"Maaf, Mbak Nina, beberapa waktu lalu saya menemukan obat-obatan ini saat membersihkan kamar Mbak Nina." Bu Joko menyodorkan obat yang dia maksud ke Karenina.
"Ya Allah, Bu Joko kenapa baru bilang ke saya?"
"Waktu itu saya mau bilang, tapi tidak jadi karena Mas Wafi keburu datang," jelasnya.
Karenina menarik napas dalam-dalam lalu memasukkan ke kantong gamisnya.
"Mbak Nina."
"Iya, Bu?"
"Saya minta maaf.
"Minta maaf? Untuk apa?"
"Saya tidak sengaja mendengar obrolan Mbak Nina dengan Mbak Hana waktu itu."
Karenina sontak menautkan alisnya menelisik Bu Joko.
"Obrolan? Obrolan yang mana?"
"Tentang obat itu, Mbak. Maafkan saya, tapi saya sama sekali tidak bermaksud untuk mencuri dengar, tapi ...."
"Nggak apa-apa, Bu. ibu nggak salah, tapi saya minta ibu rahasiakan hal itu ya, Bu," potongnya.
"Saya nggak mau Mas Wafi tahu soal ini," imbuhnya.
"Kenapa, Mbak? Bukannya Mas Wafi berhak untuk tahu?"
Dia bergeming, apa yang diucapkan Bu Joko tidak salah. Wafi akan tahu, tapi tentu tidak untuk saat ini.
"Tidak sekarang, Bu. Saya nggak mau ketenangan ini berubah. Saya hanya ingin keluarga Mas Wafi tidak kacau dengan adanya saya," dalihnya.
"Maaf sekali lagi, Mbak, tapi apa yang dilakukan Mbak Hana itu keterlaluan, Mbak."
Dia tak menyahut. Karenina hanya menarik singkat bibirnya kalau kembali ke sketsa desain gamis yang dia buat.
**
Wafi diam mendengar penuturan mertuanya. Sesekali dia tampak mengangguk dan sesekali dia menarik napas dalam-dalam.
Seperti yang direncanakan. Sore itu meski mendung dan sedikit gerimis, Malihah tetap datang dan mengungkapkan apa yang dia ingin sampaikan.
"Umi rasa kamu juga nggak mau jika terjadi sesuatu pada Mutia, 'kan?" Malihah menelisik menantunya.
"Iya, Mi. Tentu saja Wafi tidak ingin Mutia kenapa-kenapa."
"Syukurlah, jadi permintaan Umi untuk sementara tidak tinggal di rumah Nina tidak berlebihan, 'kan?"
Kedua tangan Wafi bertumpu di pahanya. Wajah pria berkulit bersih itu terlihat gamang sekaligus gusar. Tidak biasanya Malihah datang dengan tujuan yang sama sekali tidak pernah dia duga.
Sejenak dia menoleh ke Mutia yang duduk di sebelah Malihah. Istrinya itu sejak tadi memilih bungkam.
"Umi, Nina adalah istri Wafi, dia berhak mendapatkan apa yang seharusnya dia dapat termasuk giliran mendatanginya. Wafi tidak mau berjalan berat sebelah."
"Wafi rasa Mutia paham soal ini," imbuhnya.
"Mutia, bukankah jauh sebelum aku menikah dengan Nina sudah kuingatkan soal ini?" Tatapan Wafi sedikit menusuk kepada Mutia. "Tapi kamu memaksa dengan ribuan alasan sehingga aku menyerah."
Wafi menarik napas dalam-dalam. "Apakah kamu yang meminta seperti itu, Mutia? Kamu tega melihat suamimu berjalan pincang di akhirat nanti?"
Mutia menggeleng cepat, "Bukan itu yang aku maksud, Mas. Aku sudah memberi solusi untuk itu kemarin, 'kan? Tapi Mas sepertinya keberatan mengabulkan permintaan itu."
"Mas dengar, 'kan, apa kata dokter kemarin waktu kita periksa? Mas pasti masih ingat jika sebaiknya aku ada yang menemani saat Mas tidak di rumah kalau malam hari?" Mata Mutia mulai berkaca-kaca. "Aku ingin merasa nyaman, Mas. Dan aku nyaman saat ada Mas di sampingku di saat-saat seperti ini."
KAMU SEDANG MEMBACA
Menikahi Luka (Sudah Tersedia Terbit E-booknya)
Ficción GeneralDiusir dari rumah oleh ibu tiri saat papanya baru meninggal tepat empat puluh hari adalah awal dari derita Karenina. Kehidupan yang serba berkecukupan harus dia lepaskan begitu saja. Kehilangan limpahan kasih sayang sang papa dan harus keluar lepas...