069

66 4 0
                                    

Ku tatap ke dua netra Alif yang kini masih duduk di sampingku dengan lekat.

Ku tatap wajahnya yang terlihat sangat manis ini. (Cuma Alif yang paling tampan di sini!)

Perlahan aku lebih mendekat padanya dengan kepalaku yang bersandar di dadanya dan kedua tanganku yang melingkar di pinggangnya.

Rasanya sangat nyaman, benar-benar nyaman dan menenangkan.

Ia pun mendekapku dalam dekapannya, dengan detak jantungnya yang berdegup sangat kencang terdengar jelas di telingaku, seolah menjadi irama musik yang begitu indah malam ini.

Tuhan. Kalau bisa, aku ingin bersamanya seperti ini selamanya. Tolong jaga cinta kami berdua, tolong jaga dirinya untukku. Aku titipkan pernikahan ini padamu.

Perlahan ia membelai puncak kepalaku dan mengecupku sekali. Ternyata bahagia bisa sesederhana ini.

Hanya bersama dengan orang yang kita cintai. Tak perlu mewah, hanya cukup bersama.

"Selama di sini kamu kangen aku nggak?" Tanya Alif dan spontan aku melepas dekapannya perlahan dengan senyum yang mulai terukir di sudut bibirku.

Ku tatap ia dalam-dalam, rasanya benar-benar seperti mimpi sekarang. "Kamu kangen nggak sama aku?" Tanyaku balik tanpa memberikan jawaban padanya.

"Kan aku dulu yang tanya ke kamu ya zaujati..." Jawabnya sembari mencolek hidungku dengan lembut dan dengan senyumannya yang super manis itu.

Tentu, tanpa pikir panjang aku kembali memeluknya tanpa mengeluarkan sepatah kata apapun. Aku ingin berlama-lama memeluknya seperti ini. Alif adalah takdir terbaik yang Allah berikan untukku.

"Padahal selama kita nggak ketemu aku kangen banget loh, masa' kamu nggak kangen sih?" Tanyanya lagi pantang menyerah untuk mendapatkan jawaban dariku.

Sementara aku hanya bisa menyembunyikan pipiku yang mulai memerah dalam dekapannya. "Kangennya sebesar apa?" Tanyaku lagi seperti wanita-wanita lain di luar sana.

Untuk beberapa waktu Alif terdiam sembari membelai puncak kepalaku. "Saking besarnya nggak bisa didefinisikan oleh apapun."jawabnya entah serius entah bercanda, namun aku merasa sangat bahagia mendengarnya.

"Kamu yakin nggak kangen sama aku...?" Tanyanya lagi dan lagi penuh harap.

Spontan aku mendongakkan kepalaku dalam dekapannya, menatap wajah laki-laki yang kini sudah sah menjadi suamiku.

"Emangnya kalau aku bilang kangen kamu mau apa Gus Alif?" Tanyaku balik berusaha untuk terus menggodanya.

Ternyata seru juga menggoda Alif seperti ini.

"Hahh? Gus Alif?" Beonya sembari melepaskanku yang masih erat memeluknya.

"Kenapa Gus Alif?" Tanyanya lagi tak terima dengan wajahnya yang cemberut.

Aku pun hanya tersenyum. "Kan emang Gus Alif, emangnya mau dipanggil gimana? Om Alif?" Sahutku lagi belum puas melihat ekspresinya yang sangat jarang sekali bisa ku lihat seperti ini.

Spontan ia pun menghela nafasnya lengkap dengan tangannya yang bersedekap dada seperti anak kecil yang sedang marah pada orang tuanya.

"Kita kan udah nikah, kenapa manggilnya harus gitu?" Tanyanya lagi masih cemberut.

Ingin sekali rasanya aku tertawa dan mencubit pipinya itu. Wajahnya benar-benar menggemaskan ketika dia sedang cemberut seperti ini. Dan baru kali ini aku melihat sisi diri Alif yang terlihat manja seperti anak kecil.

"Om Alif..." Godaku tak henti-hentinya.

"Ya Zaujati... Mau terus ngegoda... Atau..." Ucapnya bersiap untuk menangkapku.

"Atau apa Om Alif?" Sahutku masih terus menggodanya.

"Masih banyak panggilan yang lebih mesra loh... Contohnya suamiku, habibi, atau kalau nggak panggil sayang aja juga nggak apa-apa." Ucapnya tepat ketika ia berhasil menangkapku dan mendekapku erat.

Aku pun tertawa mendengarnya. "Ternyata Gus Alif bisa manja gini ya..." Ucapku semakin membuatnya lebih mengeratkan dekapannya padaku.

"Emangnya kenapa kalau aku manja? Kan manja sama istri sendiri, manja sama Humairah ku, nggak ada yang ngelarang, dapet pahala lagi." Sahutnya yang bahkan sepertinya tak berniat untuk melepaskanku dari dekapannya.

Aku pun hanya tersenyum dan memeluk tubuh suamiku ini lekat.

Keputusanku untuk menerima pinangannya ternyata bisa membawa kebahagiaan sebesar ini dalam hidupku. Dan aku benar-benar bersyukur bisa menjadi bagian dari hidup laki-laki yang sangat mencintaiku.

"Terimakasih." Ucapku lirih.

"Nggak, harusnya aku yang terimakasih ke kamu." Sahut Alif menatapku lekat.

"Terimakasih kamu sudah bersedia untuk menjadi bagian dari hidupku, dan terimakasih kamu sudah bersedia untuk mendampingi laki-laki seperti ini." Lanjutnya lagi yang tiba-tiba saja berubah menjadi lebih serius.

"Sampai kapanpun aku akan selalu mencintai kamu. Sampai kapanpun itu." Tambahnya lagi sembari meraih pipiku dan membelainya lembut.

"Sampai pipi ini jadi keriput?" Celetukku meraih tangannya yang masih membelai pipiku.

Ia pun menganggukan kepalanya tanpa pikir panjang. "Sampai pipi ini keriput." Ucapnya mengiyakan apa yang ku katakan.

.

.

.

.

.

Takdir TerakhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang