Wafi diam, dia seperti tengah menghadapi sidang bahkan lebih berat dari itu. Di depannya Umi dan Mutia menatap intens menunggu jawaban.
"Ayolah, Mas Wafi, ini bukan sekadar menikah lagi seperti yang pernah aku katakan, tapi ...."
"Oke, terserah kamu saja. Sama seperti yang pernah aku bilang, aku ikut apa yang kamu mau."
Hadijah menarik napas dalam-dalam. Meski dirinya setuju dengan ide menantunya, tetapi tentu saja dia tidak ingin Karenina hanya dijadikan perempuan yang 'hanya' menjadi perantara keturunan untuk putranya.
"Wafi, meski kamu menyerahkan semuanya pada istrimu, tetapi Umi tetap kamu harus memperlakukan seseorang yang akan kamu nikahi nanti seperti yang seharusnya diperlakukan."
Wafi tak menjawab, sementara Mutia mengangguk setuju.
"Dia perempuan yang bisa dibilang baru saja berhijrah, kamu memiliki tanggung jawab besar untuk membuat dia menjadi seorang muslimah yang istikamah dalam hijrahnya," imbuh Hadijah.
"Karenina itu bisa dibilang sebatang kara, dan kamu harus memberi kenyamanan untuknya, jadi Umi sekarang yang merasa keberatan jika kamu hanya mengikuti tanpa memiliki keinginan untuk membimbingnya jadi lebih baik!"
Wafi membuang napas perlahan. Di depannya ada foto Nida berdua bersama Karenina. Tak dipungkiri olehnya sebagai pria normal. Karenina memiliki kedua mata yang indah, hidung mancung, dan senyum yang memesona. Wafi yakin tidak ada satu pun pria yang akan menolak jika harus menikah dengan Karenina.
Namun, meski sedemikian istimewa perempuan di foto itu, tetap saja hatinya masih belum bisa terbuka seperti yang seharusnya dilakukan para calon suami. Mencintai dengan sepenuh hati.
"Niatkan semua karena Allah, Mas. Insyaallah semua akan terasa ringan. Ini demi sebuah jalan dakwah yang mungkin bagi sebagian orang akan mencemooh, tapi kita dan keluarga kita yang tahu. Percayalah!"
Ada hal berat yang sebenarnya menggantung di hatinya. Keluarga Mutia yang terkesan menolak meski tidak langsung juga membuat langkahnya terasa berat.
"Tapi Abah dan umimu ... mereka juga berhak tidak setuju, Mutia," ungkap Wafi.
"Abah juga Umi sudah aku beri penjelasan, dan mereka akhirnya menyerahkan semua keputusan padamu, Mas Wafi."
Mutia diam sejenak, dia tahu ini sangat naif dan tidak masuk akal bagi siapa pun yang mendengar dan mengetahui. Meski ada beberapa yang memiliki keputusan seperti dia, tetapi tentu masih sangat sedikit yang melakukan hal seperti ini.
Kesiapan mental memang sudah jauh-jauh hari dia tanamkan. Pun dengan suara-suara sumbang yang sudah pasti akan mampir di telinganya dan bukan tidak mungkin akan berpengaruh pada lembaga yang dikelola Abah juga suaminya.
"Mas, yang menjalani kehidupan rumah tangga ini adalah aku, Mas Wafi juga seseorang yang nanti akan menjadi adikku. Berhenti membicarakan tentang pendapat orang lain, berhenti untuk memikirkan pandangan orang lain terhadap keputusan ini. Yang paling penting adalah, aku sudah siap insyaallah dengan apa pun nanti, karena tujuanku jelas," tegas Mutia dengan mata menatap lekat pada netra suaminya.
Wafi kembali menarik napas dalam-dalam, dia lalu menoleh ke Hadijah.
"Umi, sampaikan semua yang Umi tahu soal Karenina. Wafi ingin mendengarnya!"
Perempuan berwajah bijak itu tersenyum. Dengan jelas dan rinci dia mulai menceritakan siapa Karenina dari awal hingga akhirnya sampai menjadi begitu dekat dengan keluarga mereka.
"Jika kamu bertanya kenapa kami sepakat memilih Karenina, itu karena Umi dan Mutia merasa dia benar-benar sudah menemukannya rasa ikhlas dalam dirinya, dan dia perempuan yang memiliki prinsip meskipun sempat harus terombang-ambing terlebih dahulu."
"Setiap orang memiliki masa lalu, Mas. Siapa pun dia, pasti ingin mencacat kebaikan di setiap langkahnya, tetapi Tuhan juga pasti punya skenario sendiri agar hamba-Nya bisa belajar dari kesalahan dalam hidup," sambung Mutia.
Wafi bergeming. Lagi-lagi tidak ada yang salah dari ucapan kedua perempuan yang sangat dia cintai itu. Namun, apakah mungkin kelak jika dia sudah menikah akan serumah dengan Mutia? Tentu saja hal itu suka atau tidak akan menggores hati Mutia.
"Umi, Mutia, sejauh ini apa yang Umi dan kamu pilih, Mutia, memang semuanya dilandasi karena Allah. Tapi, ada satu permintaan yang mungkin harus diungkapkan mulai saat ini. Padamu, Mutia juga pada Umi." Pria yang mengenakan kurta berwarna cokelat itu menatap bergantian pada Hadijah dan Mutia.
"Apa itu, Nak?"
Menarik napas dalam-dalam, dia menjawab, "Wafi minta setelah Wafi menikahi Karenina, Wafi akan mengajaknya tinggal di perumahan komplek Ustaz, yang disediakan pihak pondok. Jadi tempatnya tidak dekat dengan rumah Umi, dan juga jauh dari rumah kita, Mutia." Wafi menatap wajah sang istri dengan tatapan hangat.
Sejenak mereka semua diam.
"Aku tahu kamu ikhlas, tapi walau bagaimanapun kamu seorang perempuan yang sangat wajar jika memiliki rasa cemburu."
"Tapi aku ...."
"Jangan membantah untuk syaratku ini. Sebagaimana Siti Sarah yang cemburu pada Siti Hajar, yang pada akhirnya Nabi Ibrahim diutus Allah untuk membawa Siti Hajar untuk pergi, maka aku ingin menjagamu agar tetap pada satu kata yaitu, ikhlas!" Wafi berucap tegas.
"Baiklah, Mas Wafi. Aku setuju, tapi kamu tidak melarang aku untuk berkunjung, kan?"
Pria yang memiliki jenggot dan sedikit cambang itu kembali menatap istrinya.
"Tidak, aku tidak melarang, tapi aku harap setiap kamu akan berkunjung, kamu hubungi aku terlebih dahulu."
Helaan napas lega terdengar dari Mutia. Dia kemudian mengangguk dan menoleh kepada sang mertua.
"Umi, sebaiknya segera kita bicarakan hal ini dengan Karenina. Semoga dengan kesiapan Mas Wafi, dia tidak akan berpikir lebih lama lagi," ujarnya sembari meraih tangan Hadijah.
Perempuan yang memakai khimar berwarna putih itu mengangguk. Terdengar Hadijah mendoakan agar Mutia selalu diberikan keberkahan dalam hidupnya.
"Umi terharu dengan keikhlasanmu, Mutia."
Senyuman tercetak di bibir perempuan berkulit sawo matang itu, kemudian dengan mata berbinar dia membalas tatapan sang suami.
"Terima kasih, Mas Wafi. Terima kasih sudah melakukan apa yang aku inginkan. Semoga dengan ini keluarga kita semakin diberikan keberkahan," tuturnya.
**
Sore itu saat Karenina menyiapkan beberapa gamis pesanan online yang akan segera dikirim, terdengar suara centil Nida.
"Masuk, Salihah!" serunya dari dalam.
Aroma pisang keju yang baru matang memanjakan indra penciuman Karenina. Benar saja, gadis yang memakai bergo merah itu membawa sepiring pisang keju yang terlihat sangat menggoda.
"Ini untuk buka puasa, Kak!"
"Masyaallah, terima kasih, Nida. Ibu bikin banyak ya? Ini kenapa Kak Nina dikirimi banyak banget?"
Nida mengerucutkan bibirnya sembari mengangguk.
"Kata Ibu hari ini, kan puasa pertama, jadi nanti bakal.ada buka puasa bareng di rumah. Ada Om Wafi, Aunty Mutia, eyang putri, Aunty Farhana dan Abang Faruk, juga Kak Hanina, mereka datang dari Bali!"
Karenina mengernyitkan dahi. Farhana adalah anak pertama dari Umi Hadijah. Farhana memang jarang muncul karena menurut Hadijah putri pertamanya itu sangat sibuk dengan bisnis salin kecantikan muslimah dan butiknya.
"Palingan nanti Kak Nina diundang juga," cicit Nida sembari duduk di depan akuarium. "Tadi Ibu sih pesan begitu."
"Nggak usahlah, Kak Nina nggak usah diundang. Bilang sama Ibu, ya. Kak Nina mau ke rumah Ustazah Juariah, selepas Maghrib nanti," tuturnya beralasan.
"Oke, nanti Nida bilang ke Ibu."
**
Terima kasih sudah berkunjung. Salam hangat 😘
Kalau nemu typo, colek aja yaa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menikahi Luka (Sudah Tersedia Terbit E-booknya)
General FictionDiusir dari rumah oleh ibu tiri saat papanya baru meninggal tepat empat puluh hari adalah awal dari derita Karenina. Kehidupan yang serba berkecukupan harus dia lepaskan begitu saja. Kehilangan limpahan kasih sayang sang papa dan harus keluar lepas...