Setelah menyepakati kerja sama dengan Rafika teman kakak iparnya, Karenina berkemas kembali ke kediamannya. Tak lupa dia membagikan kue yang dia buat tadi kepada Sofia juga Rafika."Kamu mau open order, Nin?" tanya Sofia.
"Belum berani, Mbak. Ini masih untuk sendiri aja," jawabnya tersenyum.
Setelah saling bersalaman, mereka pun berpisah. Saat baru saja hendak keluar dari masjid, ponselnya berdering. Panggilan dari Mutia membuat matanya menyipit.
"Assalamualaikum, Mbak Mutia."
"Waalaikumussalam, Nina. Apa kabar?"
"Baik, alhamdulilah."
"Alhamdulillah, eum ... kamu lagi di rumah atau ...."
"Saya baru saja mau keluar dari masjid, Mbak. Barusan selesai pengajian."
Terdengar hela napas lega dari seberang.
"Aku jemput kamu ya. Kita jalan berdua aja. Kamu nggak sibuk, kan?"
Karenina tampak berpikir sejenak. Sebenarnya ada hal yang akan dia kerjakan di rumah, dan lagi dirinya belum izin pada Wafi. Akan tetapi, menolak ajakan Mutia tentu sangat tidak sopan menurutnya. Selain ini adalah kali pertama mereka jalan berdua saja, tentu saja juga karena dia sudah menganggap Mutia sebagai kakaknya.
"Kamu tenang aja, aku tadi udah minta izin ke Mas Wafi untuk ngajak kamu keluar jalan bareng aku," ujar Mutia seolah menjawab kekhawatirannya.
Menghela napas lega, dia tersenyum.
"Baiklah kalau begitu, Mbak. Saya nggak perlu pulang lagi. Saya tunggu di masjid pesantren ya, Mbak."
"Oke, Nina."
**
Karenina tersenyum saat masuk ke mobil. Mutia menyambut hangat dari balik kemudi. Dengan mata berbinar dia mengungkapkan kelegaannya bisa jalan berdua saja dengan Karenina.
"Aku belakangan ini agak sibuk, dan terkadang kalau hari libur justru aku malas ke mana-mana, Nin," tuturnya sembari fokus mengemudi.
"Padahal dulu aku itu paling nggak bisa diem orangnya. Mau itu hari libur, kalau ada hubungannya dengan pengajian atau dakwah, aku nggak bisa diam," imbuhnya kali ini menoleh sekejap.
Sejenak hening, Karenina tak tahu harus bertanya atau mengatakan apa, sementara Mutia terlihat fokus karena jalanan mulai padat.
"Aku punya butik muslimah langganan di dekat pusat perbelanjaan di dekat komplek perkantoran yang ada di tengah kota. Sebentar lagi, kan lebaran tuh, aku pengin kita pakai nuansa lilac semua. Jadi kita semua seragaman!"
Mendengar penuturan Mutia, dia menarik kedua sudut bibirnya. Sebaik itu seorang Mutia. Kakak madunya yang begitu rendah hati dan sangat penyayang.
"Oh iya, risol mayo buatanmu tempo hari enak loh, Nin! Makasih, ya."
"Alhamdulillah kalau Mbak suka. Kalau Mbak mau dibuatkan, telepon aja ya. Saya senang hati akan membuatkan untuk Mbak."
Mutia menggeleng cepat, dia menarik napas dalam-dalam.
"Kamu jangan terlalu capek, Nina. Aku khawatir kalau kamu kecapean akhirnya nggak bisa fokus ke program hamil nanti," ucapnya tersenyum singkat menatap Karenina.
Mendengar ucapan Mutia, dia sadar jika tujuan awal dia dinikahi oleh Wafi adalah untuk mendapatkan keturunan. Sementara dirinya justru kadangkala lupa akan hal tersebut. Dirinya justru masih bermain-main dengan perasaan.
Perasaan untuk mulai mengenal dan mencintai Wafi. Perasaan untuk bisa menjadi perempuan yang pantas menjadi pendamping pimpinan pesantren yang cukup tersohor itu meski tentu dia tahu dirinya seorang istri kedua. Kebaikan, kelembutan, dan perhatian Wafi telah membuat hidupnya yang cukup rumit kini teralihkan.
Mungkin terkesan dia 'hanya' menjadi perempuan yang dinikahi untuk hamil, selain itu tidak. Jadi wajar jika dia sebenarnya Wafi tidak mencintainya seperti yang dia harapkan pada seorang laki-laki.
Wafi hanya berbuat baik dan menghormati dia sebagai istri, tidak lebih. Itu sepertinya yang harus ditanamkan pada pikiran Karenina.
"Nin? Melamun?" Mutia menepuk pelan bahunya saat mobil suda berhenti di parkiran.
"Oh nggak, Mbak. Eum ... kita sudah sampai ya?"
Senyum perempuan bergamis hitam itu melebar. Sambil mengangguk dia berkata, "Ada yang kamu pikirkan? Apa Mas Wafi tidak memperlakukan kamu dengan baik?"
"Nggak, Mbak. Mas Wafi memperlakukan saya dengan sangat baik, kok," jawabnya sembari menggeleng cepat.
"Kamu yakin?"
"Iya, Mbak. Sangat yakin."
Helaan napas terdengar dari Mutia. Melepas sabuk pengaman, dia kembali bertutur, "Apa pun yang sedang kamu pikirkan, semoga tidak menjadikan kamu ragu pada pernikahanmu ya, Nin?"
Karenina mengangguk sembari mengulas senyum.
'Tentu saja, Mbak Mutia. Kalian adalah keluarga pertama yang mau menerimaku, sejak aku diusir dari rumah. Aku pastikan akan melakukan apa pun untuk membalas kebaikan kalian,' batinnya seraya ikut membuka sabuk pengaman.
"Kita turun? Ah iya, semoga kamu suka model gamisnya, sebab aku kemarin udah pesan couple-an gitu sama butiknya. Ayo!"
**
"Kata Mbak Sofia kamu juga pinter mendesain baju, Nin?" Mutia menoleh saat mereka menyusuri lorong menuju butik yang dimaksud.
"Nggak pinter, Mbak. Cuma hobi."
"Jangan merendah deh. Aku dengar kamu sudah sepakat kerja sama dengan Mbak Rafika iya, kan?"
Pipi Karenina bersemu merah, dia sendiri tidak menyangka sampai pada titik ini. Padahal dulu dia hanya sambil lalu saja mempelajari soal itu.
"Iya, Mbak. Alhamdulillah, kebetulan saya dulu pernah kuliah di jurusan tata busana, jadi ... bisalah sedikit," terangnya.
"Hebat! Nanti kalau lebaran tahun depan ... kamu yang harus bikin seragamnya. Oke?"
Mengangguk antusias, dia tertawa kecil.
"Insyaallah, Mbak. Kalau memang saya bisa pasti dengan senang hati membuat seragam untuk kita semua."
"Good! Nah di sini butiknya! Ayo masuk!"
Setelah selesai melakukan pembayaran, mereka akhirnya keluar dari mal. Semua pakaian yang dipesan sudah langsung diminta oleh Mutia untuk dikirim ke alamatnya. Jadi mereka berdua tida repot membawa tas belanjaan.
Menghabiskan waktu berdua saja dengan Mutia semakin dia tahu karakter istri pertama Wafi itu. Mutia adalah sosok yang sangat inspiratif, dia bahkan tidak pernah berbicara tentang dirinya sendiri.
Perempuan berwajah manis itu lebih suka membicarakan progres dakwah yang sedang dia jalani. Kegiatan sosial dan seabrek kesibukannya, tetapi tidak melupakan kodratnya sebagai seorang istri.
"Mas Wafi pasti bangga punya istri seperti Mbak," ucapnya saat mereka memutuskan ke masjid untuk salat Asar.
"Masyaallah, Nin. Itu semua juga nggak lepas dari bimbingan dan support Mas Wafi. Tapi memang sejak dokter mengatakan kalau aku akan sulit hamil, beliau lebih membebaskan apa pun pilihan keputusanku, Nin. Mungkin beliau nggak ingin aku bersedih karena terus berpikir soal itu," terangnya dengan suara pelan.
Tak ingin membuat suasana menjadi sedih, Karenina menepuk pundak Mutia lembut.
"Bukankah Allah sudah meletakkan ujian pada kita sesuai dengan kemampuan hamba-Nya, Mbak? Jadi ... percayalah, semua ini diberikan kepada Mbak karena Mbak kuat dan mampu," ujarnya memberi semangat.
Mendengar kalimat Karenina, wajah Mutia terlihat cerah. Dengan senyum dia mengangguk.
"Kita salat dulu yuk, setelah itu kita pulang. Semoga jalan nggak macet jadi bisa berbuka di rumah masing-masing. Oke?"
Karenina mengangguk.
**
KAMU SEDANG MEMBACA
Menikahi Luka (Sudah Tersedia Terbit E-booknya)
General FictionDiusir dari rumah oleh ibu tiri saat papanya baru meninggal tepat empat puluh hari adalah awal dari derita Karenina. Kehidupan yang serba berkecukupan harus dia lepaskan begitu saja. Kehilangan limpahan kasih sayang sang papa dan harus keluar lepas...