Menikahi Luka 1

9K 278 5
                                    

Haii, apa kabar, Teman². Semoga semuanya sehat yaa. Eh, ada cerita baru dari aku niih, ini ada di KBM App juga, tapi dengan judul berbeda ya. Di sana aku judulnya Karenina. Kisah ini terinspirasi dari kisah nyata.

Udah deh, langsung baca aja yaa. Semoga sukaa

**


"Maaf, Nina, tapi aku nggak bisa berbuat apa-apa selain mengikuti kehendak mereka. Maaf." Vano menepis tangan Karenina dari lengannya.

Mendengar penolakan pria yang dicintainya itu, Karenina menggeleng pelan. Air matanya mengalir membasahi pipi. Dia tak percaya jika Vano dengan mudah mengatakan hal itu di saat dirinya butuh seseorang yang bisa menguatkan hidupnya.

"Dan kamu menyerah begitu saja, Vano?" tanyanya dengan suara serak.

Pria di sampingnya itu mengedikkan bahu seraya menggeleng dia balik bertanya, "Kamu pikir aku bisa apa? Aku masih sangat bergantung pada orang tuaku, Nina! Kalau aku menentang mereka, bisa-bisa aku dicoret dari kartu keluarga. Semua fasilitas dari mereka bakal diambil ... kamu bisa hidup sengsara?"

Karenina mengangkat wajahnya memindai paras Vano. Betapa dia sangat mencintai pria itu, betapa dia bisa merasakan jika hanya Vano-lah yang bisa membuat dirinya nyaman dan merasa dilindungi.

Dia bahkan rela bertengkar dengan sang papa hanya karena ditegur untuk tidak terlalu sering keluar dan pulang malam dengan pacarnya itu. Terlebih saat papanya tahu jika kartu kredit Karenina sering digunakan oleh pria bernama Vani itu. Namun, cinta membutakan, bahkan berbagai nasehat sang papa pun selalu dia abaikan.

Kini mendengar penuturan Vano, seolah dia tak lagi mengenalinya. Vano berubah menjadi dingin bahkan seperti mulai membuat jarak saat tahu papanya meninggal kala itu.

"Vano? Kamu akan melepasku begitu saja? Kamu nggak mepertahankan hubungan ini? Apa itu artinya kamu sudah nggak cinta aku lagi?"

Pria di sampingnya itu menyadarkan tubuhnya di bahu kursi. Bukan menjawab pertanyaan Karenina, dia malah terlihat asyik dengan ponselnya.

"Vano! Jawab pertanyaanku!" Dia mulai gusar.

"Ck! Nina! Kamu bisa diam nggak!" bentaknya sembari menepis kasar tangan Karenina.

"Vano! Kamu kenapa sih? Kenapa kamu kasar ke aku? Aku sudah memberikan semuanya yang kamu ingin, tapi kenapa kamu begini ke aku? Kenapa kemarin-kemarin kamu selalu bersikap manis? Kenapa, Vano?" Karenina bangkit dari duduk menelisik pria di sebelahnya.

Tersenyum sinis, Vano menautkan kedua alisnya.

"Jadi apa yang kukatakan tadi masih kurang jelas? Hah!"

Kali ini Vano tertawa mengejek. Sambil menggeleng dia ikut bangkit sehingga posisi mereka berhadapan. Masih dengan senyum sinis, dia menyelipkan rambut Karenina ke belakang telinga.

"Orang tuaku, Mama papaku ... mereka nggak setuju kalau aku terus bersamamu," bisiknya.

"Tapi bukannya Mama Maya sayang ke aku? Mama Maya sering telepon dan kadang ngajakin aku belanja, makan, jalan-jalan ... kenapa sekarang ...."

Tawa Vano sedikit kencang. Masih pada posisi yang sama, dia sedikit menunduk menatap perempuan berhidung mancung di depannya. Sejenak dia mengamati seperti ingin mengingat bagaimana paras Karenina untuk yang terakhir kalinya.

Memiliki mata bulat dengan bulu mata lentik, hidung mancung dan bibir seksi menggoda dan ditopang dengan tubuh semampai adalah perpaduan sempurna sebagai seorang perempuan idaman. Akan tetapi, sayang dia kini sudah tidak memiliki apa-apa lagi. Karenina jatuh miskin karena ditendang dari rumah mewahnya tanpa membawa apa pun selain satu koper dan ponselnya.

"Apa yang kamu harapkan dari seorang perempuan gembel seperti Karenina itu, Vano! Dia sudah miskin sekarang, nggak ada lagi yang bisa kamu harap dari dia. Perusahaan papanya sudah diambil alih oleh ibu tiri dan anaknya, sadar! Kamu itu hidup bukan hanya sehari dia hari, tapi panjang dan itu butuh uang! Jangan buta! Putus dan tinggalkan dia!" Suara Maya menggema kembali di telinganya. "Lagipula Mama juga nggak mau punya menantu miskin apalagi yatim piatu seperti dia! Repot!"

"Vano? Jawab kenapa? Atau ... aku telepon Mama Maya sekarang!"  Karenina menggulir layar ponselnya mencari kontak mama Vano.

"Kau telepon Mama kamu sekarang!" ucapnya sembari menempelkan ponsel ke telinga.

Vano mengedikkan bahu lalu melipat kedua tangannya ke dada sembari mengalihkan pandangan ke arah lain membiarkan perempuan di depannya berulang-ulang meyakinkan jika nomor telepon yang dia hubungi sudah benar.

"Gimana? Udah Mama respon nggak?" tanyanya menatap dengan seringai di bibir.

Dadanya kembali terasa nyeri, bahkan lebih dari sebelumnya. Tak disangka ternyata mama Vano telah memblokir nomornya. Tak ada yang bisa diharapkan lagi olehnya. Bahkan Maya yang sudah dianggap seperti mamanya sendiri itu tak lagi sudi padanya.

Bayangan senyum lebar Maya ketika menerima tas kulit buaya asli kado ulang tahun darinya kala itu masih begitu lekat membekas. Masih hangat di ingatannya saat dia memberi hadiah Vano motor sport untuk kejutan di hari ulang tahunnya dan semua kemewahan yang pernah dia berikan pada keluarga itu kini seperti tak dianggap sama sekali.

"Mamamu memblokir nomorku?" tanya Karenina kembali dengan mata berkaca-kaca. "Kenapa? Aku salah apa?" Suaranya bergetar dengan air mata kembali menetes.

"Kamu mau tahu kenapa? Karena mamaku tidak mau punya menantu miskin. Paham?"

Karenina merasa tenggorokannya tercekat, matanya nanar menatap Vano yang justru tengah tersenyum miring padanya. "Dan aku? Tentu saja akan berpikir. Berpikir bagaimana bisa aku hidup bersama gembel?"

Karenina mendelik mendengar penuturan Vano yang begitu melecehkannya.

"Vano! Jangan mulutmu!"

Pria berkemeja kotak-kotak itu tertawa mengejek sembari bertepuk tangan.

"Kenapa? Sekarang memang yang terjadi seperti itu, kok? Apanya yang salah?"

"Ucapanmu yang salah! Berhenti bicara buruk padaku!"

"Masih merasa sok ngatur kamu? Kamu tahu, Karenina? Selama ini aku juga sebenarnya lelah pada sikapmu. Sok bossy, sok ngatur, aku lelah!" Vano memindai mata perempuan yang tengah berderai air mata itu. "Tapi setelah kupikir ... mungkin lelahku ada manfaatnya, aku bisa mendapatkan apa pun yang aku mau dari kartu kreditmu," imbuhnya dengan tawa terbahak sehingga beberapa pengunjung kafe menoleh padanya.

Karenina meradang. Dia merasa dimanfaatkan oleh Vano juga mamanya. Perasaan terbakar di hati membuat tangannya melayang mendarat di pipi pria itu. Bukan kesal, Vano justru terlihat mengejeknya.

"Tuan putri kini kehilangan singgasana, dan aku ... aku harus bisa berpikir realistis. Selamat tinggal, Karenina Anindita Putri," ujarnya seraya melangkah meninggalkan tempatnya berdiri dengan tangan memegang pipi.

Lunglai, Karenina kembali duduk dengan mata menatap kosong. Ucapan Vano sangat menyakitkan baginya. Air matanya terus menetes, dia tak peduli beberapa pasang mata menatap iba.

Jika benar selama ini dia seperti yang dikatakan Vano tadi, mungkin dirinya bisa mulai membenahi diri, tapi bukan ditinggalkan dan dianggap sampah seperti saat ini.

"Kemana tatapan hangat dan kata-kata manis yang sering kamu ucapkan ke aku, Vano? Kenapa kamu campakkan aku begitu saja saat aku terpuruk? Kenapa kamu tega," gumamnya sembari mengusap pipinya yang basah.

Karenina menghela napas panjang, di luar matahari mulai meredup, ini hati pertama dia keluar dari rumah. Dia masih belum tahu untuk malam ini harus menginap di mana. Karena tidak mungkin dia tinggal di hotel, tentu saja itu akan menguras tabungannya yang memang sudah tidak lagi banyak.

"Mungkin Sheila bisa bantu aku," gumamnya lagi kemudian mencoba menghubungi teman kampusnya itu.

Menikahi Luka (Sudah Tersedia Terbit E-booknya)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang