk meminang kamu, beliau bahkan sudah siap untuk bertemu dengan keluarga besarmu jika memang Allah berkehendak."

"Atas dasar apa keykinan itu?" Tanyaku spontan, karena yahh, hatiku sendiri belum yakin bagaimana ia bisa seyakin itu pada keputusannya. Dan kenapa pula ia tak menyerah setelah aku menolaknya dulu. Darimana ia mendapat keyakinan yang sangat besar itu?

"Hati."

"Gus Alif sangat yakin dengan hatinya sendiri. Takdir kalian saling terikat Mina."

Lagi-lagi aku terdiam dan menundukkan kepalku. Dengan cepat warda kembali meraih tanganku dan mentap netraku lekat.

"Mina."

"Di dunia ini ada tiga alasan kenapa Allah mempertemukan kita dengan seseorang." Ucapnya mampu membuatku penasaran.

"Yang pertama pembelajaran, yang kedua ujian keimanan, dan yang ke tiga adalah takdir."

"Dari ketiga itu kamu sendiri yang bisa menyimpulkannya." Ucapnya sembari menepuk lembut bahuku dan segera melenggang menuju ranjangnya.

Aku terus menatapnya, dan memikirkan apa yang Warda katakan. Pembelajaran, ujian, dan takdir. 

Tanpa pikir panjang aku berjalan menuju mejaku yang berada tak jauh dariku. Aku segera membuka laci yang sudah sangat lama tak ku buka. Sebuah kotak berwarna merah masih tersimpan rapih di sana.

Aku mengambilnya dan memantapkan hatiku untuk membukanya.

"Tidak ada si pantas dan si tidak pantas dalam cinta. Dan kita sudah terikat takdir sejak awal. Pertemuan kita adalah takdir." Batinku ketika cincin itu mulai terlihat oleh netraku.

Aku mengambilnya dengan penuh kehati-hatian, ku tatap lekat cincin itu. Mungkin ini memang jawaban yang selama ini aku inginkan.

Terbit senyum tipis di wajahku, aku benar-benar merasakan sesuatu yang berbeda di sudut hatiku saat ini. Aku memakai cincin ini dengan penuh kehati-hatian.

Terlihat sangat indah, rasanya sudah sangat tak sabar untuk memperihatkannya pada Alif esok.

Takdir TerakhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang