Menikahi Luka 9

2.1K 142 4
                                    

Berulangkali Wafi beristighfar tak habis pikir dengan permintaan Mutia. Berpoligami bukan perkara mudah. Ada tanggung jawab besar yang harus diemban.

Bukan hanya soal adil, tetapi bagaimana menyikapi reaksi masyarakat yang masih awam soal ini. Lagipula, sependek yang dia ketahui, tidak satu orang tua pun yang rela anaknya menjadi yang kedua. Meski pada akhirnya ada, itu pun tentu melalui perbicangan dan pemikiran yang alot.

"Mutia, ada banyak hal yang bisa membuat rumah ini menjadi ramai, kita bisa mengangkat anak, kita bisa membawa anak Kak Sofia, Kak Farhana ... mereka itu juga anak-anak kita, Sayang."

Perempuan berkulit sawo matang itu mencebik. Mungkin benar apa yang diucapkan suaminya, tetapi bukan itu yang dia inginkan. Dia ingin suaminya memiliki keturunan yang berasal dari darah dagingnya, dan bukan anak orang lain. Mutia merasa dia sudah tidak lagi memiliki kesempatan untuk itu.

Disadari atau tidak, beberapa kesempatan dia melihat gesture Wafi  menunjukkan betapa suaminya itu mendambakan seseorang anak darah dagingnya sendiri. Tentu saja hal itu membuat hati kecil Mutia terusik.

Perempuan yang memiliki dagu belah itu sudah demikian lama mempertimbangkan usulan itu meski kedua orang tuanya menentang. Namun, Mutia tak ingin menjadi egois hanya karena dirinya tak ingin diduakan.

"Ini bukan bicara soal diduakan, mendua, atau apa, Mi. Ini bicara soal keturunan yang kelak akan meneruskan perjuangan Mas Wafi di jalan dakwah," ungkap Mutia kala menyampaikan keinginannya pada umi dan abahnya.

"Lagipula, Mutia memang rasanya nggak mungkin bisa memiliki anak yang lahir dari rahim Mutia, Mi."

Tak ada jawaban dari keduanya saat itu. Akan tetapi, mereka meminta agar Wafi berpikir kembali untuk mempertimbangkan hal itu. Karena menurut  Burhan, abah Mutia, putrinya itu bukan tidak bisa, tetapi memang agak sulit, jadi ada kemungkinan meski kecil. "Bertawakal kepada Allah serta terus berusaha." Demikian pesan Burhan saat mereka berdua bertemu.

Namun, kini Mutia seperti tak jemu meminta hal yang sama meski Wafi menolak dengan berbagai alasan yang tentu saja bisa membesarkan hati sang istri.

"Mutia dengar!" Wafi menangkup wajah sang istri dengan kedua telapak tangannya. "Aku tahu apa yang kamu maksud, tapi jujur aku nggak berani melakukan itu meski kamu rida."

Air mata Mutia menggenang. Memiliki suami seperti Wafi adalah idaman setiap perempuan. Suaminya itu memiliki hati lembut dan sangat pemaaf. Sepuluh tahun bersama, tak pernah sedikit pun. Wafi menaikkan intonasi suara meski sedang kesal padanya.

Wafi juga selalu memberi support atas apa pun hal positif yang dia kerjakan. Meski sejujurnya dia juga tak ingin membiarkan sang suami berpoligami, tetapi ada alasan kuat baginya untuk melanjutkan apa yang sudah menjadi keinginannya.

"Tidak ada perintah Allah yang tidak baik, Mas Wafi," ucapnya dengan wajah memohon. "Allah memang tidak memaksa, tetapi Allah memberikan keleluasaan dan pilihan," imbuhnya tegas.

"Tapi aku nggak bisa, Sayang."

"Jalan dakwah masih panjang, dan Mas pasti ingin perjuangan Mas tidak berhenti sampai di sini, kan?"

Wafi tak menjawab, perlahan melepas tangannya dari wajah sang istri. Sekeras itu tekat Mutia, dan dirinya hanya bisa diam jika sang istri menyinggung tentang perjuangan dalam dakwah.

"Aku punya banyak penerus, Mutia. Para santri, keponakan ... mereka itu semua adalah penerus-penerusku." Wafi kemudian bersandar di bahu sofa.

"Tapi mereka tidak menyandang namamu di belakang nama mereka, Mas," timpalnya. "Mereka menyandang nama ayah-ayah mereka."

Wafi memindai paras sang istri. Mutiara Salsabila, demikian nama indah yang diberikan mertuanya itu pada putri mereka yang kini telah menemaninya hidup hingga sepuluh tahun.

Perempuan yang manis dan penyabar meski terkadang manja itu kini menjelma menjadi perempuan teguh dengan apa yang dia inginkan. Kerasa kepala jika berhubungan dengan prinsip hidup itulah satu dari sekian banyak alasan kagumnya dia pada sang istri.

"Apa kamu yakin dengan apa yang kamu ucapkan itu?" tanya Wafi menggoda.

"Setelah seringkali aku meminta dengan hal yang serupa, tapi Mas masih mempertanyakan hal itu?" Dia balik bertanya dengan bibir mengerucut.

Melihat ekspresi sang istri, dia tertawa kecil kemudian mengusap puncak kepala Mutia.

"Masyaallah, Istri Salihah ... makin cantik kalau lagi ngambek begini," godanya sembari mencubit pipi Mutia.

"Mas Wafi," rajuknya manja kemudian bersandar di dada sang suami. "Ya, Mas. Please ... aku juga pengin menggendong anakmu, meski bukan lahir dari rahimku. Mau ya, Mas? Bisa ya?"

Wafi merangkul istrinya, sambil menarik napas dalam-dalam.

"Kamu nggak kasihan sama suamimu ini, heum?" Wafi memiringkan kepalanya menelisik paras Mutia.

Mutia mengangkat wajahnya menatap sang suami.

"Kasihan? Kasihan kenapa?"

"Sayang, kamu pasti sudah tahu apa yang akan suamimu ini alami jika ternyata aku tidak bisa adil kelak jika berpoligami?"

Mutia menarik napas dalam-dalam.

"'Barang siapa yang memiliki dua orang istri lalu dia lebih cenderung kepada salah seorang di antara keduanya, maka dia akan datang pada hari kiamat kelak dengan sebelah tubuhnya miring,' kamu pasti sudah tahu, kan?"

Perempuan berjilbab abu-abu itu tersenyum tipis, dia mengusap lembut pipi sang suami. Sembari menggeleng dia berkata, "Aku yang mengusulkan ini, itu artinya aku sudah siap dan ikhlas dengan apa pun yang akan terjadi ke depannya. Bahkan saat Mas mungkin harus berlama-lama di tempat istri Mas yang baru. Insyaallah aku siap dan ikhlas, Mas."

Di saat banyak pria berkeinginan untuk mendua, tetapi memiliki banyak halangan, tidak demikian dengan Wafi. Pria berkulit putih dengan hidung mancung dan alis tebal itu bahkan justru tak ingin membagi hatinya untuk perempuan lain meski istrinya telah membuka lebar pintu untuk berpoligami.

Meskipun alasan keturunan yang sebenarnya bisa saja dia gunakan, tetap saja tidak menggugah hatinya untuk mengabulkan permohonan sang istri.

"Aku akan carikan perempuan yang bersedia menjadi istrimu sekaligus adikku kalau Mas nggak mau mencari sendiri!"

"Mutia, please, berhenti bicara soal ini," punya Wafi. "Aku sudah bilang kalau aku nggak bisa, Sayang."

"Kenapa nggak bisa, Mas? Mas normal, semua nggak ada masalah. Mas berhak mendapatkan keturunan yang kelak akan meneruskan perjuangan Mas. Mas berhak bahagia, Mas."

"Apa kamu pikir aku nggak bahagia sekarang, Mutia? Apa kamu pikir kebahagiaanku itu saat ada anak? Nggak, Mutia. Enggak! Aku bersamamu, memilikimu, itu sudah menjadi suatu kebahagiaan yang luar biasa, tolong mengertilah." Wafi memijit pelipisnya sembari menggeleng.

"Maafkan aku kalau terlalu keras berbicara padamu barusan," ujarnya lirih kemudian menggenggam jemari tangan sang istri. "Maafkan aku, Sayang." Dia kemudian memeluk Mutia.

"Mas, aku tahu ini berat, tapi tolong pikirkan hal lain. Hal lain yang lebih penting dari sekadar mendua. Sudah beberapa kali aku bilang kalau aku ikhlas. Ikhlas, Mas," tutur Mutia sembari mengusap air matanya.

"Kebahagiaan seorang suami adalah saat dia bisa mendapatkan keturunan dari istrinya, dan ketika aku tahu itu jauh dari mungkin terjadi padaku ... aku memberikan jalan yang halal untuk Mas. Bukan untuk semata kepuasan duniawi, tetapi ada catatan lain yang harus digarisbawahi, Mas. Mas bisa mengerti, kan?"

Tidak ada yang salah dari setiap apa yang diucapkan oleh istrinya. Dia pun ingin memiliki seorang anak, tetapi tentu anak yang lahir dari rahim Mutia. Akan tetapi, Allah memiliki skenario untuknya yang dia masih belum tahu apa.

"Sayang, apa kamu bahagia kalau aku setuju dengan usulan itu?"

Seulas senyum manis tercetak di bibir istrinya. Mutia mengangguk antusias sembari membulatkan matanya.

"Oke, tapi aku nggak mau mencari. Semuanya aku serahkan padamu. Karena ini yang kamu inginkan, jadi aku ikuti saja apa yang menjadi harapanmu."

**

Menikahi Luka (Sudah Tersedia Terbit E-booknya)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang