Menikahi Luka 11

2K 183 15
                                    

Karenina merapikan khimarnya kemudian bersiap ke kediaman Sofia, tetapi sebelumnya dia harus menjemput Nida di sekolahnya.

Mengingat kesibukannya akhir-akhir ini, perlahan dia bisa melupakan masa lalu dan semua dendamnya. Semakin mengenal agama, semakin dia merasa tidak ada gunanya memupuk dendam hingga berniat untuk membalas. Meski sebagai manusia, terkadang muncul kembali keinginan itu, tetapi segera dia kembalikan kepada Allah, karena hanya Dia-lah sebaik-baik penghukum.

Karenina menarik napas dalam-dalam, semua tausiyah yang dia dengar dari Umi Hadijah benar-benar telah merasuk ke jiwanya. Kadangkala ingin dia mengajak Sheila untuk sekali waktu ikut duduk bersama dalam satu majelis pengajian bersamanya.

Namun, tentu saja untuk saat ini impiannya itu jauh dari kata mungkin. Karena terakhir kabar yang dia dengar, jika rekannya itu sudah mendapatkan Bram seutuhnya. Itu artinya, Bram sudah bercerai dengan istrinya.

Memakai gamis tosca senada dengan khimarnya, Karenina terlihat anggun. Setelah mengunci pintu, dia mengayun langkah menuju pagar, tepat saat teriakan Nida terdengar dari dalam mobil yang berhenti tepat di depan rumahnya.

"Kak Nina!" Wajah bocah itu muncul dari jendela mobil.

"Nida? Kok udah pulang? Barusan Kak Nina mau jemput." Dia bertanya dengan mata menyipit.

"Iya, Kak. Kata Ibu, tadi Ibu telepon Kak Nina, tapi nggak diangkat. Ibu bilang, Kak Nina nggak usah jemput, karena Nida dijemput Om Wafi sama Eyang putri," paparnya dengan wajah gembira.

Tak lama pintu mobil di depan, terbuka. Eyang putri dari Nida itu muncul. Senyum hangatnya menyapa Karenina. Gegas dia menghampiri dan mencium punggung tangan Hadijah. Perempuan yang sekira berusia hampir kepala enam itu sudah begitu dekat dengannya. Dia pun merasa sangat nyaman bercerita apa pun pada ustazah yang sangat disegani itu.

"Maafkan Umi kalau tadi nggak ngabarin kamu, kalau Umi sudah jemput Nida."

"Nggak apa-apa, Umi. Kebetulan juga ponsel saya sedang di-charge karena kehabisan baterai," tuturnya.

"Ya sudah kalau begitu ayo langsung saja ke rumah Nida!" ajak Hadijah. "Ayo sama Umi. Kita jalan aja," imbuhnya.

"Umi, kenapa Umi jalan? Umi bareng sama Nida aja, saya menyusul nanti," ujarnya merasa tak enak hati jika berjalan bersama perempuan yang sangat dia hormati itu.

Tersenyum bijak, Hadijah menggeleng.

"Umi masih kita jalan, kok. Lagian rumah Sofia hanya selisih tiga rumah dari sini. Ayo!"

Karenina gak lagi bisa membantah, dia mengangguk sopan kemudian tersenyum.

"Wafi, kamu sama Nida langsung aja ke rumah Mbak Sofia. Umi bareng sama Nina aja."

Wafi mengangguk, lalu tak lama mobil berwarna putih itu perlahan meninggalkan mereka.

Wafi melirik Nida yang melambaikan tangan sembari menyebut nama Karenina. Pria itu teringat ucapan uminya jika Nida-lah yang mengenalkan Nina pada hijrah.

Nida bukan anak yang mudah dekat dengan siapa saja. Anak dari Sofia kakaknya ini sangat pemilih jika hendak bercerita atau bermain dengan siapa pun. Bahkan meski sudah lama kenal dengan Mutia, tetapi Nida tidak sedekat seperti dengan perempuan yang biasa dipanggilnya dengan Kak Nina itu.

"Ehm, Nida."

"Ya, Om?"

"Udah sampai nih! Nanti juga ketemu lagi sama Kakak itu," tutur pria yang memiliki jenggot tipis di dagunya itu.

Bisa tersenyum lebar, dia kemudian mengemas tas sekolahnya lalu bersiap membuka pintu mobil.

"Nida."

"Kenapa, Om?"

Sejenak kembali Wafi ingat ucapan uminya jika sang istri pun menaruh rasa kagum pada Karenina.

"Om? Kok malah bengong?" protes Nida.

