Menikahi Luka 6

2.8K 172 4
                                    


Satu pekan sudah Karenina tidak bekerja. Belakangan ini bisa merasa tidak tenang meski limpahan materi sudah lebih dari cukup. Setelah pergi dari apartemen, dia memilih membeli sebuah rumah mungil di sebuah kompleks perumahan.

Rumah yang dia tinggali itu tidak jauh dari masjid. Seperti pada umumnya masjid, setiap sore hari selalu ramai dengan anak-anak yang belajar mengaji. Sementara selepas Maghrib akan ada pengajian yang dihadiri orang dewasa.

Seperti malam itu, Karenina keluar untuk membeli keperluan di sebuah minimarket yang terletak di depan komplek. Dia bertemu dengan beberapa perempuan bergamis dengan khimar panjang.

Namun, Karenina tak berani untuk menyapa atau sekadar tersenyum pada mereka. Karena mereka pun seperti tak peduli saat melewatinya. Dia paham karena mungkin pakaian yang dia kenakan sangat bertolak belakang dengan yang mereka pakai.

Karenina ingat saat kuliah dulu, ada beberapa temannya yang memakai pakaian seperti itu. Ada di antara mereka yang sangat menjaga jarak dan selalu menghindar dengan teman-teman perempuan yang mengenakan pakaian terbuka. Meski begitu ada juga sebagian dari yang mau bergaul dan bercakap-cakap dengan yang bukan dari golongan mereka, meski hanya sebatas basa-basi.

"Kami hanya melaksanakan apa yang menjadi kewajiban kami sebagai seorang perempuan yang beragama Islam, Nina," jelas Yumna saat dia heran dengan penampilan temannya yang menurutnya sangat tidak leluasa dan tidak memberikan kenyamanan.

"Tapi aku juga Islam, aku biasa aja tuh! Emang wajib ya? Bukannya yang wajib itu menjilbabi hati dulu? Percuma pakai baju panjang sampai nggak kelihatan apa-apa, tapi mulut masih suka julid!" bantah Karenina kala itu.

Yumna tersenyum lebar.

"Kata siapa itu? Kata siapa kita harus menjilbabi hati terlebih dahulu?"

Karenina tak menjawab. Dia tidak ingat bsiapa yang pernah mengatakan hal seperti itu, tetapi dia sepakat dengan apa yang dia dengar.

"Nin, Allah tidak pernah memerintahkan kita para perempuan Islam untuk menjilbabi hati, tetapi Dia memerintahkan kepada kita untuk memakai pakaian yang panjang dan yang menutupi hingga dada. Kamu bisa bayangkan, Allah memberi perintah kepada kita itu dua kali loh, Nin."

"Ada di dua surah. Di surah Al-Ahzab, juga ada di surah An-Nisa'. Kalau di surah Al-Ahzab artinya,
'Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin, "Hendaklah mereka menutupkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka." Yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenali, sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.'"

Yumna tersenyum menatap temannya lalu kembali berkata, "Kamu mau dengar apa perintah Allah di surah An-Nisa'?"

Karenina mengangguk. Perempuan berjilbab panjang berwarna hitam itu mengangguk kemudian tersenyum.

"Bismillahirrahmanirrahim, 'Dan katakanlah kepada para perempuan yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali yang (biasa) terlihat. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau para perempuan (sesama Islam) mereka, atau hamba sahaya yang mereka miliki, atau para pelayan laki-laki (tua) yang tidak mempunyai keinginan (terhadap perempuan) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat perempuan. Dan janganlah mereka menghentakkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertobatlah kamu semua kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman, agar kamu beruntung.'"

"Jadi nggak ada sama sekali perintah untuk menjilbabi hati terlebih dahulu. Aku paham maksud dari apa yang kamu katakan tadi, tetapi berpakaian seperti yang diperintahkan itu adalah aturan mutlak dari Allah. Dia yang mengatur itu pasti ada maksudnya. Kita perempuan itu dihargai oleh Allah, Nin."

"Tapi bagaimana dengan mereka yang berjilbab tapi masih suka nyinyir? Bahkan teman-teman kamu yang lainnya itu kalau ketemu kita yang nggak berpakaian seperti mereka ... kayaknya kita tuh udah seperti barang najis yang harus dijauhi. Kan percuma jilbabnya!" tangkis Karenina.

Lagi-lagi Yumna tersenyum. "Nina, aku tahu apa yang kamu pikirkan, tapi jangan pernah mencampur adukkan akhlak seseorang dengan pakaian yang dia kenakan. Akhlak dan jilbab itu dia sisi yang berlawanan. Adab dan sopan santun itu adalah murni keluar dari kebiasaan seseorang. Mau dia baik atau buruk, sama sekali tidak ada hubungannya dengan jilbab. Karena jilbab adalah perintah langsung dari Allah sementara adab dan sopan santun itu murni dari pengaruh pergaulan dan wawasan dia selama ini," terang Yumna panjang lebar.

Karenina mengangguk. "Agak ribet sih ya aturan agama Islam itu. Aku sih milih yang biasa-biasa aja, Yumna. Apalagi di Islam nggak boleh pacaran, padahal pacaran itu seru tahu! Kamu nggak pengin apa?"

Mendengar penuturan Karenina, Yumna tertawa kecil. "Lain kali kita bahas soal ini, sekarang kamu mau ikut aku ke kajian, nggak?"

"Nggaklah, Yum! Aku mau jalan sama Vano!"

Suara klakson menyadarkan Karenina, hampir saja dia tertabrak mobil di depannya karena menyeberang dengan mata dan pikiran yang melanglang buana.

Seseorang perempuan keluar dari mobil, dia memiringkan kepalanya menatap Karenina.

"Mbak nggak apa-apa, kan?" tanyanya ramah.

"Nggak apa-apa. Saya salah tadi nggak nengok- nengok dulu. Maaf."

Perempuan ramah yang mengenakan gamis hitam dan jilbab lebar itu menghela napas lega.

"Syukurlah. Maafkan anak saya. Mungkin dia juga kaget tadi. Maaf ya, Mbak."

"Nggak apa-apa, Bu. Permisi."

Karenina membungkuk sopan, dia terlihat kikuk karena baju yang dikenakan malam itu memang hanya akaus tanpa lengan dan bercelana pendek.  Gegas dia menaiki motornya, dan berlalu.  Sempat sekilas Karenina melihat seorang pria berbaju koko turun dan menghampiri perempuan paruh baya tadi. Meski sekilas, jelas tertangkap jika pria itu terlihat sangat tampan.

Karenina menggeleng cepat seolah mencoba menyadarkan dirinya saat tanpa sengaja melihat pria yang menurutnya adalah anak dari ibu yang ramah itu.

**

"Hampir saja kamu bikin celaka anak orang, Wafi! Astaghfirullah, lain kali kalau pikiran nge-blank gitu, berhenti dulu. Istighfar."

"Iya, Mi. Maaf, habisnya Wafi beneran lagi banyak pikiran," tuturnya dengan mata memohon pada perempuan berjilbab putih itu.

"Ya sudah, sekarang gimana? Kita lanjut ke rumah Mutia?"

"Iya, Mi. Kita harus segera ke sana. Kasihan kalau dia harus menunggu lama."

Perempuan yang dipanggil umi oleh Wafi itu mengangguk. Mereka kemudian masuk mobil lalu meluncur meninggalkan tempat itu.

"Kamu itu memangnya sedang berdebat apa sih sama Mutia? Kalau sampai dia uring-uringan kayak gini, kan jadi nggak enak sama keluarga besarnya, Wafi."

Pria berkulit putih itu terlihat tidak sedang baik-baik saja. Wajahnya tampak muram. Sudah beberapa bulan terakhir istrinya merajuk soal anak padanya. Menikah hampir sepuluh tahun dengan Mutia, hingga kini mereka memang belum dikaruniai momongan, hal itu yang kerapkali membuat Mutia mengajukan permintaan agar dirinya menikah lagi.

*

Menikahi Luka (Sudah Tersedia Terbit E-booknya)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang