38. Awareness

2.2K 251 38
                                    

Tandain typ!

.
.
.

"Maaf sebelumnya, karena agenda saya minggu ini cukup padat, jadi untuk dokter penanggung jawab pasien atas nama Bilqis Khumaira, saya serahkan pada rekan saya, dokter Alfi."

Keadaan dalam ruangan Bilqis tiba-tiba hening ketika mendengar pernyataan dokter Sabila. Fahrizal yang sedari tadi duduk diam langsung berdiri lalu mendekati mereka. Matanya melirik dengan tajam ke arah Alfi yang berdiri di samping dokter Sabila. Belum sempat Fahrizal mengeluarkan suara, seorang pria langsung berucap.

"Maksudnya apa?" tanya Adhil dingin.

Dokter Sabila tersenyum sebelum menjawab, "Maksud saya, dokter Alfi yang akan menangani istrinya."

"Gak bisa!" bantah Fahrizal cepat. Ini pasti akal-akalan Alfi. Ia hanya ingin mendekati adiknya lagi, dan Fahrizal tidak mungkin membiarkannya.

"Tuan, saya tidak mengerti kenapa kalian menolak dokter Alfi. Padahal dokter Alfi ini suami dari pasien. Dan menurut saya, pasien akan cepat sembuh karena dirawat oleh suaminya sendiri."

"Tap--"

"Baiklah." Adhil langsung memotong ucapan Fahrizal. Ia tidak mungkin membiarkan masalah keluarganya di ketahui oleh dokter Sabila.

"Kalau begitu, saya permisi." setelah kepergian Dokter Sabila, Adhil langsung berjalan mendekati Alfi.

"Saya tidak tau maksud kamu berbuat seperti ini supaya apa. Bukannya kamu sendiri yang ingin bercerai? Lalu kenapa kamu masih mendekati putri saya?" tanyanya dingin.

Alfi tersenyum sebelum menjawab, "Pa, Alfi tau Alfi salah. Makannya Alfi ingin memperbaiki semuanya. Alfi tau kalian pasti sangat kecewa dengan Alfi, tapi bukannya kita juga harus mendengar keputusan Bilqis? Bilqis bilang dia gak mau pisah, Pa." ucapnya lirih di akhir kalimat. Ia tau ia sangat lancang dengan kembali meminta kesempatan.

"Alfi benar, Mas. Kita juga gak bisa terus ikut campur dalam rumah tangga mereka." ucap Hani seraya mengelus bahu suaminya. Adhil melirik Hani sekilas, pria paruh baya itu menghela napas lalu langsung pergi keluar dari ruangan Bilqis. Fahrizal yang melihatnya langsung mengikuti.

"Makasih, Umma." Hani langsung menatap Alfi yang baru saja mengatakan kata itu.

"Umma tidak mendukung kamu, Fi. Tapi Umma hanya ingin menunggu keputusan Bilqis, karena Umma pun satu kubu dengan suami Umma, ingin kamu berpisah dari putri Umma."

Alfi tersenyum tipis mendengarnya. Ia mengerti dengan kekecewaan keluarga istrinya ini.

"Kalau begitu, biar Alfi periksa keadaan Bilqis dulu, Umma."  Hani hanya mengangguk menanggapi. Wanita itu berdiri agak jauh dari brankar Bilqis, agar Alfi lebih leluasa melakukan pekerjaannya.

Hani menghela napas. Matanya fokus memperhatikan Alfi yang sedang memeriksa kondisi Bilqis. Setelah selesai, ia langsung menatap Alfi dengan tatapan bertanya.

"Alhamdulillah, kondisinya cukup stabil, Umma. Dan mungkin Bilqis sebentar lagi bisa membuka matanya." senyum Hani tak dapat ia tahan. Wanita itu langsung mendekati brankar Bilqis lalu mencium kening putrinya berkali-kali.

"Umma sudah makan?" tanya Alfi. Hani hanya bergumam menjawab pertanyaan tersebut.

"Um-ma..." panggil Alfi lagi dengan ragu. Hani langsung menatap Alfi dengan bingung.

"Ada apa?"

"Bo-leh Alfi minta waktu berdua sama Bilqis?" tanyanya dengan hati-hati.

Hani nampak terdiam, setelah ia pikir-pikir tidak papa kan? Lagipula ia harus menyusul suaminya, ia tadi dapat melihat dengan jelas raut yang di kuasai oleh amarah tersebut. Dan ia harus meredakan amarah tersebut. Jadi, ia bisa menitipkan Bilqis sementara waktu kepada Alfi. Hani menatap Alfi, lalu mengangguk menyetujui permintaan tersebut.

Bilqis Khumaira [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang