Wafi menggeleng cepat, dia keberatan jika Karenina harus tinggal bersama dengan mereka.
"Bukan apa-apa, Mutia, cobalah sebentar saja berada pada posisi Aisyah, tentu dia akan merasa tidak nyaman jika harus tinggal bersama di sini. Dia akan kehilangan privasi, begitu juga dengan kita!"
"Mas, aku cuma pengin ada teman bicara, itu aja. Dia nggak akan kehilangan privasi. Masa iya hanya karena aku dia kehilangan privasi?" Suaranya terdengar memelas. "Aku bosan di rumah terus, Mas. Berbaring seperti ini itu sangat melelahkan," keluhnya.
Wafi mengembuskan napas perlahan. Permintaan Mutia sulit, tetapi dia yang merasa keberatan jika itu terjadi. Karenina juga punya kesibukan dan tanggung jawab pada pekerjaan. Jika istri keduanya itu tinggal di sini itu berarti akan sulit bagi Karenina untuk menyelesaikan tanggung jawabnya.
"Dia nggak akan di sini saat giliran Mas berada di rumahnya, kok, Mas. Mas bisa bersenang-senang dengan Nina saat giliran dia. Aku cuma butuh teman, itu saja."
Pria yang memiliki janggut tipis itu mendekat lalu duduk di bibir ranjang. Matanya menatap penuh kasih kepada Mutia. Perempuan yang dia nikahi sepuluh tahun yang lalu itu terlihat pucat, meski tak memudarkan kecantikan yang dimiliki, Senyum Mutia selalu bisa meredakan resah di hatinya.
Sambil merapikan rambut istrinya, Wafi berkata dengan suara lembut, "Dengar, Mutia. Aisyah itu juga punya tanggung jawab, dia punya pekerjaan yang harus dia kerjakan setiap harinya. Kalau dia di sini, lalu bagaimana dengan semua desain yang dipercayakan oleh Rafika?"
Mutia bergeming, dia tampak mencebik. Sepanjang perjalanan pernikahannya, baru kali ini Wafi keberatan meluluskan permintaannya, selain saat dia meminta agar suaminya menikahi Karenina tempo hari.
"Aku senang kalau Nina di sini, Mas. Dia pasti akan memasak yang menggugah selera buatku. Mas, kan tahu aku sedang tidak berselera makan."
"Tapi Aisyah bukan khadimat, Mutia."
"Aku nggak bilang dia khadimat, Mas! Aku cuma ...."
"Sudah, Wafi! Kabulkan saja apa yang diinginkan istrimu!" Suara Farhana tiba-tiba terdengar dari arah pintu yang memang terbuka lebar.
Mereka yang berada di kamar sontak menoleh.
"Mbak Hana? Kok Mbak nggak ketuk pintu atau salam dulu? tegur Wafi. Pria itu terlihat tidak suka.
"Mbak udah salam, dan ketuk pintu, tapi kalian nggak dengar. Yang bukakan pintu Imah tadi. Lagian Mbak bawa jeruk Mandarin pesanan Mutia ini."
"Ada, Mbak jeruknya?" Mutia terlihat antusias.
"Ada dong! Lumayan muter-muter tadi nyarinya." Dia melangkah masuk. "Aku kasi Imah tadi jeruknya, sudah kubilang untuk diantar ke sini," jelasnya kalau duduk di sofa yang tak jauh dari ranjang Mutia.
Wafi mengusap wajahnya.
"Kenapa? Kamu nggak setuju dengan permintaan Mutia? Dia itu cuma ingin ada teman bicara, Wafi. Masa begitu aja kamu keberatan?"
"Bukan begitu, Mbak, tapi ...."
"Tapi apa? Kamu tahu, kan? Istrimu itu sedang hamil dan kehamilan ini sudah begitu lama dinanti oleh kalian berdua? Saat seperti ini seharusnya kamu bisa membuat dia bahagia dengan menuruti permintaan Mutia. Perempuan hamil itu butuh dukungan dari orang-orang terdekatnya terlebih kamu sebagai suaminya," celoteh Farhana panjang lebar.
Mutia hanya diam menatap sang suami.
"Mbak kalau nggak sibuk juga akan senang hati menemani Mutia, tapi Mbak memang sedang sibuk-sibuknya. Lagipula Mbak rasa Nina nggak akan keberatan dengan permintaan Mutia!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Menikahi Luka (Sudah Tersedia Terbit E-booknya)
General FictionDiusir dari rumah oleh ibu tiri saat papanya baru meninggal tepat empat puluh hari adalah awal dari derita Karenina. Kehidupan yang serba berkecukupan harus dia lepaskan begitu saja. Kehilangan limpahan kasih sayang sang papa dan harus keluar lepas...