060

284 24 0
                                    

Gadis meraih tanganku, aku hanya bisa pasrah dan mengikuti langkah kakinya yang entah ingin membawaku ke mana. Satu bulan telah berlalu semenjak terakhir kali aku datang ke rumah nenek, dan sampai detik ini aku masih belum memiliki nitan untuk menemuinya lagi.

Yahh meskipun beberapa kali Alif datang menemui nenek seorang diri, tentu karena Alif terus bersikeras jika ia pasti bisa mendapatkan restu nenekku. Dan yaa, Abi Umar pun tidak akan merestui pernikahan kami jika nenekku tidak memberikan restunya. Karena itulah sampai saat ini aku dan Alif belum melangsungkan pernikahan. Namun Alif berjanji padaku jika ia akan segera mendapat restu dari nenekku.

Mungkin saat ini aku memang hanya harus fokus pada kandungan Gadis saja.

"Bagus nggak mbak?" Tanya Gadis setelah kami sampai di kamar Gadis.

"Iniii? buat apa?" Tanyaku penuh tanda tanya begitu melihat satu set pakaian berwarna merah muda yang tertata rapih di atas ranjangnya.

"Nanti mau aku pakai waktu ke acara nikahannya mbak sama Gus Alif." jawabnya dengan wajahnya yang berseri-seri.

Aku hanya bisa tersenyum kaku menatap wajah Gadis yang sangat bahagia menantikan pernikahanku yang mungkin saja tidak akan terjadi.

sampai saat ini aku memang belum memberitahu Gadis jika nenekku tidak merestui hubunganku dengan Alif, Aku bahkan tidak tega mengatakan itu semua dan menghancurkan harapan Gadis. Tentu akupun masih berharap ada sebuah keajaiban yang datang dan meluluhkan hati nenekku. Seperti kata Ummi Rifa "Allah maha membolak balikkan hati." Aku masih menantikan itu.

Hahhh,,,, 

Aku menghela nafasku yang terasa berat sejenak dengan tatapanku yang terus tertuju pada Gadis yang kini terlihat bahagia dengan baju yang ia persiapkan untuk menghadiri acara pernikahanku.

Sebenarnya aku datang kemari untuk meihat kondisi Gadis dan calon bayinya karena saat pemeriksaan kemarin aku tidak ikut mengantarnya.

"Kata dokter semuanya baik-baik aja kan?" Tanyaku dengan senyum yang mengembang di sudut bibirku.

"Baik kok mbak. Kata dokternya semua sehat." Jawabnya yang langsung menarikku untuk duduk di sampingnya setelah ia mengambil sebuah foto hasil USG.

"Nih mbak, kata dokternya ini kepalanya, terus yang ini kakinya." Jelasnya sembari menunjuk bagian-bagian foto itu. Lebih tepatnya foto janin yang masih sangat kecil yang saat ini berjuang untuk terus tumbuh di rahim Gadis.

Aku tersenyum dan menganggukkan kepalaku, mendengarkan setiap kata yang keluar dari mulut Gadis dengan antusias. Mungkin suatu saat aku juga akan merasakan kebahagiaan ini. Bolehkan aku berharap?


*****


"Kalau kataku sih pakai jampe-jampe aja Na!" Saran Warda yang tentu hanya ku respon dengan senyum terpaksaku.

"Lagian udah tua juga bukannya tinggal ngasih restu aja susah amat ah elah." Tambahnya mulai frustasi sembari mengacak-acak hijabnya.

Selama satu bulan belakangan Warda memang selalu memberiku ide-ide gila agar nenekku mau memberikan restunya.

mulai dari mengancam tidak akan menikah jika aku tidak menikah dengan Alif sampai mengancam melakukan kawin lari. Dan tentu ide-idenya itu tak ada yang aku gubris. Sampai ide gilanya untuk memakai jampe-jampe seperti sekarang ini.

"Mina!" Panggil seseorang dari balik pintu kamarku lengkap dengan suara ketukan pintu yang mengiringinya.

Sontak aku dan Warda pun saling tatap satu sama lain. Saling bertanya siapa yang datang malam-malam begini.

"Iya, sebentar." Jawabku langsung beranjak dan beregas membukakan pintu.

Ceklek,,,

"Di suruh ke ndalem sekarang." Ucap seorang santriwati tepat saat pintu ini terbuka yang kemudian langsung melengos meninggalkanku.

Akupun mengangukkan kepalaku tanda mengerti. Saat ini aku sudah mulai terbiasa dengan sikap sinis dan cuek santriwati lain padaku. Toh itu bukan masalah besar sehingga aku hanya  membiarkannya saja.

"Aku ke ndalem bentar ya." Pamitku pada Warda yang masih asyik membaca buku yang tadi sore ku beli.

"Siap calon mantunya Ummi." Jawabnya meledekku seolah sudah paham tanpa harus ku beri tahu.

Akupun hanya tersenyum meresponnya. Semenjak aku menyetujui pinangan Alif, Ummi Rifa semakin sering memanggilku ke rumah, entah itu hanya untuk mencicipi masakannya atau bahkan mengajakku belanja bersama. Dan aku sangat menikmati setiap momen itu, momen yang tidak akan terulang lagi.

Aku bersenandung lirih dengan langkahku yang pasti, beberapa kali aku berpapasan dengan beberapa santriwati, dan seperti biasa, ada yang menyapaku dengan senyuman mereka namun ada juga yang malah terlihat acuh dan memalingkan pandangan mereka ketika aku mengembangkan senyumku untuk mereka.

Tak ambil pusing akupun segera menapakkan kakiku di lantai teras ndalem, terihat ada beberapa tamu yang berkunjung. Tamu yang terlihat tak asing bagiku.

Sesaat sebelum aku berniat untuk mengucapkan salam Ummi Rifa tersenyum padaku sehingga membuat semua mata tertuju padaku.

Dan apa kalian tahu? Netraku menangkap sosok nenekku yang terlihat sangat rapih dengan pakaian serba biru duduk di sana menungguku.

Akupun bertanya-tanya, ada apa lagi nenek ke sini? Apa nenek serius dengan perkataannya kemarin?

Aku mentap Ummi Rifa yang kini tersenyum canggung padaku, lalu kualihkan pandanganku pada Alif yang justru tertunduk dengan ekspresinya yang terlihat kecewa.

"Ngapain Oma ke sini?" Tanyaku memastikan.

"Sudah waktunya kamu untuk pulang." jawab Oma dengan senyumannya.

"Pulang bersama Oma dan menemui calon suami kamu." Tambah Oma yang semakin membuat semua orang terdiam tanpa kata.

"Sudah berapa kali Mina bilang! Mina akan tetap di sini! Dan sampai kapanpun Mina tidak akan mau menikah dengan lelaki pilihan Oma itu!" Tegasku.

"Tanggal pernikahan kalian sudah Oma atur, dan malam ini kalian akan resmi menjadi calon pasangan suami istri, karena keluarga mempelai pria akan segera datang. Jadi tidak ada alasan kamu untuk menolak." Jawab nenek dengan nadanya yang sangat tenang.

"Apa Oma yakin? Oma akan menikahkan Mina hanya karena bisnis? Bisnis yang bahkan bisa hancur dalam satu kedipan mata?" Tanyaku lagi dengan tanganku yan mulai bergetar.

"Karena itu Oma mengatur pernikahanmu dengan Refal, karena Oma tidak ingin bisnis kita hancur."

"Jadi Oma lebih memilih Mina menderita dalam pernikahan Mina hanya karena bisnis?"

"Kamu tidak akan menderita Alin, selama bisnis kita terus berjalan dengan lancar kamu akan bahagia."

"Kebahagiaan itu tidak bisa diukur dengan uang Oma!" Sahutku lantang dengan air mata yang sudah siap menitik membasahi pipiku.

"Bisa!" Jawab Oma cepat.

"Kamu makan juga dengan uang, kamu membeli pakaian juga dengan uang, dunia ini bisa berjalan jika kita punya uang Alin!" Sambung Oma.

"Tapi tidak dengan cinta Mina Oma, sampai kapanpun Mina tidak akan bahagia jika menikah dengan Refal."

"Tapi bisnis keluarga akan hancur jika kamu menikah dengan orang yang kamu cintai itu Alin!"

Hahhh,,,,

Aku menghela nafas beratku sesaat dan menatap nenek dengan tatapanku yang sudah sangat lelah.

"Mina lelah Oma." Ucapku dengan air mata yang sudah membanjiri pipiku.

Takdir TerakhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang