"Sorry yah kak Dimas, sakit nggak pukulan Saqif?" Nalya bertanya dengan sedikit meringis melihat luka di sudut bibir kiri Dimas.
Setelah dipukul oleh Saqif, Dimas masih tetap meminta Nalya untuk ikut bersamanya. Mereka sedang berada di pusat kampus, kebetulan taman universitas berada di tengan dan salah satu spot paling nyaman untuk mengobrol dengan anak fakultas lain.
"Lo masih nanya? Bertanya-tanya?" Dimas menatap Nalya dengan ekspresi wajah mengejek, Nalya mendengus kesal sembari mengangkat sepatunya yang entah kapan dirinya lepaskan.
"Wajar sih Saqif mukul lo kak, ngeselin parah."
Nalya kembali memasang sepatu ketsnya. Dimas malah tertawa walaupun sempat meringis akibat luka di sudut bibirnya.
"Saqif gila emang, mukulnya nggak main-main."
Dimas mulai mengomel, dia juga tak menyangka kalau Saqif berani melayangkan pukulan padanya mengingat Saqif bukan tipikal orang yang mudah marah.
"Kayanya dia lagi ada masalah, belakangan ini juga nggak pernah gabung sama kita-kita."
"Lo ada salah mungkin?"
"Gue? Ada salah sama Saqif?" Nalya menunjuk dirinya dengan Dimas yang menganggukan kepala.
"Iya sih, mungkin. Dia juga udah nggak pernah balas chat dari gue, bicara pun cuman seperlunya."
Dimas menganggukan kepalanya kembali, mereka berdua berakhir bicara masalah Saqif. Padahal tadi mau bicara soal masalah kemarin, ini malah menggosipkan orang lain.
"Nalya?" Panggil Dimas membuat Nalya kini hanya terfokus padanya.
"Kenapa?"
"Sadar nggak sih lo kalau ada banyak cowok di kampus ini yang suka sama lo?"
"Ha? Apa?"
"Gue bilang banyak yang suka sama lo, termasuk... Gue."
"Nalya Adrina Haris Ibrar?" Panggilan itu terdengar jelas di telinga Nalya, wanita itu kemudian berbalik dan menemukan Afka telah berdiri dengan tangan kanan di saku celana depan dan jangan lupakan tatapan sinis pria itu.
"Eh pak Afka? Selamat siang pak?" Nalya menyapa dengan santai, walaupun dalam hati sudah mendengus kesal dan berdiri menghadap pada Afka.
Dimas juga ikut berdiri dan menyapa Afka. Entah hanya perasaan Dimas atau memang benar, pria di hadapannya itu menatapnya tidak suka. Dia bahkan berdecak kesal melihat Dimas yang melangkah lebih dekat dengan Nalya.
"Ada apa yah pak?" Nalya memilih bertanya ketika Afka hanya terdiam tanpa mau bicara.
"Ke ruangan saya sekarang," katanya lalu berbalik membelakangi kedua mahasiswanya itu, namun bukannya ikut Nalya malah diam memandangi punggung sang dosen.
Afka yang merasa tak di ikuti kemudian berbalik badan dan menatap Nalya kesal.
"Sekarang Nalya." Ujarnya membuat Nalya tersentak lalu berjalan ke arah Afka tanpa pamit pada Dimas.
***
Nalya mengikuti langkah Afka menuju ruangannya, mereka hanya diam sepanjang perjalanan. Setibanya di rungan Afka masuk lebih dulu, disusul oleh Nalya yang terakhir menutup pintu.
"Siapa yang kasih izin kamu kuliah hari ini?" Afka bertanya dengan kedua tangan dilipat di depan dada, berdiri dengan jarak 2 meter di hadapan Nalya.
"S-saya minta izin sama bunda, lagian juga tangan saya udah..."
Nalya menghentikan ucapannya ketika dirinya sadar, dia tak mungkin mengatakan kalau lukanya hanya luka kecil, bisa-bisa Afka menekan lukanya lagi hingga berdarah dan berakhir diamputasi beneran. Nalya, 'kan jadi takut.
"Kamu sudah makan siang?" Afka mengalihkan pertanyaannya, pria itu juga kini telah beralih duduk di sofa dan meminta Nalya ikut duduk bersamanya.
"Belum, saya lupa bawa dompet." Jawabnya dan Afka ikut teringat sesuatu. Dia lupa memberi uang saku pada Nalya.
"Kalau kamu butuh uang untuk kebutuhan kuliah atau belanja, kamu bisa minta ke saya. Jangan minta sama orang tua kamu lagi."
"Loh, kenapa?"
"Sudah kewajiban saya untuk menafkahi kamu, minggu depan kita akan pindah ke rumah baru."
"Di mana?"
"Nggak jauh dari rumah bunda, mungkin hanya 5 rumah dari sana."
"Terus kos an saya?"
"Lusa barang di kos an kamu sudah bisa di bawa ke rumah itu."
"Kenapa harus pindah? Enakan juga tinggal sama bunda." Afka menatap Nalya dengan satu alis terangkat, sepertinya Nalya sudah sangat akrab dengan bundanya sampai wanita itu mengatakan bahwa tinggal dengan orang tuanya jauh lebih baik. Pikir Afka.
"Kita pulang sekarang, kamu bisa keluar lebih dulu dan tunggu saya di parkiran." Nalya mengangguk dan keluar dari ruangan Afka.
***
"Bagaimana kabar mama Elma?" Afka membuka pembicaraan ketika mereka sedang makan di sebuah warung mie ayam, Afka tiba-tiba saja ingin makan mie ayam jadi mereka mampir saja untuk makan siang di sana.
"Mama baik, alhamdulillah. Walaupun rada melantur kalau ngomong." Nalya menjawab sebelum menyuapi mie ayam itu ke dalam mulutnya dengan sendok yang berada di tangan kirinya.
"Ngelantur bagaimana?"
"Yah, begitulah. Ngomong pengen cucu katanya."
Uhuk! Uhuk!
Uhuk!
"Ini mas, minum dulu." Kata Nalya mendorongkan segelas air pada Afka, bukannya meraih gelas air itu dan meneguknya, Afka malah semakin terbatuk dengan telinga yang memerah akibat panggilan Nalya.
Uhuk! Uhuk!
"Keselek tulang ayam apa gimana?" Nalya yang panik beralih duduk, yang tadinya wanita itu di depan Afka kini telah berada di kursi sebelah pria itu.
Nalya meraih gelas air dan membantu Afka untuk minum, sesekali juga tangan Nalya mengelus punggung Afka. Kegaduhan di meja mereka membuat beberapa orang menatap mereka berdua.
"Mas nya kenapa?" Sang pemilik warung datang menghampiri meja Nalya, sepertinya ingin menawarkan pertolongan jika diperlukan.
"Ini, suamiku kesele..."
Pruff...
Belum selesai Nalya bicara, Afka sudah menyemburkan air dari mulutnya. Pria itu kembali terbatuk dengan air mata yang bahkan sudah turun, Nalya sudah tertawa dalam hati melihat ini.
Dia memang sengaja mengerjai Afka untuk melihat responnya yang ternyata amat lucu, sayang Nalya tak bisa mengabadikannya dengan kamera ponsel.
"Mampus lo! Ini pembalasan karena kemaren lo pencet luka tangan gue!" Umpat Nalya dalam hati.
Afka harusnya tetap ingat bahwa istrinya adalah manusia pendendam.
Nalya tidak akan pernah puas jika tak membalas perlakuan seseorang padanya dan Afka harus waspada akan hal itu, jika dirinya tak mau lagi berakhir seperti saat ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pak Hakim - (ngeselin!)
General FictionKalau kata Nalya, pak Afka itu cocoknya dipanggil pak Hakim. Karena, selain nama tengahnya memang Hakim, pria itu juga selalu menghakiminya dengan tugas dan waktu pengumpulan yang tidak masuk akal. "Pak?" "Kumpulkan tugas makalah kamu besok." "Tapi...