Baru saja Karenina mengenakan mukena hendak salat Duha, terdengar ketukan dan salam dari luar. Gegas perempuan yang memiliki alis indah itu memakai kaus kakinya. Sebelum membukakan pintu, dia lebih dahulu menyibak gorden untuk memastikan siapa yang datang.
"Mbak Hana?" gumamnya sembari menyipitkan mata.
Tak ingin kakak iparnya itu lama menunggu, dia segera membukakan pintu dan menyapa dengan sopan.
"Boleh aku masuk?" tanya Farhana setelah salamnya dibalas.
"Boleh, Mbak. Silakan." Dia memberi jalan agar anak pertama dari Hadijah itu masuk.
Setelah mempersilakan duduk, ramah Karenina berbasa-basi menanyakan kabar anak-anaknya.
"Nggak perlu basa-basi. Aku nggak lama!" Sama sekali tak terdengar nada bersahabat dari suaranya.
"Baik, Mbak. Maaf, ada perlu apa? Sepertinya ada hal penting yang ...."
"Iya. Penting. Sangat penting, karena ini menyangkut masa depan adikku dan lembaga pendidikan yang dia kelola!" potongnya.
Karenina menarik napas dalam-dalam, dia mengangguk samar dan menunggu Farhana melanjutkan ucapannya.
"Kamu paham dan aku rasa kamu tahu sejarah lembaga pendidikan ini, kan?"
Dia mengangguk lagi.
"Aku nggak mau semua yang sudah dirintis almarhum abiku jadi rusak."
Hening sejenak.
"Dengar, Nina! Keluargaku adalah keluarga yang sangat dihormati tidak hanya di kota ini, tetapi hampir di seluruh negeri ini tahu. Sekian lama perjalanan orang tuaku membangun semua ini hingga bisa mendapatkan citra yang baik di mata khalayak, dan aku tidak rela jika ada yang merusaknya meski hanya setitik! Karena sudah pasti semuanya akan hancur, dan aku rasa kalau kamu paham kamu juga tidak akan mau, kan?"
"Iya, Mbak," jawabnya sembari kembali mengangguk.
"Mungkin benar, kamu adalah perempuan yang sudah berhijrah, bahkan sudah hapal beberapa juz Alquran, tapi keluarga kami tidak tahu siapa keluargamu dan latar belakang keluargamu."
"Sebagai anak paling tua, aku punya hak dan tanggung jawab untuk tahu, sayangnya waktu Umi cerita soal kamu tidak lengkap, dan aku pun tidak bisa datang cepat kala itu."
Karenina mulai gelisah, dia mulai bisa mengetahui arah pembicaraan Farhana.
"Aku sangat menyesal setelah tahu siapa kamu, tetapi semua sudah telanjur terjadi. Pernikahan sudah dilangsungkan dan aku tidak bisa mencegah kemauan Umi, Mutia, juga Sofia," paparnya.
"Seharusnya, sebelum kamu menerima, kamu harus berpikir lebih dalam tentang bibit bobot dan bebet! Jelas tiga itu kamu masih tidak bisa aku melihat hal yang mumpuni untuk menjadi istri adikku," sindirnya. "Apa yang kamu pikirkan sehingga menerima begitu saja bahkan dengan cepat meng-iyakan tawaran mereka?"
Karenina menunduk, dadanya terasa sesak, denyut nyeri begitu terasa menyakitkan. Matanya pun mulai berkaca-kaca. Mungkin apa yang dikatakan Farhana itu benar, tetapi sungguh sangat menyakitkan untuk didengar olehnya, terlebih di saat dirinya sudah merasa siap untuk menjalankan apa yang menjadi harapan Mutia.
Karenina sudah tidak lagi merasa harus menunggu Wafi mencintainya seperti yang pernah dia harapkan sebelum dirinya banyak berbicara dengan Mutia. Melihat kegigihan dan keikhlasan kakak madunya itu dia sudah bisa berdamai dengan hati dan berniat untuk benar-benar ikhlas berhijrah untuk menebus semua dosa yang pernah dia lakukan di masa lampau.
Namun, saat mendengar ucapan Farhana, hati dan semangatnya mendadak patah. Patah untuk sebuah semangat jika dirinya pun bisa menjadi perempuan salihah yang seutuhnya. Semangatnya kembali setipis kulit ari, karena memang selama ini dirinya selalu berpikir jika keluarga besar Wafi sudah sangat bisa memahami dan menerimanya meski dia tahu Farhana masih tidak percaya padanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menikahi Luka (Sudah Tersedia Terbit E-booknya)
General FictionDiusir dari rumah oleh ibu tiri saat papanya baru meninggal tepat empat puluh hari adalah awal dari derita Karenina. Kehidupan yang serba berkecukupan harus dia lepaskan begitu saja. Kehilangan limpahan kasih sayang sang papa dan harus keluar lepas...