Wafi menggeleng, tangannya mengusap lembut kepala sang istri.
"Kamu istirahat ya, besok aku cerita."
Ada mendung di mata Mutia. Dia merasa hati Wafi tak benar-benar ada di sini. Diam-diam muncul sesal. Ucapan Hana kembali menari di kepalanya.
Sekarang akhirnya dia bisa merasakan apa yang dikhawatirkan kakak iparnya itu. Wafi mulai berbeda. Dia tak lagi hangat seperti biasa, bahkan malam ini meski ada sang suami di sebelahnya, dia merasakan kosong.
Mendadak dadanya terasa sesak, kedua matanya mulai berkaca-kaca. Tak ingin tangisnya pecah, Mutia mengatupkan bibirnya menahan isak. Sementara Wafi sudah lebih dulu tertidur pulas.
**
Karenina memejamkan mata, sementara tangannya gemetar memegang hasil testpack yang baru sama dia pungut dari wadah yang berisi urinenya. Belakangan ini dia merasa mudah lelah, terkadang tiba-tiba dia ingin makan sesuatu yang tidak biasa dia konsumsi.
Seperti malam tadi, akhirnya dia meminta pada security pesantren untuk membelikan kerang saus Padang, setelah sebelumnya dia ingin makan getuk lindri yang biasa dijual di pujasera yang berada tak jauh dari tempat tinggalnya.
Pelan dia membungka mata. Dua garis merah! Karenina hamil dan jelas terlihat garis itu. Seketika kebahagiaan membuncah, ada kebahagiaan sekaligus rasa hati yang meluap di dadanya.
Degup jantung semakin tak beraturan, anugerah ini sangat bahkan terlalu indah baginya. Lantunan kalimat syukur bergema di hatinya. Allah maha pembuat skenario terbaik. Tak ada yang tak indah jika memang semua dipasrahkan pada-Nya.
Karenina keluar kamar mandi, dia menyimpan testpack itu ke dalam laci. Terdengar suara gaduh di dapur pertanda Bu Joko sudah datang. Perempuan paruh baya itu memang dipercaya memegang satu lagi kunci rumahnya dengan tujuan agar dia bisa leluasa jika hendak bekerja.
Karenina duduk menghadap cermin. Wajahnya benar-benar terlihat berseri setelah akhirnya jika dia sedang hamil. Namun, wajah itu kembali murung jika teringat ancaman dan semua ucapan yang Hana tujukan padanya.
Kini dia berada dalam kebimbangan, bimbang apakah akan dia kabarkan soal kehamilan ini pada keluarga besar suaminya atau dia akan menyimpan sendiri hingga saat yang tepat?
Jika dia mengatakan hal ini segera, tentu akan memecah buncah kegembiraan kedua keluarga besar itu. Karenina siapa yang tidak antusias jika anak yang akan lahir itu adalah keturunan orang terhormat di kota ini.
Sementara dia dipandangan orang banyak adalah perempuan yang sangat berbeda level dengan istri pertama Wafi.
"Hai, Sayang ... Umi ada di sini. Umi berharap kamu kelak menunjukkan jika dirimu pun bisa menjadi penerus kakek dan abimu. Yang kuat ya, Nak. Kita berjuang bersama," ucapnya menunduk sembari mengusap perutnya pelan.
Dia melihat ke arah jam dinding, setengah jam lagi Wafi tiba. Semenjak dia setuju Wafi menemani Mutia di malam hari, suaminya itu selalu tiba sebelum para santri masuk kelas. Pukul tujuh pagi Wafi sudah dipastikan berada di rumahnya.
"Mbak Nina," sapa Bu Joko ramah. "Sudah saya siapkan madu dan lemon hangat buat Mbak Hana."
"Makasih, Bu. Oh iya, Bu, hari ini kita makan siang pecel aja ya. Saya pengin makan sayuran." Karenina duduk di ruang makan.
"Iya, Mbak. Oh iya, kemarin saya ketemu Mbak Hana."
"Oh ya? Di mana, Bu?"
"Saya waktu itu mau ke pasar beli beberapa kebutuhan di rumah, nah Mbak Hana saya lihat sedang bercakap-cakap dengan beberapa ibu-ibu di depan klinik bersalin," terangnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menikahi Luka (Sudah Tersedia Terbit E-booknya)
General FictionDiusir dari rumah oleh ibu tiri saat papanya baru meninggal tepat empat puluh hari adalah awal dari derita Karenina. Kehidupan yang serba berkecukupan harus dia lepaskan begitu saja. Kehilangan limpahan kasih sayang sang papa dan harus keluar lepas...