Menikahi Luka 30

1.9K 168 8
                                    


Satu pekan bersama sang suami terasa begitu cepat. Terkadang ada saja rasa ingin berlama-lama berada di sisi Wafi. Melayani semua kebutuhannya dan tentu saja melihat senyuman teduhnya. Akan tetapi, tentu saja keinginan itu harus dia singkirkan mengingat dia bukan satu-satunya perempuan yang berhak atas diri sang suami. Terlebih kini ada hal yang harus lebih diutamakan dari dirinya yaitu janin di rahim Mutia.

Meski begitu satu pekan ini adalah waktu yang paling membahagiakan baginya. Karena akhirnya dia bisa menjadi seorang istri yang seutuhnya. Dia bisa memberi dan menerima kebahagiaan batin.

Karenina menarik napas dalam-dalam saat teringat permintaan Mutia malam tadi. Kakak madunya itu bertanya tentang kondisi Wafi melalui WhatsApp.

[Kamu tinggal di rumahku ya, Nin. Aku, 'kan sekarang memang harus bedrest dan sama sekali nggak boleh ke mana-mana, aku butuh teman bicara. Kamu mau ya tinggal di sini?]

[Saya tinggal di rumah Mbak Mutia? Tapi apa Mas Wafi mengizinkan, Mbak?]

[Mas Wafi pasti ngizinin. Nanti biar aku yang bicara ke Mas Wafi. Dia nggak bisa nolak kalau aku yang minta, apalagi ini soal keinginan ibu hamil.]

Suara gemericik air di kamar mandi berhenti tak lama pintu terbuka.

"Mas," panggil Karenina saat Wafi baru saja keluar dari kamar mandi.

Rambut pria itu masih basah menyebabkan beberapa tetes air jatuh ke dada bidangnya. Sejenak Karenina terpukau untuk kemudian mengalihkan pandangannya ke arah lain. Meskipun saat ini antara dia dan suami tak ada lagi yang harus ditutupi, tetapi tetap saja dia tak bisa menghindari rasa hangat di wajahnya saya melihat Wafi bertelanjang dada seperti itu.

"Hmm?" sahutnya dengan mata menyipit karena sang istri justru tak menatapnya.

"Kamu tadi manggil aku, kan?" Wafi mendekat sehingga aroma segar tubuhnya menyapa penciuman Karenina.

"Mas pakai baju dulu ya. Ini bajunya." Dia menyodorkan kurta berwarna cokelat kepada Wafi.

Karenina merasa salah tingkah berada di situasi tersebut meski mereka dalam satu pekan ini sering menyatukan perasaan mereka dalam hubungan indah di setiap malamnya.

"Heii ... kenapa kamu melihat ke arah lain? Apa ada yang salah?" Tangan Wafi mencoba menangkup wajahnya.  "Kenapa malah melihat ke arah jendela?" tanyanya lembut.

"Nggak, Mas. Nggak ada yang salah, tapi ...."

"Tapi apa?"

"Saya malu," sahutnya dengan wajah merona.

Wafi tak bisa menahan tawa mendengar penuturan istrinya. Sekali tarik, Karenina sudah berada dalam dekapannya. Tak peduli seberapa dingin kamar itu dia masih bertelanjang dada mencoba membuat istrinya nyaman.

"Kenapa harus malu? Aku suamimu, dan apa yang ada padaku adalah milikmu," bisiknya di telinga membuat Karenina bergidik geli.

"Ada yang ingin saya bicarakan sebentar, Mas nggak keberatan?"

Tersenyum lebar, Wafi meraih tangan Karenina lalu mengajaknya duduk di sofa kemudian mengenakan kurta yang sudah disediakan.

"Kamu mau bicara apa? Heum?"

"Semalam Mbak Mutia mengirim pesan meminta saya untuk tinggal dan menemani beliau karena merasa bosan jika sendirian di rumah," tuturnya lirih, karena jika boleh jujur hal itu sangat membuatnya merasa tidak nyaman.

Wafi mengernyit mendengar permintaan Mutia.

"Kenapa Mutia tidak mengatakan itu kepadaku?"

"Mbak Mutia bilang akan mengatakan hal ini kepada Mas Wafi juga," terangnya.

Menikahi Luka (Sudah Tersedia Terbit E-booknya)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang