Kasak-kusuk tentang masa lalu Karenina seperti bola salju yang menggelinding liar. Tak bisa dipungkiri hal itu akhirnya mengganggu Hadijah. Sore itu Hadijah duduk berhadapan dengan putrinya di bangku taman di halaman belakang. Perempuan paruh baya yang masih terlihat energik itu memindai tajam paras Farhana.
"Umi tahu kamu tidak suka dengan Karenina, itu sebabnya Ini tanyakan ini padamu."
Farhana menyandarkan tubuhnya kalau menoleh.
"Umi menuduh Hana yang menyebabkan masa lalu Nina tersebar begitu, Mi?"
"Umi tidak menuduh, Umi bertanya kepadamu karena hanya kamu di keluarga kita yang tidak nyaman dengan kehadiran Karenina."
Seringai muncul di bibirnya.
"Lagipula mungkin memang sudah saatnya mereka tahu, Mi."
"Jadi benar kamu yang menyebarkan soal Karenina?"
Anak pertamanya itu diam.
"Kamu keterlaluan, Hana! Umi ngga menyangka kamu punya sifat busuk seperti itu. Apa maumu, Hana? Amarahmu pada istri Wafi itu sama sekali tidak berdasar! Dia tak ada masalah denganmu. Jangan hanya karena mantan suamimu direbut oleh sahabatnya kalau kamu berhak melampiaskan sakit hatimu pada Nina. Itu sama sekali tidak benar!" cecar Hadijah.
Farhana masih dia, tapi jelas di wajahnya tak tampak penyesalan dan rasa bersalah sedikit pun.
"Umi, apa yang bisa diharapkan dari seorang perempuan yang berlatar belakang seperti Nina itu?"
"Farhana!"
"Umi, maafkan Hana, maafkan kalau kali ini Hana berseberangan dengan Umi. Coba Umi renungkan, pernikahan Wafi dengan perempuan itu adalah sebuah kesalahan dan ketergesaan." Hana menarik napas dalam-dalam.
"Umi, Sofia bahkan Mutia, rencana itu hanya karena napsu. Hana tahu Nina itu cantik, sangat cantik. Tapi bukan itu seharusnya yang dijadikan landasan menikahkan adik Hana dengan dia, Umi."
"Hana heran, kenapa Umi tidak berpikir lebih dalam soal ini. Dan sekarang ... Allah sudah menjawab, kan? Buktinya, Mutia hamil dan perempuan itu? Nggak. Hana berharap dia tidak hamil selamanya."
"Farhana! Tahan kata-kata burukmu itu!" bentak Hadijah. "Jangan pernah mengeluarkan kalimat buruk untuk siapa pun. Kamu nggak usah memupuk kebencian dengan dalih yang kamu ungkap tadi."
"Hana tidak sedang berdalih apa pun, Umi. Hana cuma ingin Umi sadar kalau menikahkan Wafi dengan Karenina itu adalah sebuah kesalahan besar."
Sejenak ruangan itu hening. Hadijah menarik napas dalam-dalam. Sementara Farhana justru terlihat santai. Dia benar-benar tak ingin ada Karenina di dalam silsilah keluarganya.
"Umi nggak tahu, kan? Apa yang terjadi saat Hana ke rumah Nina beberapa waktu yang lalu?"
Hadijah menoleh mengalihkan pandangannya ke Farhana.
"Apa yang terjadi? Ada kejadian apa?"
Dengan senyum yang tercetak lebar, Farhana mengisahkan bagaimana dia melihat Karenina saat turun dari taksi online waktu itu.
"Ada interaksi yang tidak biasa antara Nina dengan seseorang di mobil itu. Hana yakin mereka saling kenal, tapi waktu Hana tanya ... Nina nggak ngaku," paparnya.
Hadijah menggeleng tak setuju.
"Kalau pun memang mereka saling kenal memangnya kenapa? Apa itu salah? Apa Nina membawa seseorang itu ke dalam rumah? Nggak, 'kan?" tangkis Hadijah.
"Ya jelas enggaklah, Mi, enggak untuk saat itu. Entah lain waktu."
"Hana, kamu tahu? Justru karena ulahmu sekarang kita jadi buah bibir dan otomatis berimbas ke pesantren. Jadi sebenarnya bukan Nina yang menghancurkan keluarga kita, tapi kamu, Hana!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Menikahi Luka (Sudah Tersedia Terbit E-booknya)
General FictionDiusir dari rumah oleh ibu tiri saat papanya baru meninggal tepat empat puluh hari adalah awal dari derita Karenina. Kehidupan yang serba berkecukupan harus dia lepaskan begitu saja. Kehilangan limpahan kasih sayang sang papa dan harus keluar lepas...