Semuanya dimudahkan jika dilandasi dengan niat yang baik. Bulan Ramadan yang suci menjadi awal dari perjalanan baru dalam kehidupan Karenina.Pesta pernikahan yang sakral pagi itu adalah hari di mana dia akan memijak pada satu fase hidup yang baru. Dia tak lagi sendiri, ada seorang pria yang akan melindungi, mengayomi,dan memberikan rasa nyaman pada dirinya.
Mengenakan gamis putih yang sengaja Mutia pesan lewat muridnya, Karenina Aisyah tampak anggun. Jilbab senada yang berhias ronce melati dan makeup natural memberikan kesan sederhana, tetapi sangat memesona.
Nida yang sejak tadi mengamati Karenina dirias, seolah terpukau oleh kecantikannya.
"Kak Nina cantik banget!" celetuknya sembari menatap antusias.
"Nida, sepertinya mulai hari ini, Nida harus mengganti panggilan ke Kak Nina deh," tutur Mutia yang berada di samping Nida.
"Kenapa, Aunty?"
"Iya, karena Kak Nina akan menikah dengan Om Wafi, jadi Nida panggilnya bukan Kak Nina lagi, panggilnya jadi Ammah atau Aunty Nina, gitu," jelas Mutia sembari tersenyum.
Nida mengerucutkan bibirnya. Dengan kening berkerut dia menoleh ke Mutia.
"Harus ganti ya, Aunty?"
"Iya, dong."
"Kak, Nina. Kak Nina mau ganti dipanggil apa?" tanyanya polos. "Aunty atau Ammah?"
Karenina yang tengah dirias, tersenyum manis.
"Terserah Nida aja mau panggil apa. Panggil Kakak juga nggak apa-apa, kok!" tuturnya.
Ijab kabul yang dilaksanakan di kediaman Sofia itu memang hanya dihadiri keluarga dekat saja. Meski begitu keceriaan di wajah para undangan begitu terlihat. Tenda putih yang didirikan di depan rumah sangat indah berhias bunga yang berwarna senada.
Wafi tampak tersenyum sembari menerima jabat tangan dari beberapa undangan yang baru saja tiba. Sementara tampak juga Ibnu yang sama seperti Wafi, dia pun menerima tamu dengan wajah gembira.
"Wafi, sebaiknya kamu duduk di tempat yang sudah disediakan. Penghulunya sudah datang," tutur Ibnu mendekati Wafi.
"Baik, Mas."
Pria yang mengenakan setelan jas berwarna putih dan peci yang senada itu melangkah masuk. Tepat pukul sepuluh pagi, acara pun akhirnya dimulai.
Dengan wali hakim, Wafi menikahi Karenina Aisyah dengan mas kawin seperangkat alat salat dan emas sepuluh gram. Pria berkulit putih itu sangat tenang dan lancar saat mengucapkan ijab kabul sehingga semua pun berjalan seperti yang diharapkan.
Berjuta doa melangit di pagi yang sakral itu. Ada jutaan harap yang dipanjatkan. Ada rasa sedih bercampur keharuan yang memuncak membuat Karenina tak biasa menahan tetesan air matanya.
"Eh, udah cantik jangan mewek," bisik Sofia sembari perlahan menghapus air mata Karenina.
"Sekarang kita keluar ya. Ayo, aku sama Mbak Sofia akan mengantarmu bertemu Mas Wafi." Mutia meraih tangan Karenina. Mereka bertiga melangkah menuju ruang, tempat di mana wafi berada.
Tidak pernah bertemu dan berbicara sebelumnya dengan sang suami, membuatnya kehilangan rasa percaya diri. Berbagai pikiran muncul di benaknya tentang apa yang akan dia katakan saat mereka saling dekat nanti.
"Assalamualaikum, Karenina Aisyah," sapa Wafi saat dia sudah duduk di samping pria itu.
"Waalaikumussalam warahmatullahi wa barakatuh," sahutnya masih menunduk. Dadanya bergemuruh seperti gunung yang akan meletus. Sungguh! Bahkan dirinya khawatir jika guruh itu akan terdengar oleh pria di sampingnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menikahi Luka (Sudah Tersedia Terbit E-booknya)
General FictionDiusir dari rumah oleh ibu tiri saat papanya baru meninggal tepat empat puluh hari adalah awal dari derita Karenina. Kehidupan yang serba berkecukupan harus dia lepaskan begitu saja. Kehilangan limpahan kasih sayang sang papa dan harus keluar lepas...