Duduk di bibir ranjang, Karenina tersenyum lebar mendengar cerita yang meluncur dari bibir Mutia. Perempuan itu banyak bercerita soal kegiatannya yang banyak terbengkalai belakangan ini karena dokter mengharuskan di istirahat total.
"Kamu lihat, 'kan, Nin? Pipiku sudah mulai tembam?" tanyanya sembari mengusap pipi.
"Mbak makin cantik, kok! Kata orang kalau ibu hamil makin cantik itu bisa jdi anaknya perempuan, loh!"
Mutia tertawa kecil kemudian mengusap perutnya yang masih rata.
"Aku nggak menyangka Allah mengabulkan permintaan kami yang telah begitu lama dan tak pernah lelah kulangitkan," ungkapnya menatap Karenina. "Penantian panjang yang sudah membuatku putus asa itu terjawab justru saat aku telah ikhlas merelakan Mas Wafi untukmu."
Sejenak kamar itu hening. Ucapan Mutia memang tidak ada yang salah, tetapi kalimat itu sedikit mengusik hatinya. Andai Allah memberi amanah itu sebelum Wafi menikahinya, mungkin kini dia masih sendiri. Sudah barang tentu Mutia tidak akan pernah merelakan suaminya menikah lagi.
"Ada banyak hal yang bisa kupetik dari semua ini, bahwa keikhlasan dan kepasrahan adalah kunci dari sebuah usaha dan doa." Mutia kembali membuka percakapan.
Bibirnya terus menyungging senyum dengan tangan tak lepas dari perut.
"Kelak anak ini akan menjadi penerus perjuangan almarhum kakeknya. Bersama abinya dia akan menjadi seseorang yang bisa meninggikan derajat keluarga."
"Aamiin. Semoga Allah memberikan kemudahan atas harapan dan doa-doa kita, Mbak," timpal Karenina.
"Iya. Oh iya, Nin, aku kemarin minta sama Imah untuk belanja perlengkapan membuat sup kacang merah. Kamu bisa bikinnya, 'kan?" Mutia mengalihkan pembicaraan.
"Sup kacang merah? Bisa, Mbak. Meski harus sambil bolak-balik lihat resep sih."
Mereka berdua tertawa.
"Nggak apa-apa, tapi aku tahu masakanmu enak! Karena Umi juga Mas Wafi pernah cerita soal masakanmu, Nin!"
"Mbak mau saya masak sup kacang merah?" tanyanya.
"Iya, semoga kamu nggak keberatan memasakkan untukku." Mata Mutia berbinar.
"Tentu saja nggak, Mbak."
"Ya sudah, kamu ke dapur ya. Ada Imah di sana. Kamu bisa minta tolong apa pun ke dia."
Perempuan yang mengenakan gamis biru gelap itu bangkit. "Saya tinggal ke dapur ya, Mbak."
"Makasih ya, Nin."
"Sama-sama, Mbak. Saya yang harus mengatakan itu."
"Oh iya, aku minta tolong Mas Wafi suruh ke sini ya, Nin."
"Iya, Mbak. Saya permisi."
Mutia tersenyum lalu kembali merebahkan tubuh. Kehamilan ini cukup membuat tubuhnya seolah tak bertenaga. Karena sebentar saja dia bangun, maka akan terasa berat di kepala dan mata pun seperti berkunang-kunang.
**
Langkah Karenina terhenti saat Wafi tiba-tiba muncul di depannya. Pria itu menatap seolah meminta maaf.
"Kamu beneran nggak apa-apa, Aisyah?" tanyanya dengan suara lembut.
"Nggak apa-apa, Mas. Mas diminta Mbak Mutia ke kamar."
Wafi mengangguk lalu menarik napas panjang.
"Selepas Asar aku jemput kamu untuk pulang ya."
"Iya, Mas. Mas nggak perlu khawatir, aku baik-baik saja, kok. Mas selesaikan urusan Mas dulu. Nggak perlu terburu-buru."
KAMU SEDANG MEMBACA
Menikahi Luka (Sudah Tersedia Terbit E-booknya)
General FictionDiusir dari rumah oleh ibu tiri saat papanya baru meninggal tepat empat puluh hari adalah awal dari derita Karenina. Kehidupan yang serba berkecukupan harus dia lepaskan begitu saja. Kehilangan limpahan kasih sayang sang papa dan harus keluar lepas...