Di dalam ruang kantor kepala sekolah, seorang siswa dengan pakaian berantakan dan juga luka di sudut bibir kanan itu tengah berbaring dengan nyaman di sofa panjang tanpa perduli pemilik ruangan akan marah atas tindakannya.
"Aran Haris Fahreza?" Panggil pria setengah baya yang tengah memandang tajam sang pemuda.Aran yang dipanggil hanya berdecak kesal dan berbaring miring membelakanginya membuat Rendra mengepalkan tangannya kuat. Seandainya pria itu tidak ingat kalau dirinya menjabat sebagai kepala sekolah, Rendra mungkin sudah memberi pelajaran pada siswa kurang ajarnya.
"Kita tunggu sampai orang tua kamu datang," Rendra berpasrah diri, berharap semoga orang tua Aran cepat datang menjemput anak mereka.
Harusnya sejak awal Rendra memang menolak ke pindahan Aran ke sekolah mereka walau anak itu adalah anak dari teman lamanya. Bagaimana tidak, Aran hanya merusak citra baik sekolah ini, Madrasah Aliyah sepertinya memang tidak cocok dengan kepribadian Aran yang berandalan. Akibatnya, Aran terus berhadapan dengan guru BK dan berakhir tidur siang di ruang kepala sekolah seperti sekarang ini.
"Mereka nggak akan datang, Ayah saya sibuk." Aran menjawab dengan mata terpejam dan posisi masih membelakangi Rendra.
"Kalau begitu, kita tunggu ibu kamu."
Aran tertawa kecil mendengar ucapan sang kepala sekolah, Rendra mengerutkan dahi bingung atas respon Aran. Biasanya dia akan selalu diam jika Rendra menyinggung mengenai ibunya tapi anak itu kini tertawa, apakah Aran tiba-tiba kerasukan?
"Kenapa tertawa?"
"Nggak apa-apa. Kalau begitu saya mau tidur, bapak bisa bangunin saya jika orang itu datang."
Rendra tidak menjawab, pria itu menghela nafas panjang sambil menatap punggung Aran.
***
Di lain tempat, Afka sedang sibuk memeriksa lembar hasil UTS para mahasiswanya. Entah sudah berapa tahun dia menggeluti profesinya, Afka masih tetap merasa nyaman walau terkadang sedikit bosan dan juga lelah.
Drtt drrtt...
Ponsel yang tergeletak di atas meja sejak tadi itu kini bergetar dengan layar yang menyala, nama Arania tertera di sana.
"Assalamualaikum, ayah?" Suara lembut itu menyapa pendengaran Afka, ikon pengeras suara di aktifkan.
"Waalaikumsalam, kenapa sayang?"
"Kakek Ibrar baru aja telpon, katanya ayah disuruh datang ke sekolah abang."
"Masalah apa lagi?"
"Tawuran."
Afka menghentikan kegiatannya dan fokus pada pembicaraan dengan Arania.
"Abang ikut tawuran?"
"Lebih tepatnya, abang yang jadi penyelenggaranya."
Afka tidak habis pikir, penyelenggara kata Arania? Apakah hal itu adalah sesuatu yang patut dibanggakan?
KAMU SEDANG MEMBACA
Pak Hakim - (ngeselin!)
General FictionKalau kata Nalya, pak Afka itu cocoknya dipanggil pak Hakim. Karena, selain nama tengahnya memang Hakim, pria itu juga selalu menghakiminya dengan tugas dan waktu pengumpulan yang tidak masuk akal. "Pak?" "Kumpulkan tugas makalah kamu besok." "Tapi...