051

277 25 0
                                    

Saat ini akulah yang bertugas untuk menemani Gadis, lebih tepatnya saat ini au ditugaskan untuk mengawasinya. Ia menjadi cukup pendiam dibanding sebelum-sebelumnya, terlebih Gadis sangat sulit untuk mengontrolamarahnya.

Kami berdua duduk dan hanya saling membisu dalam waktu yang cukup lama. Tak ada sepatah katapun yang keluar dari mulutku ataupun mulutnya, rasanya cukup cangung.

Aku mulai mengedarkan pandanganku ke seluruh penjuru ruangan, saat ini kami masih berada di ruangan Ustadzah Luluk karena Ummi Rifa meminta kami untuk tetap di sini sementara yang lain saat ini mengurus beberapa santri yang ketahuan berpacaran, dan yang lainnya lagi tengah mengurus bahan-bahan dapur yang barusaja tiba, berbeda dengan Ummi Rifa yang saat ini tengah kedatangan tamu. Tamu yang membuat raut wajah Ummi Rifa terlihat sangat bahagia.

Aku melirik ke arah Gadis, ia terlihat mengelus perutnya lembut dengan ekspresinya yang terlihat sangat datar, entah apa yang dipikirkannya saat ini, semoga bukan untuk mengakhiri ataupun mengugurkan kandungannya lagi.

"Hahhh,,," Helaan nafasnya terdengar begitu jelas di telingaku.

"Capek ya hidup di dunia." Ucapnya sembari mendongakkan kepalanya. Akupun menatapnya, mencoba merasakan apa yang saat ini ia rasakan. 

Ia menatapku, tatapan yang membuatku cukup terkejut. "Jangan halangi gue untuk nyingkirin anak ini!" Ucapnya lirih namun sangat nyaring di telingaku.

"Dia nggak boleh hidup di dunia yang kejam ini!" Tambahnya yang membuat kedua netraku membelalak lebar.

"Anak itu nggak salah apa-apa, dia juga berhak hidup." Jawabku cepat sebelum ia beranjak dari duduknya.

Gadis menyeringai, ia menatapku lebih dekat kali ini. "Hidup? Anak ini?" Tanyanya penuh penekanan sembari menunjuk perutnya sendiri.

"Hidup seperti apa? Hidup melarat seperti ibunya? Atau hidup tanpa kasih sayang dari ayah dan keluarganya? Hidup sebagai anak haram? Apa kata dunia padanya nanti?"

"Gue nggak mau anak ini hidup menderita kayak gue dulu, cukup gue jangan anak ini." Sambungnya yang membuatku memincingkan mataku.

"Bukankah dia ada karena kamu? Jika kamu tidak siap kenapa kamu melakukannya? Jika memang tidak ingin jangan lakukan sejak awal!" Timpaku yang membuat netranya berkaca-kaca.

"Siapa juga yang mau! Lo pikir gue mau? Lo pikir gue mau ngandung anak dari paman gue sendiri? Lo pikir gue mau?" Pekiknya dengan air mata yang menetes perlahan dari pelupuk matanya.

Isak tangis memenuhi ruangan ini. Tanpa aba-aba Gadis tersungkur, ia memukuli perutnya dengan tangannya sendiri. "Gue nggak mau anak ini! Gue nggak mau anak ini!" Pekiknya yang terus berulang.

Sebisa mungkin aku mencoba menenangkannya, meraih tangan yang terus memukuli dirinya sendiri itu. Jangan para santri lain tahu apa yang saat ini sedang terjadi.

Sekarang aku tahu mengapa Gadis bersikap demikian. Ia tidak salah dalam hal ini namun ia pun tidak dibenarkan untuk melakukan hal seperti ini.

Di usianya yang masih remaja ia mengalami banyak hal buruk dalam hidupnya. Hati siapa yang tak ikut hancur meihat wanita seperti Gadis yang mendapat luka di atas lukanya.

Air mataku ikut menetes, aku mendekapnya, aku membiarkannya menangis dalam pelukanku. Karena hanya ini yang bisa aku lakukan untuknya.

Tak berselang lama Ustadzah Luluk datang. Beliau yang kebingungan meihat kami terisak memintaku untuk menjelaskan apa yang telah terjadi. Akupun menjelaskannya, dengan air mata yang berusaha ku bendung agar tak menetes keluar dari pelupuk mataku.

Ustazdah Luluk pun menghela nafasnya, ia mengusap wajahnya dan menatap Gadis iba. "Kita laporkan hal ini ke polisi. Kita selesaikan lewat jalur hukum." Saran Ustadzah Luluk yang tak memiliki jalan keluar lain.

"Tidak! Saya tidak mau melakukan itu!" Tolak Gadis tegas.

"Tidak ada jalan keluar lain nak! Ini juga demi diri kamu, agar kamu mendapat keadilan atas apa yang sudah kamu alami selama ini."

"Keadilan apa? Laki-laki itu hanya akan dipenjara beberapa tahun atau jika tidak hanya akan mendapat hukuman denda. Lalu apa yang akan terjadi setelah itu? Dia bebas ustadzah! Keadilan apa yang akan saya dapatkan?"

"Di dunia ini tidak ada keadilan untuk wanita seperti saya!"

Mulut ustadzah Luluk terkatup rapat tak ada yang bisa ia katakan karena apa yang Gadis katakan benar adanya.

"Biarkan saya mengugurkan kandungan ini, atau jika ustadzah tidak berkenan dengan hal itu biarkan saya mengakhiri hidup saya! Biarkan saya mengakhiri sakit dan penderitaan ini ustadzah!" Ucap Gadis dengan isak tangis yang mengiringi setiap kalimat yang keluar dari bibirnya.

"Tetap lahirkan bayi ini, dia tidak bersalah. Biar aku yang menangung biaya hidupnya, dan dia akan mendapat kasih sayang dari semua orang di pesantren ini. Seluruh penghuni pesantren ini akan menjadi keluarganya, keluarga yang akan menyayangi dan mencintainya." Ucapku yakin, tak ada hal lain yang terpikir olehku saat ini. Aku hanya ingin anak tak berdosa itu lahir, karena dia juga berhak bahagia.

Ustadzah Luluk tersenyum menatapku. "Benar, kami akan ikut merawatnya, dia tidak akan pernah merasakan kurang kasih sayang di sini." Tambah Ustadzah Luluk.

Terukir senyum di sudut bibir Gadis, "Apa yang akan menjamin hal itu? Apa kamu bisa menjaminya? Apa Ustadzah Luluk bisa menjaminya?" timpa Gadis.

"Adopsi. Jika di perlukan aku akan mengadopsi anak itu." Sahutku tanpa pikir panjang.

Takdir TerakhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang