Semua berkumpul di depan IGD. Wajah-wajah mereka terlihat sedih. Air mata terlihat menetes pada pipi Hadijah. Perempuan yang kini duduk di kursi roda itu terlihat berada dalam kesedihan yang mendalam. Kabar kecelakaan yang membuat Wafi harus dirawat intensif membuat mereka semua berkumpul di rumah sakit tersebut.
Menurut dokter, Wafi mengalami cidera kepala. Sementara Pak Joko hanya luka-luka. Pun demikian dengan Bu Joko.
"Pak Wafi mengalami benturan benda tumpul di kepalanya. Cedera yang terjadi itu termasuk kategori primer. Cedera primer dapat berupa cedera pada otak, pembuluh darah otak, cedera pada tulang kepala, dan lain-lain," jelas dokter yang sebagian rambutnya kelabu itu. "Akan tetapi kami akan terus memantau beliau, dan berharap tidak ada hal yang sangat serius pada cideranya."
Sofia dan suaminya mengangguk sembari mengucap syukur. Mereka berharap Wafi segera pulih dari pingsannya sehingga mereka semua terutama uminya bisa sedikit merasa lega.
"Kamu sudah hubungi Karenina, Sofia?" tanya Hadijah saat putrinya itu baru saja dari ruangan dokter.
"Belum, Mi. Sofia khawatir Nina kepikiran dan itu berakibat fatal pada kehamilannya," ungkap Sofia dengan paras cemas.
Perempuan berkacamata minus itu mengangguk sembari bibirnya terus menggumam zikir.
"Tapi biar bagaimanapun dia harus tahu, Sofia."
"Iya, Mi. Nanti biar Sofia kabari setelah Wafi sadar."
Kembali Hadijah mengangguk.
"Ponsel Wafi di mana, Shof? Mungkin Nina telepon."
"Nggak tahu, Mi, tapi semua barang sudah diamankan Mbak Hana."
Hadijah memalingkan pandangan ke kursi panjang tempat Farhana dan Mutia duduk. Napasnya Tessa berat melihat bagaimana kesedihan tergambar jelas pada Mutia. Perempuan yang baru saja melahirkan itu tak henti menangis.
"Tenang, Mutia. Kamu harus tenang. Semua akan baik-baik saja, Wafi akan kembali sehat seperti semula. Kamu harus percaya itu!" tutur Hana sembari mengusap punggung adik iparnya.
Tak terdengar jawaban dari Mutia. Umi dari Salma itu terus terisak. Tak lama muncul kedua orang tuanya. Setelah bersalaman dan sedikit berbasa-basi, umi dan abi Mutia menghampiri putrinya.
"Sabar, Mutia. Kita punya Allah, kita minta pada-Nya." Suara abinya sedikit membuat dia tenang.
"Mutia nggak mau hal buruk terjadi pada Mas Wafi, Bi."
"Tentu saja! Tak hanya kamu, tapi kita semua tidak mengharapkan itu terjadi. Percayalah! Insyaallah Wafi akan segera sadar."
**
Semalam Karenina sama sekali tidak bisa memejamkan mata. Setiap kali dia mencoba selalu saja wajah Wafi muncul. Entah kenapa meski dirinya mencoba meyakinkan jika Wafi baik-baik saja, tetapi dirinya merasa tidak nyaman. Kegelisahan terus dia rasakan walaupun dia telah salat untuk mendapatkan rasa tenang.
Selain telepon Wafi tak bisa dihubungi, telepon Bu Joko pun sama. Sempat terpikir untuk menelepon mertuanya, tetapi diurungkan karena dirinya khawatir akan membuat Umi Hadijah gelisah.
"Nina, kamu kenapa? Sejak tadi sarapan kamu cuma makan sedikit, terus susunya juga nggak kamu minum? Ada yang kamu pikirkan?" Mira mendekat duduk di sampingnya.
"Mas Wafi, Ma."
"Wafi kenapa?"
"Nggak bisa dihubungi."
Mira tersenyum tipis. Sembari mengusap perut putrinya dia berkata, "Mungkin masih sibuk. Wafi nggak ke pesantren dua hari. Iya, 'kan?"
Mengangguk, Karenina melebarkan bibirnya. Ucapan Mira sedikit kembali membuat perasaannya tenang meski jauh di hati dirinya tidak yakin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menikahi Luka (Sudah Tersedia Terbit E-booknya)
General FictionDiusir dari rumah oleh ibu tiri saat papanya baru meninggal tepat empat puluh hari adalah awal dari derita Karenina. Kehidupan yang serba berkecukupan harus dia lepaskan begitu saja. Kehilangan limpahan kasih sayang sang papa dan harus keluar lepas...