013

408 39 12
                                    

Tanpa basa-basi Alif menghampiriku dan menarik pergelangan tanganku lalu membawaku sedikit menjauh dari bangunan itu.

"Kamu mau ngapain?" Tanya Alif to the point setelah memastikan tak ada orang yang melihat kami.

Jujur saja melihatnya sedekat ini membuat jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya, aku menatapnya lekat. Wajahnya yang terlihat panik justru membuatku semakin ingin memandangnya lebih lama lagi.

"Mina?" Panggil Alif karena aku tak kunjung menjawabnya, dan sontak saja aku mengalihkan pandanganku darinya.

"Nggak tau, ta—tadi saya cuma ikut-ikutan Warda sama Ratna." Jawabku gagap karena memang akupun tak tahu apa yang akan aku lakukan disana dengan mereka semua yang saat ini sepertinya sudah berkumpul.

"Astaghfirullah hal adzim,," gumam Alif yang masih bisa kudengar meskipun samar.

"Mina." Panggil Alif lagi dan kali ini akupun mendongakkan kepalaku lagi menatapnya lekat. Jujur saja, wajahnya adalah tantangan terbesarku selama bersamanya.

Entah mengapa setiap melihat wajahnya yang bersih itu selalu berhasil membuatku terpana bahkan meskipun aku selalu menyangkalnya.

"Sekarang kamu kembali ke kamar! Kalau ada petugas yang keliling bilang aja kalau kamu lagi kedatangan tamu bulanan. Oke." Ucap Alif serius, berbeda denganku yang kini hanya mengernyitkan dahiku karena tak mengerti maksudnya.

"Buat apa? Kan mereka semua kumpul ke sana, jadi saya juga harus ke sana dong." Sahutku cepat.

"Kamu tahu mereka ke sana mau ngapain?" Tanya Alif dan dengan cepat aku menggelengkan kepalaku.

"Mereka mau ibadah. Shalat." Jelas Alif yang tentu saja membuatku membelalakkan kedua mataku.

"Sekarang sudah masuk waktu shalat subuh, jadi mereka kumpul di sana untuk shalat jamaah." Lanjut Alif serius.

Dan dengan cepat Alif memintaku untuk kembali ke kamarku sebelum ada yang melihat kami, akupun hanya menganggukkan kepala patuh, toh aku tak tahu apapun tentang tempat ini, jadi lebih baik aku mematuhi segala perkataan Alif. Toh itu jug untuk kebaikanku sendiri.

*****

Aku membaringkan tubuhku yang terasa sangat kaku, entah mengapa siang ini terasa sangat panas, terlebih aku melewatkan sarapan karena tertidur setelah Alif memintaku untuk kembali ke kamar.

Sebenarnya para penghuni tempat ini di izinkan untuk membeli makan di luar asalkan mendapatkan surat dari pengurus, dan akupun bisa mendapatkannya jika ku memintanya pada Alif karena ia pun salah satu pengurus di tempat ini.

Namun masalahnya hanya satu, uang. Benar, aku benar-benar tak memiliki uang sepeserpun. Bahkan hanya lima ratus perak pun aku tak punya. Sedih? Tidak, aku hany merasa kasihan pada diriku ini. Seandainya ada uang jatuh dari langit untukku, atau jika bukan uang makanan pun tak apa.

Aku pasti akan sangat bersyukur dan tak akan pernah mengeluh lagi jika hal itu benar-benar terjadi saat ini.

Plakk

Tanpa aba-aba sesuatu jatuh tepat di dahiku, rasanya hangat dan sedikit berat. Sontak akupun mendudukkan diriku dan mengambil sesuatu tadi yang sudah terjatuh dalam pangkuanku.

Aku mengambilnya dengan penuh kehati-hatian, sesuatu berbentuk bulat di dalam bungkusan plastik transparan dengan cairan merah di dalamnya.

"Ehh? Apa ini?" Gumamku sembari sesekali menatap langit-langit kamar.

"Cilok." Jawab Ratna sembari menutup pintu kamar kami.

"Cilok?" Beoku karena tak mengerti dengan apa yang Ratna masuk.

"Iya, mumpung habis dapet kiriman jadi tadi tak beliin sekalian, baik kan?" Sahut Warda yang sudah duduk di sampingku. Dan tentu saja Warda lah yang menjatuhkan bungkusan cilok itu ke dahiku.

"Emang cilok buat apa?" Tanyaku lagi karena jika dilihat dengan seksama bentukan benda ini sama seperti bakso namun lebih kenyal ketika aku memegangnya, dan tak ada kuah ataupun bihun di dalamnya.

"Ya buat dimakan lah Mina, belum pernah makan cilok ya?" Sahut Ratna dengan sebuah tusuk sate di tangan kanannya dan dengan bungkusan cilok yang sudah terbuka di tangan kirinya.

"Tull, nyesel kalau seumur hidup nggak cobain cilok!" Timpa Warda yang membuatku semakin penasaran dengan makanan bernama cilok ini.

"Udah cepet cobain, keburu dingin!" Titah Ratna yang langsung ku angguki.

Akupun membuka ikatan bungkus cilok itu dan mengambilnya satu menggunakan tusuk sate yang diberikan warda padaku.

Terlihat seperti tak bisa dimakan, namun jika melihat Ratna dan Warda tak menunjukkan gejala-gejala aneh setelah memakannya bukankah berarti makanan bernama cilok ini tak berbahaya?

Dengan sedikit rasa ragu aku menelan ludahku dan bersiap untuk menggigit cilok itu. Sampai saat ini mereka berdua terlihat memperhatikanku dengan serius, lebih tepatnya reaksiku setelah memakan cilok ini.

"Gimana? Enak kan?" Tanya Warda antusias sementara Ratna menatapku dalam dengan mulutnya yang terus mengunyah cilok itu.

Aku hanya bisa terdiam dan menatap mereka dengan dahiku yang mengernyit.

"Enak kan?" Tanya Warda lagi yang sepertinya benar-benar tak sabar mendengar jawabanku.

Takdir TerakhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang