016

352 27 35
                                    

Tak butuh waktu lama bagi Alif untuk melepas helm yang sangat menyusahkan ini, ia pun segera memberikan helm itu padaku sembari memalingkan wajahnya, lengkap dengan senyumnya yang seolah mengejekku karena tak bisa melepas helm ini sendiri.

Aku pun hanya bisa menerimanya sembari menghela nafas lega meskipun aku sedikit kesal dengan senyum yang Alif tunjukkan.

Tanpa aba-aba Jihan mengambil helmku lalu meletakkannya ke atas meja yang berada di sudut ruangan.

Setelah itu ia pun menarik tanganku dan Alif menuju taman belakang, terlihat ada beberapa anak yang berkerumun di sana.

Sontak akupun menatap Alif, bertanya apa yang sedang terjadi di sana, namun Alif hanya menggelengkan kepalanya karena ia pun tak tahu pasti apa yang sedang terjadi, toh daritadi ia berada di depan san bersamaku, jadi bagaimana mungkin juga ia bisa tahu.

"Itu lagi ada apa?" Tanyaku spontan pada Jihan karena aku sudah sangat penasaran.

"Kita lagi nanam bunga. Tante sama om Alif juga harus ikut!" Jawab Jihan antusias dengan senyumnya yang sangat lebar.

Alif pun tersenyum sembari menganggukkan kepalanya dan segera menyingsing lengan bajunya seolah ia sekarang sudah siap bergelut dengan tanah dan menanam beberapa jenis bunga bersama beberapa anak di sana.

Begitu melihat Alif datang menghampiri mereka dengan cepat mereka berlari menghampiri Alif, seolah mereka sudah menunggu-nunggu kedatangannya.

Aku tersenyum tipis tanpa sadar, ini benar-benar pengalaman dan hal baru untukku, melihat kedekatan Alif dengan anak-anak itu entah mengapa aku jadi ikut bahagia.

"Tante juga ikut ya!" Ucap Jihan lagi sembari menarikku mendekati anak-anak yang kini menatapku penuh tanda tanya.

Mungkin karena ini kali pertama mereka melihatku.

"Ha—hai!" Ucapku gugup sembari melambaikan tanganku perlahan.

Melihatku gugup sontak merekapun tersenyum dengan sangat ramah dan menyapaku sembari memperkenalkan diri mereka satu-persatu.

"Tante pacarnya om Alif ya?" Tanya Gadis yang sepertinya masih berusia lima tahun bernama Tina itu dengan senyumnya.

"Haa? Ya?" Gumamku yang masih belum paham dengan apa yang ia katakan karena aku masih fokus pada bunga yang diberikan Jihan padaku.

"Bukan, pacaran itu di larang ya Tina." Sahut Alif sembari mengelus pipi Tina yang kini tertawa.

"Kenapa di larang?" Sahut anak laki-laki bernama Farhan yang berdiri di samping Tina.

"Karena Allah nggak suka." Jawab Alif terdengar sangat lembut.

"Terus tante ini siapa?" Sambung Tina yang agaknya masih penasaran dengan diriku.

"Pasti istrinya om Alif ya!" Tambah Farhan antusias.

Mendengar perkataan Farhan sontak anak-anak lainnya tersenyum girang, bahkan ada yang sampai lompat-lompat dan memberi selamat pada Alif yang saat ini hanya bisa menggelengkan kepalanya berusaha menjelaskan siapa diriku, namun tentu mereka mengabaikan Alif dan tetap memberinya selamat, tak lupa juga mereka memelukku dan memberiku selamat juga atas hubunganku dan Alif yang sebenarnya bukan seperti yang mereka pikirkan.

*****

Setelah selesai menanam bunga dan menemani anak-anak menggambar, Alif dan aku memutuskan untuk pulang, namun bu Oki dan bu Saodah (pengasuh balita di panti) menghentikan kami dan meminta kami untuk ikut makan bersama terlebih dahulu.

Sebenarnya Alif sempat menolak, begitupun dengan diriku, karena tentu kami takut kembali ke pesantren terlalu larut. Terlebih sekarang sudah pukul lima sore.

Namun perutku ini tak bisa diajak kompromi, ia berbunyi dengan keras begitu aku mengatakan akan pulang sebelum semakin larut.

Sontak bu Oki dan bu Saodah pun menertawaiku lalu mengajakku duduk bersama anak-anak dan makan bersama sebelum kembali.

Aku hanya bisa pasrah, sementara Alif terlihat masih menertawaiku meskipun ia menutupinya dengan mengalihkan wajahnya dariku, aku masih bisa melihatnya dengan sangat jelas. Dasar Alif!

"Tante mau telur?" Tawar Farhan yang duduk di sebelahku.

"Udah, tante makan ini aja, telurnya buat Farhan aja ya biar Farhan cepet besar dan gendut." Jawabku dengan senyum tipisku.

Baru kali ini aku melihat anak-anak makan hanya dengan nasi dan lauk telur mata sapi serta tumis kangkung saja seperti ini, tak ada roti, susu, ataupun yang lainnya.

"Tante kenapa? Kok sedih?" Tanya Tina yang juga duduk di sebelahku.

"Haa? En—enggak, tante nggak sedih kok." Jawabku cepat sembari tersenyum menatap wajah Tina yang sudah terlihat sangat bahagia hanya dengan lauk seadanya ini.

Alif sempat berkata padaku, jika aku harus mulai membiasakan diri dengan makanan dan baju seadanya yang ada di sekitarku saat ini, namun aku tak pernah membayangkan jika anak-anak seperti mereka juga harus merasakan hal seperti ini setiap harinya.

Setelah selesai makan dan mencuci piring bersama anak-anak panti Alif mengajakku berkeliling sembari menunggu waktu shalat Maghrib karena katanya sebentar lagi sudah memasuki waktu Maghrib.

Akupun hanya bisa mengangguk dan mengikutinya yang kini berjalan dengan menyetarakan langkah kakinya dengan langkah kakiku.

Kami berjalan mengelilingi panti yang tak terlalu besar, hanya ada beberapa kamar tidur anak-anak, dua ruang belajar, satu ruangan untuk beribadah, satu dapur dan dua kamar mandi, serta aula yang biasa digunakan anak-anak untuk bermain dan belajar bersama.

Tadi pun kami makan di aula dengan menggelar karpet karena panti ini tak memiliki meja makan.

"Gimana?" Tanya Alif tiba-tiba.

Dan akupun hanya bisa menatapnya dengan penuh tandanya di mataku. "Apanya?" Tanyaku balik.

"Hari ini."

"Ya gitu." Jawabku sembari mengedarkan pandanganku ke anak-anak yang saat ini sedang bermain di halaman samping.

"Anak-anak lucu kan, mereka terlihat sangat bahagia di sini. Dengan keluarga baru mereka." Ucap Alif serius.

Akupun menganggukkan kepalaku mengiyakan apa yang dikatakannya.

"Kebanyakan dari mereka di buang oleh orang tua mereka dengan berbagai alasan." Ucapnya yang sontak menghentikan langkahku.

"Padahal dunia sudah begitu kejam pada mereka tapi mereka terus tersenyum dan tetap berusaha untuk tumbuh dan hidup seperti yang lainnya, seolah tak pernah terjadi apapun pada mereka." Sambung Alif yang tentu saja membuatku tersentak. Seolah perkataan barusan ingin mengatakan padaku jika apa yang aku alami bukanlah apa-apa dibandingkan dengan apa yang sudah anak-anak itu lalui.

"Mereka tak pernah mengeluh ataupun menyesali takdir mereka." Lanjutnya lagi namun kali ini dengan tatapannya yang terasa sangat dalam padaku.

"Apa aku memang selemah itu?" Batinku sembari menundukkan kepalaku karena aku tak berani menatap Alif seperti biasanya. Aku benar-benar merasa malu saat ini.

Takdir TerakhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang