Menikahi Luka 28

1.8K 159 7
                                    

"Wangi banget? Bikin kue apa?" Wafi tiba-tiba muncul memeluknya dari belakang.

"Mbak Mutia kemarin kirim pesan ke aku, dia pengin makan bolu kukus, Mas."

"Oh ya? Kamu bisa?" tanyanya sembari mengecup puncak kepala Karenina.

Masih berada dalam dekapan sang suami, dia mengangguk dengan pipi merona.

"Perdana bikin, sambil baca resep di google. Semoga Mbak Mutia suka," jawabnya membiarkan Wafi menyematkan kecup mesra di pipinya.

"Mas mau nyobain nggak?" tanyanya berusaha membalikkan badan menghadap sang suami.

Pria berpiyama biru gelap itu mengerling nakal sembari bertanya, "Nyobain? Nyobain yang mana nih?"

Sadar suaminya bercanda, Karenina mencubit lengan Wafi sehingga pria itu tergelak.

"Udah berani nyubit ya sekarang?"

"Habis Mas Wafi genit!"

Pria itu memamerkan deretan gigi putihnya, lalu mengusap lembut pipi Sang istri.

"Aku percaya apa pun yang kamu masak pasti enak!"

"Makasih, Mas." Dia lalu menunduk merasa tersanjung mendengar pujian suaminya.

"Tapi ...."

"Tapi apa, Mas?"

"Kalau kamu capek atau merasa tidak bisa atau tidak sanggup untuk membuat makanan yang diinginkan Mutia, sebaiknya kamu bilang. Jangan memaksakan diri. Aku juga nggak mau kamu merasa tertekan karena permintaan Mutia."

Karenina mengangguk. Empat hari semenjak Wafi berada di rumahnya, Empat hari pula Mutia tak berhenti meminta aneka kue dan makanan darinya. Menurut istri pertama Wafi itu, dia tidak bisa makan selain masakan yang dimasak Karenina. Meski terkadang bukan Mutia yang langsung memintanya, terkadang justru Hana yang mengirimkan pesan keinginan Mutia.

Menarik napas dalam-dalam, Karenina menarik kedua sudut bibirnya. Memang tak dipungkiri ada pekerjaannya yang jadi terganggu karena harus memasak aneka ragam keinginan kakak madunya itu.

Namun, Karenina ingin menunjukkan jika dirinya pun berbahagia dengan kehamilan Mutia. Dia juga tak mau membuat Hana kembali datang dan menekannya dengan aneka perkataan yang menyakitkan hati.

"Aisyah? Kamu lelah, kan?" Wafi memegang dagu sang istri dengan jari telunjuk dan ibu jarinya.

Karenina bergeming. Lelah? Mungkin memang dia lelah. Bukan lelah secara fisik, tetapi lebih lelah secara mental. Setiap hari dia selalu berusaha terlihat baik-baik saja. Setiap hari dia harus terlihat gembira dan bersemangat melakukan aktivitas apa pun meski sangat jauh di hatinya ada terselip luka yang selalu menganga dan basah.

Perempuan itu sudah pada tahap menerima apa pun yang terjadi saat ini. Dia mencoba terus menikmati bahagia meski harus bergelut dengan lukanya sendiri. Dia tahu jika Allah tak akan tinggal diam dengan apa pun yang terjadi pada hamba-Nya. Mendekatkan diri kepada Allah adalah jalan paling nyaman yang dia lakukan setiap harinya.

"Aisyah, kalau kamu lelah, kamu bisa tolak permintaan Mutia. Tolong jangan pernah memaksakan diri. Kamu juga istriku, kamu pun berhak mendapatkan apa yang seharusnya kamu dapat. Kamu bukan pesuruh atau asisten bagi siapa pun kecuali aku," ujarnya dengan suara sangat lembut tetapi memiliki makna yang sangat dalam merasuk hingga ke dalam nurani Karenina.

"Saya nggak keberatan kok, Mas. Selama yang diminta bisa saya lakukan, insyaallah pasti akan saya lakukan. Mas jangan khawatir."

Meski masih terbilang baru mengenal Karenina, Wafi kenal betul bagaimana karakteristik perempuan pada umumnya. Terlebih jika menelisik latar belakang sang istri yang tidak mudah.

Tentu saat ini Karenina masih terus berjuang untuk bersikap wajar meski dirinya kini sudah tak lagi memiliki 'kewajiban' seperti pada awal mereka menikah.

"Anak yang ada dalam rahim Mbak Mutia itu anak Mas Wafi. Itu artinya dia juga anak saya meski tidak lahir dari saya. Saya gembira mendengar kabar itu. Jadi saya juga merasa memiliki kewajiban untuk hadir memenuhi apa yang diinginkan ibunya. Begitulah, Mas."

Wafi menarik napas panjang lalu mengusap lembut puncak kepala sang istri.

"Aku tahu apa yang kamu maksud, tapi sekali lagi, aku tidak mau kamu sampai kelelahan. Oke?"

Karenina mengangguk lalu tersenyum saat hidungnya dicubit lembut oleh sang suami.

"Malam nanti selepas Maghrib aku ngisi kajian di Masjid Agung, kamu ikut ya?"

Tak percaya dengan apa yang dia dengar, mata Karenina menyipit menatap suaminya.

"Mas ngajak saya?" tanyanya heran atau lebih tepatnya tidak percaya.

"Iya. Kenapa?" Wafi balik bertanya. "Kamu nggak mau aku ajak ke ...."

"Bukan, bukan begitu, Mas, tapi ...." Karenina menggantung kalimatnya. Sejujurnya dia begitu terkejut mendengar Wafi mengajak ke kajian yang dirinya sebagai pembicara.

Semenjak mereka menikah, baru kali ini sang suami mengajaknya hadir di forum kajian yang berada di luar masjid pesantren.

Bukan dia tak mau, tetapi dirinya merasa mau dan tidak percaya diri berada di tengah-tengah jamaah suaminya. Karenina merasa belum pantas dan dipenuhi kekhawatiran jika harus membaur dengan banyak orang.

Ucapan Hana ternyata sudah benar-benar menjadi sebuah perenungan yang tiada henti baginya.

"Tapi kenapa, Aisyah?" tanyanya sembari menyelipkan rambut sang istri ke belakang telinga.

"Apa Mas yakin?" Suaranya terdengar lirih.

Kini giliran mata Wafi yang menyipit mendengar pertanyaan istrinya.

"Yakin? Tentu saja aku yakin." Meraih tangan sang istri, Wafi mengajaknya duduk di sofa yang berada di ruang tengah. "Kamu kenapa, Aisyah? Aku perhatikan kamu jadi sering melamun? Bicara padaku, apa yang sedang kamu sembunyikan," tutur Wafi dengan suara lembut.

"Nggak, Mas. Nggak ada yang saya sembunyikan. Kan sudah saya bilang kalau saya tidak sedang menyembunyikan apa-apa," sahutnya dengan senyum.

"Lalu, kenapa sering melamun? Pertanyaanku yang tadi juga belum kamu jawab?"

Menarik napas dalam-dalam, Karenina memposisikan dirinya menghadap ke sang suami.

"Mas, saya bahagia Mas ngajak saya ke pengajian, tapi ada kekhawatiran kalau orang lain tahu siapa saya, apa yang terbesit di kepala mereka jika mereka tahu, kalau saya ...."

"Kenapa? Ada yang salah dengan kamu?"

"Latar belakang saya yang tidak semua orang bisa terima, saya nggak mau Mas jadi bulan-bulanan orang lain," dalihnya dengan mata berkaca-kaca.

"Sstt ... aku yang menikah denganmu saja tidak pernah mempermasalahkan itu, bahkan Umi sendiri yang pertama kali memilihmu, jadi buat apa dipikirkan ucapan atau pandangan orang lain terhadapmu?" Wajah dan ucapan Wafi yang teduh itu selalu mampu membuat dirinya kembali merasa nyaman.

"Aisyah, kamu juga istriku, aku akan mengenalkan kamu seperti aku mengenalkan Mutia pada orang banyak." Pria itu merengkuh tubuh Karenina lalu menenggelamkan ke dadanya.

"Aku tahu dan bisa merasakan kegalauanmu, tapi sekarang sudah ada aku. Aku yang akan menjadi pelindungmu dari siapa pun yang akan membuatmu terluka. Itu tugas suami, kan?"

Kalimat Wafi benar-benar membuatnya tak mampu menahan air mata. Di dada sang suami, ditumpahkannya semua beban berat itu.

Karenina menangis terharu dengan sikap lemah lembut suaminya. Untuk sementara dia melupakan ucapan Hana. Setidaknya membiarkan rasa nyaman itu untuk saat ini.

**

Menikahi Luka (Sudah Tersedia Terbit E-booknya)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang