Menikahi Luka 26

1.8K 174 17
                                    



Lebaran kali ini berbeda dari sebelumnya. Karenina merasa utuh menjadi seorang perempuan meski dalam kondisi tidak pada umumnya.

 Ada suka cita yang membalut gulana di nurani yang sekuat tenaga dia sembunyikan. Menjabat tangan sang suami dan mengucapkan kalimat taqabbalallahu minna wa minkum adalah hal yang paling indah pagi itu. Bagaimana tidak, setelah rentang panjang luka yang dia alami, kini dirinya merasa nyaman bersama pria yang bisa melindunginya. 

"Maafkan jika saya pernah membuat Mas Wafi tidak nyaman atau kesal," tuturnya lirih.

Mengusap puncak kepala istrinya, Wafi menggeleng dengan bibir melebar.

"Tidak ada satu pun perbuatanmu yang membuatku kesal atau tidak nyaman, Aisyah. Justru aku yang mungkin belum bisa menjadi suami seperti yang seharusnya. Maafkan aku untuk itu," ucapnya.

Karenina memberanikan diri menatap paras sang suami. Mata teduh Wafi mampu menariknya pada suatu tempat yang tak bisa dia katakan. Tutur kata yang lembut dan perhatian yang luar biasa tak sanggup baginya untuk menolak rasa jika dia sudah mulai jatuh cinta.

Bicara soal cinta, dia memang akan datang begitu saja mengikuti hari. Kini Karenina merasakan itu meski dia cukup tahu jika hati pria di sampingnya itu sangat dalam mencintai Mutia, sedangkan dia hanya perempuan yang diharapkan bisa melahirkan keturunannya kelak meski takdir bicara lain.

"Kita ke rumah Umi sekarang? Kebetulan Mutia juga sudah ada di sana sejak semalam. Aku dan Mbak Hana mengantarnya semalam." Ucapan Wafi membuyarkan lamunannya.

Sadar jika hari indah ini bukan hanya miliknya, tanpa berkata apa-apa, dia mengangguk lalu bangkit.

"Mau ke mana?" tanya Wafi menahan tangannya.

"Siap-siap, kan Mas bilang kita harus segera ke Umi. Saya sudah bikin risol mayo kesukaan Mbak Mutia juga puding buah dan kue kering untuk Umi, semoga Umi suka," jawabnya.

Ada rasa sedih yang tak bisa ditahan sebenarnya jika Karenina boleh jujur. Akan tetapi, semuanya dia lipat rapi berharap tak ada seorang pun tahu tentang gundahnya.

Wafi tersenyum. "Terima kasih, Aisyah. Terima kasih sudah begitu baik dan begitu sabar," tuturnya.

Ucapan sang suami mampu menghangatkan hatinya. Bukan dia yang sabar, tetapi Allah yang mengajarkan bagaimana untuk sabar. Bukan dia yang baik, tetapi Allah sudah mengirimkan keluarga besar sang suami untuk bisa lapang dada menerima semua kurangnya. Jika sudah begini, apa lagi yang bisa dia lakukan selain menjalani takdir yang Allah pilihkan untuknya?

"Mas tidak perlu berterima kasih pada saya, Mas. Ini semua terjadi karena keluarga Mas yang Allah kirim untuk saya sudah begitu berbesar hati menerima seorang Karenina Aisyah. Jadi ... jika harus berterima kasih, sayalah yang seharusnya mengucapkan itu," ungkapnya.

Wafi lalu bangkit kalau memeluk perempuan semampai di depannya. Dia seperti sedang ingin menumpahkan segala kegembiraan yang dia dapat setelah tahu jika Mutia hamil. 

"Aku tidak tahu apa rencana Allah untuk aku, Mutia dan kamu, Aisyah. Tapi satu hal yang ingin aku katakan, bahwa aku sangat bersyukur memiliki pendamping seperti kalian," bisiknya kalau menyematkan kecupan manis di dahi istrinya.

**

Disambut hangat oleh keluarga besar sang suami, dia terlebih dahulu menyalami dengan btakzin mertuanya, setelah itu Farhana dan dilanjutkan dengan Sofia baru dia mendatangi Mutia yang bersandar di sofa yang tak jauh dari kedua kakak iparnya duduk.

Dengan wajah gembira, dia mengungkapkan betapa bahagia mendengar dan mengetahui jika Mutia hamil. 

"Kebahagiaan ini sangat dirasakan oleh semua keluarga, Mbak. Saya benar-benar bahagia. Barakallah ya, Mbak Mutia," ungkapnya kembali memeluk perempuan hitam manis itu.

Mutia mengangguk mengucapkan terima kasih. Dia lalu menerima risol buatan adik madunya. Saat semuanya bersuka cita, Karenina memilih ke dapur untuk menyiapkan hidangan makan seluruh keluarga. Tak mengapa baginya berada di ruang belakang, karena kebahagiaan Mutia memang sudah lama dirindukan, dan sudah sepantasnya dirayu oleh keluarga Umi Hadijah. 

Karena menurut yang dia dengar dari Nida, jika nanti akan datang mertua Wafi ke kediaman mereka.

**

Sentuhan lembut di bahu membuatnya menoleh. Sang mertua sudah berada di belakangnya sedang tersenyum.

"Kenapa di dapur? Kami semua menunggumu makan bersama di ruang makan. Sekaligus bertemu dengan keluarga Mutia," tuturnya.

Andai boleh memilih, tentu saja dia akan memilih di tempat ini saja. Di halaman belakang bersama khadimat Hadijah, Bu Yani. Dia merasa tidak enak hati jika harus berada di tengah-tengah keluarga yang benar-benar jauh berbeda dengan dirinya.

"Maaf, Umi, tapi ...."

"Umi tahu apa yang kamu pikirkan. Kamu tahu, Nina? Di keluarga ini tidak pernah ada sekat apa pun. Kamu adalah menantu Umi, dan kamu juga punya hak yang sama dengan Mutia juga anak-anak Umi yang lain," jelasnya. "Ayo kita ke ruang makan sekarang!"

"Bu Yani, saya tinggal ya."

"Iya, Mbak. Ini adalah pekerjaan saya sama Nduk Aini. Mbak nggak usah repot-repot di dapur."

Hadijah tersenyum dan mengucap terima kasih pada khadimatnya yang juga ibu dari Aini. Mereka berdua kalau melangkah menuju tempat di mana seluruh keluarga besar Wafi dan kedua orang tua Mutia berkumpul.

Membungkuk hormat, dia mendekat dan menjabat tangan Malihah, ibu dari Mutia. Tampak perempuan yang mengenakan khimar serupa dengan semua yang hadir di situ melihat tanpa menyungging senyum. 

"Assalamualaikum, Ustaz Burhan," sapanya ramah dengan mengatupkan kedua tangannya di dada.

Abi dari Mutia itu menjawab salam dan mengangguk.

"Kamu duduk di sini, di dekat Umi," bisik Hadijah yang kemudian di balas anggukan.

Sementara sekilas dia melihat Farhana menatapnya dengan penuh selidik. Kakak iparnya itu duduk bersebelahan dengan Wafi, tepatnya di sebelah kanan, sementara Mutia duduk di sebelah kiri suaminya.

"Kita bisa mulai makan bersama, silakan Ustaz Burhan." Hadijah mempersilakan.

Suasana akrab tercipta saat mereka semua menikmati hidangan istimewa di hari istimewa itu. Tampak Mutia bermanja dengan Wafi. Sesekali pria itu memberikan suapan kepada istrinya. Sementara yang lainnya ikut berbahagia melihat interaksi keduanya. 

Pun demikian dengan Karenina, dia tampak mencoba mengabaikan perasaan tak nyaman di tempat itu. Akan tetapi, tidak dengan Hadijah. Perempuan paruh baya yang bertubuh sedikit subur itu terlihat seperti ingin mengakhiri adegan putranya yang tengah memanjakan istri pertamanya.

"Ehm, Nina," panggilnya saat baru saja selesai menghabiskan minumannya.

"Iya, Umi?"

"Bisa ambilkan Umi puding buah buatanmu di kulkas?"

"Bisa, Umi. Sebentar ya, Nina ambilkan." 

"Mau ke mana, Nin?" sapa Hana saat melihatnya bangkit.

"Nina mau mengambilkan Umi puding buah yang tadi dia bawa." Hadijah menjawab pertanyaan putrinya.

"Biar Hana yang ambil, Umi. Ini adalah hari pertama Karenina berlebaran bersama kita semua, jadi biarkan dia duduk, Umi. Hana yang akan mengambilkan pudingnya." Hana berkata dengan mata menelisik ke arah Karenina.

"Hana, terima kasih, tapi Umi mau menantu Umi yang mengambilkan untuk Umi. Kamu nggak apa-apa, kan, Nina?" Hadijah menoleh ke samping.

"Nggak apa-apa, Umi. Saya ke dapur dulu ya."

Hadijah tersenyum sembari mengangguk. Sementara Wafi seolah sudah larut dalam kegembiraan karena Allah telah menjawab doa-doanya, sehingga dia seperti lupa jika ada satu hati lagi yang seharusnya dia jaga.

Tak lama setelah Karenina ke dapur, Hadijah bangkit mengatakan jika dirinya hendak ke kamar mandi.

"Sebentar, saya mau ke kamar mandi dulu," pamitnya pada Malihah.

Ibu dari Mutia itu mengangguk ramah.

**

Menikahi Luka (Sudah Tersedia Terbit E-booknya)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang