064

327 22 1
                                    

Di saat-saat sendiri seperti ini kerap kali aku berfikir, seandainya aku bisa kembali ke masa lalu.

 Namun sebanyak apapun aku berfikir, dan sebanyak apapun aku berandai itu semua tetap akan menjadi sebatas SEANDAINYA.

Andai yang tidak akan pernah menjadi nyata, dan aku sadar betul akan hal itu.

Tok,,, tok,,, tok,,, tok,,,

Irama ketukan pintu membuyarkan lamunanku.

Aku segera beranjak dan meraih gagang pintu kamarku yang kembali hening.

Ceklek,,

Ku buka pintu ini perlahan hingga aku mendapati sosok tante Mei berdiri di sana dengan raut wajahnya yang terlihat khawatir.

"Alin, sayang, kamu beneran udah pulang?" Tanyanya khawatir dan langsung memelukku tanpa aba-aba.

Akupun mengangguk dan membalas pelukan tante Mei dengan hangat.

"Terus pernikahan kamu? Itu juga beneran? Kamu sama laki-laki itu?" Tanyanya lagi setelah merasa puas dengan pelukannya.

"Iya tante."

"Kamu yakin? Udah kamu pikirin baik-baik?"

"Aku udah yakin tante, Insyaallah memang ini yang terbaik untuk aku." Jawabku dengan senyum yang mengembang di wajahku.

Tante Alin pun tersenyum dan menganggukkan kepalanya, "Bagus deh kalau kamu punya suami nanti kan jadi ada yang jagain." Tambahnya lalu segera ku ajak masuk ke dalam kamarku.

Kami pun mengobrol untuk waktu yang lumayan lama, terlebih sudah lama juga kami tidak bertemu.

"Perusahaan papa kamu gimana?" Tanya Tante Mei setelah percakapan kami yang cukup panjang.

"Yahh gitu lah tan, aku akan berusaha sebisa mungkin supaya perusahaan papa tetap ada."

"Apa kamu yakin bisa urus semuanya sendiri?"

"Maksud tante, apa nggak akan dibantuin suami kamu gitu?" Tambahnya yang membuatku terdiam sejenak.

"Karena kamu juga kan wanita, apalagi nanti kalau kamu udah nikah pasti ada masanya kamu hamil dan punya anak, emangnya kamu mau terus-terusan ngurusin bisnis papa kamu?" Lanjutnya lagi yang tak kunjung mendapat respon dariku.

"Terlebih yang harusnya cari uang untuk keluarga itu laki-laki, sedangkan dia kan nggak pernah bergelut dalam dunia bisnis. Sejak awal keluarga kita terjun dan bergelut di dunia bisnis, apa kamu nggak akan menyesal nanti?"

"Dan kalaupun seperti yang kamu bilang tadi, calon suami kamu lebih banyak menghabiskan waktunya untuk mengajar dan mengisi acara-acara seperti itu apa kamu yakin dia bisa menghidupi kamu dan anak kamu?"

Lagi-lagi aku hanya bisa diam, aku tahu semua orang pasti akan mengatakan hal demikian padaku. Membicarakan mengenai bisnis, perusahaan, Alif, dan status kami yang berbeda.

"Kalau uang yang jadi masalah, Mina rasa enggak. Aku bisa menyesuaikan diri, Gus Alif pun akan mengusahakan yang terbaik untuk keluarga kecil kita nantinya. Dan untuk masalah perusahaan aku rasa aku bisa mengatasinya sendiri dan akan memperjuangkannya sampai akhir." Jawabku.

Tante Mei terdiam sejenak dengan tatapannya yang melekat padaku, ia tersenyum simpul dan membelai puncak kepalaku.

"Kalau itu bisa membuat kamu bahagia, tante akan mendukung kamu." Sahutnya.

"Karena tante juga keluarga kamu. Kamu harus selalu mengingat hal itu oke."

"Apapun yang terjadi kedepannya jadikan tante orang pertama yang kamu tuju, karena sampai kapanpun tante adalah keluarga kamu. Kita keluarga." Lanjutnya.

Akupun mengangguk dan memeluk tante Mei untuk yang kesekian kalinya, sampai akhirnya nenek datang dengan ekspresinya yang terlihat masam dan memintaku untuk segera beristirahat dengan nadanya yang datar seperti dulu.

Dan ya, aku segera terlelap setelah itu, tepat setelah tante Mei pergi bersama dengan nenek. Entah apa yang mereka bicarakan di sana, namun samar-samar aku mendengar mereka menyebut namaku. Mina.

*****

Aku mengerjapkan mataku, meregangkan tubuhku dan segera beranjak dari ranjang untuk mandi serta mengambil air wudhu.

Ini subuh pertamaku di sini, dan rasanya sangat berbeda.

Aku segera mengambil mukena yang semalam sudah ku siapkan dan segera shalat dua raka'at, tak lupa juga aku memanjatkan sebuah doa yang selalu aku panjatkan.

Tanpa terasa air mataku meleleh membasahi pipiku. Bukan air mata kesedihan namun air mata kebahagiaan.

Benar, kebahagiaan yang saat ini kurasakan benar-benar tak pernah terfikirkan olehku sebelumnya.

Aku berdoa, semoga kebahagiaan ini tidak cepat berlalu, dan tetap mendampingiku seperti saat ini.

Selesai melipat mukenahku aku segera beranjak menuju lantai bawah, mencari sesuatu yang mungkin bisa ku makan.

Namun bukan makanan yang berhasil ku dapatkan, melainkan sebuket bunga mawar dengan sebuah surat yang hanya bergambar senyuman dan namaku yang terukir di sudut sana.

"Dari Gus Alif ya? Ya iya lah, emangnya mau dari siapa lagi." Gumamku kegirangan sendiri. Ternyata diam-diam Alif juga punya sisi romantis ya hehehehe.

"Ciee,,, pagi-pagi udah dapet bunga dari calon suami nihh yeee,,,,." Sahut Mbak Heny meledekku (salah satu pengurus rumah di sini)

"Apaan sih mbak," jawabku dengan pipiku yang memerah dan akupun segera melangkah membawa bunga ini kembali ke kamarku menghiraukan mbak Heny dan beberapa pengurus rumah lain yang masih mengejekku.

Lagian dalam rangka apa Alif mengirim bunga seperti ini? Tumben-tumbenan. Dan toko bunga mana coba yang udah buka subuh-subuh begini? Ada-ada saja memang.

Takdir TerakhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang