"Lo nggak boleh pingsan lagi, ngerti nggak!?" Bentak Fia pada Nalya yang akan kembali menutup matanya.Bertempat di kamar Nalya, Fia sepupu Nalya, juga Rinaya dan Seia yang tidak lain adalah teman masa kecil Nalya itu kini berada.
Nalya sudah pingsan 3 kali setelah mendengar dirinya yang akan menikah. Awalnya Nalya tidak memikirkan hal itu karena rumahnya memang beberapa kali ditempati untuk pernikahan para sepupunya jadi wajar untuk dirinya tidak curiga, belum lagi dari awal tidak ada pembicaraan sama sekali dari orang tuanya.
"Gue...gu-gue, NGGAK MAU NIKAH!!!" teriaknya histeris, Nalya sudah menangis beberapa menit atau mungkin sudah 2 jam berlalu begitu saja. Andai Rinaya dan Seia tidak menaruh perasaan iba pada sahabatnya ini, mungkin keduanya sudah membungkam mulut Nalya dangan lakban yang sejak tadi di pegang oleh Fia.
Terlalu lama menangis membuat air mata Nalya sudah tak lagi bisa keluar, stok air matanya sudah habis sepertinya.
"Diam bentar Nal, telinga gue berdengung ini." Seia akhirnya bicara setelah lama mengamati tingkah Nalya yang tak kunjung selesai.
"B-bantuin gue kabur dari sini, lo berdua udah janji sama gue dulu."
Benar kata Nalya. Kedua sahabatnya ini pernah menjanjikan akan saling membantu dalam pelarian jika salah satu dari mereka akan dinikahkan dengan seseorang yang tidak mereka kenal, dan kini Nalya menangih janji persahabatan mereka.
"Lo nggak akan bisa kabur, malam ini tuh acara adat dan besok udah ijab qobul. Cara mereka bawa kabur lo gimana?" Fia memandang ketiga wanita di hadapannya secara bergantian. Sejujurnya, Fia tak begitu mengenal Rinaya dan Seia. Namun jika diamati dengan seksama, kedua wanita itu memiliki karakter yang mirip dengan Nalya.
"Perkumpulan orang gila ini bakalan rencanain apa yah?" Batin Fia.
"Kita nggak ada rencana apapun Nal, sorry. Kita aja baru nyampe kemarin setelah dapat telpon kalau lo bakal nikah besok." Sesal Rinaya, dirinya tak sanggup melihat kondisi Nalya yang sekarang benar-benar mirip orang gila.
Rinaya dan Seia ini memilih keluar daerah untuk menimbah ilmu, bertempat di Sulawesi Selatan kedua orang itu berkuliah. Berbeda dengan Nalya yang tidak bisa melakukannya karena ketakutan orang tuanya, mengingat dirinya adalah anak perempuan satu-satunya. Atau lebih tepatnya mereka tak bisa tinggal berjauhan dengan Nalya.
"Terus gue harus gimana b*bi? Lo mau gue pasrah aja gitu!?"
"Bangs*t!" Umpat Nalya tak tahan, dia butuh solusi sekarang namun satupun tak ada yang dapat membantunya.
"Gue bakal kabur dengan cara gue sendiri!" Finalnya, Rinaya dan Seia hanya bisa menghela nafas. Nalya selalu meledak-ledak ketika marah, umpatan bukan lagi hal yang tabu untuk mereka dengar dari mulut sahabatnya itu namun ada hal yang lebih penting yang harus diwaspadai oleh mereka.
Otak di luar nalar Nalya.
Nalya kemudian beranjak dari ranjangnya, dia meraih ponselnya di atas meja belajar dalam kamarnya untuk menghubungi seseorang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pak Hakim - (ngeselin!)
General FictionKalau kata Nalya, pak Afka itu cocoknya dipanggil pak Hakim. Karena, selain nama tengahnya memang Hakim, pria itu juga selalu menghakiminya dengan tugas dan waktu pengumpulan yang tidak masuk akal. "Pak?" "Kumpulkan tugas makalah kamu besok." "Tapi...