Rumah bercat hijau itu terlihat sangat asri dan bersih. Ada pohon mangga di depan yang membuat sejuk dan beberapa tanaman lidah mertua dan pucuk merah serta kembang krokot yang akan mekar saat mentari mulai naik.
Dia kemudian masuk, sofa berwarna kuning gading dan rak buku menyambut kedatangannya. Buku-buku berbahasa Arab yang dia tidak tahu apa isinya itu berjajar rapi mengisi rak kaca tersebut.
Dia masih mendengar sang suami bercakap-cakap di luar dengan salah satu ustaz. Karenina terus melangkah masuk. Rumah ini ada dua kamar yang masing-masing memiliki kamar mandi di dalam. Perempuan bergamis hitam itu melangkah ke ruang tengah.
Ada sofa besar berwarna cokelat. Ruangan itu memang terlihat lebih luas karena langsung terkoneksi dengan pantry dan ruang baca. Konsepnya sangat sederhana, tetapi bisa membuat siapa pun nyaman.
Karenina menarik kedua sudut bibirnya, dia melangkah ke pantry. Semuanya alat masak lengkap ada di sana. Meski dia bukan perempuan yang hobi memasak, tetapi kali ini dia harus menyukainya.
Dia masih teringat bagaimana dulu sekali saat keluarganya masih utuh, Bik Rohimah pernah bilang jika nanti dirinya sudah berumah tangga harus bisa memasak, karena memanjakan perut suami itu salah satu cara agar suami tidak berpaling.
"Semoga kamu suka rumahnya." Suara Wafi tiba-tiba terdengar tepat di belakangnya.
"Mas Wafi? Eum ... iya, saya suka," tuturnya sembari membalikkan badan.
"Kamu suka masak?" tanya pria itu dengan bibir mengulas senyum.
Karenina tersenyum datar.
"Nggak suka?" tanyanya lagi.
"Mungkin setelah ini aku akan menyukainya," ujar Karenina dengan pipi memerah karena malu.
"Memasak itu hal yang mudah, kok. Asal ada kemauan aja untuk belajar."
Wafi mendekat dan berdiri di depan sang istri.
"Nanti kamu bisa belajar sama aku," ujar Wafi sembari memasukkan tangannya ke saku celana.
"Mas pintar masak?" tanyanya mencoba membunuh ketegangan yang sejak tadi menyelimuti.
"Nggak pintar, cuma bisa. Kalau pintar ... aku jadi chef nanti, bukan ngajar para santri," candanya sembari menaik turunkan alis.
Karenina tertawa kecil mendengar celoteh sang suami. "Sudah malam, Mas. Mas mau istirahat atau mau aku buatkan minuman?"
Wafi menggeleng. "Istirahat aja. Nanti telat salat lail-nya. Kita masih harus sahur juga, kan?"
Dia mengangguk. Ini adalah moment canggung selanjutnya. Wafi sudah sah menjadi suaminya, dan itu artinya jika pun malam ini mereka mulai sekamar, tentu saja apa yang akan dilakukan sang suami padanya adalah bernilai ibadah.
Seperti memahami apa yang bergelayut di pikiran sang istri, Wafi tersenyum.
"Koper sudah aku letakkan di kamar kita, kamar depan. Kalau kamu mau ganti baju atau bebersih silakan. Aku menunggu di luar."
Karenina mengangguk samar. Dia lalu mengayun langkah menuju ke kamar diikuti oleh tatapan Wafi yang masih tersenyum.
Perlahan Karenina menutup pintu kamar. Perempuan itu memandang ke arah cermin betapa wajahnya merona merah dan debar cepat di hatinya seperti tak berdetak normal.
Matanya mengedar ke setiap sudut ruangan. Tak ada televisi di sana. Yang ada hanya meja dan lagi-lagi rak buku yang serupa seperti yang dia temui di ruang tamu dan ruang tengah tadi. Kemudian dia menatap ke sisi lain ranjang, ada dua sajadah terhampar yang salah satunya ada mukena terlipat rapi di sana. Melihat itu, semakin keras jantungnya berdegup.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menikahi Luka (Sudah Tersedia Terbit E-booknya)
General FictionDiusir dari rumah oleh ibu tiri saat papanya baru meninggal tepat empat puluh hari adalah awal dari derita Karenina. Kehidupan yang serba berkecukupan harus dia lepaskan begitu saja. Kehilangan limpahan kasih sayang sang papa dan harus keluar lepas...