"Nida hari ini setor hapalan ke Om atau ke eyang?" tanyanya. "Nida ini lagi lomba cepet-cepetan sama Kak Nina, Om! Tapi kayaknya Kak Nina udah hampir sama hapalannya sama Nida, Om!" imbuhnya terdengar kesal.

"Kata Ibu, Nida keseringan main, jadi kebalap deh sama Kak Nina," celotehnya tanpa memedulikan Wafi yang tampak masih mengingat-ingat ucapan uminya.

"Om! Bengong lagi, kan?" Kali ini Nida menepuk bahu Wafi tepat saat Hadijah dan Nina sudah memasuki pagar rumah Sofia.

"Eh iya. Kita turun ayo!" Wafi mengusap wajahnya lalu melepas selt belt-nya.

Melihat Wafi tidak menanggapi ceritanya sejak tadi, Nida merasa kesal. Dengan bibir mencebik dia berkata, "Nggak! Nida nggak mau turun!"

Wafi mengurungkan membuka pintu, pria itu berbalik menatap keponakannya.

"Loh kenapa? Sebentar lagi ayahnya Nida sampai loh. Nggak pengin menyambut Ayah nih?" tanyanya mencoba membujuk.

"Nanti keduluan Abang Fahmi loh," imbuhnya.

"Ck! Om sih nggak jawab pertanyaan Nida! Om nggak denger apa tadi Nida bilang apa?" Suara Nida terdengar kesal.

Kening Wafi mengernyit.

"Emang tadi Nida tanya apa ke Om?"

"Tuh, kan! Nida kesel sama Om!" Bocah kecil itu terburu-buru membuka pintu dan langsung berlari menuju rumah meninggalkan Wafi yang masih terheran-heran dengan ucapan Nida.

"Emang tadi Nida tanya apa ya?" gumamnya sembari turun dari mobil.

Pria itu berjalan sembari mengingat penuturan keponakannya.

"Astaghfirullah," ujarnya sembari menepuk dahi. Wafi baru ingat jika Nida bercerita dan menanyakan soal hapalannya tadi.

Tertawa kecil dia mempercepat langkah masuk ke kediaman kakak keduanya itu. Rumah Sofia masih sepi, hanya ada beberapa akhwat yang duduk di teras. Mereka terlihat tengah sama-sama menghapal. Wafi menunduk masuk, langkahnya terhenti saat mendengar suara seseorang yang tengah melantunkan merdu juz sembilan. Juz yang diawali pada surah Al-A'raf ayat 88 itu terdengar sangat indah tanpa cela di telinganya.

Merasa ingin tahu lebih, dia perlahan mendekat ke ruang yang biasa dijadikan Musala di rumah Sofia itu. Ayat demi ayat terdengar begitu lancar dilafalkan oleh seseorang di ruangan itu. Dia melihat uminya tengah fokus menyimak hapalan perempuan bergamis tosca itu. Sementara di sampingnya tampak Nida juga tengah memerhatikan dengan serius.

Wafi tersenyum tipis, tetapi kakinya seperti membeku dan enggan beranjak hingga tanpa disadari Sofia dan sang suami telah berada di belakangnya.

"Lagi merhatiin siapa, Waf?" bisik Sofia sembari menepuk pelan bahu adiknya.

Sontak wafi menoleh lalu membalikkan badan.

"Masyaallah, Mas Ibnu, sehat, Mas?" tanyanya menyalami kakak iparnya.

Kedua pria itu berpelukan sambil mengucap syukur.

"Baik, alhamdulilah, Waf. Kita bicara di sana aja, jangan ganggu mereka," bisik suami Sofia yang ditanggapi anggukan oleh Wafi.

Sementara Sofia yang masih penasaran ikut mengekor kedua pria di depannya.

"Jadi kamu tadi lagi merhatiin Umi, Nida atau Nina, Waf?" goda Sofia yang tahu rencana Umi dan Mutia pada adiknya itu.

"Apa sih, Mbak? Wafi di situ ...."

"Penasaran ya?" sela Sofia seperti tak lelah menggoda.

Seperti biasa, jika sudah seperti itu, Wafi hanya menggeleng kalau mengedikkan bahu.

"Sudahlah, terserah Mbak aja. Eum ... Mas Ibnu, coba cerita gimana di sana." Dia lalu menoleh ke ayah dari Fahmi dan Nida itu.

Ibnu yang meski jauh, tetapi tidak pernah ketinggalan apa pun kabar tentang keluarganya termasuk rencana untuk mengenalkan Wafi dengan Karenina itu hanya tersenyum tipis.

**

Cek ombak, seberapa banyak yang suka kisah ini?

Menikahi Luka (Sudah Tersedia Terbit E-booknya)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang