Karenina menyeka dengan lembut tubuh suaminya. Menurut dokter sore nanti Wafi sudah diperkenankan untuk pulang. Dalam hati dia menginginkan agar sang suami tinggal dan dirawat di rumahnya, tetapi tentu itu hanya sekadar keinginan. Jika pun nanti pada akhirnya Wafi pulang ke kediaman Mutia, dia bisa menerima."Aisyah."
"Ya, Mas?" Karenina menatap paras sang suami. Beberapa hari berada di rumah sakit, sangat terlihat perubahan pada suaminya. Pria itu tampak lebih kurus.
"Mas? Kok malah bengong? Ada apa?"
"Sore nanti aku bisa pulang, 'kan?"
"Bisa, kenapa, Mas?"
Menarik napas dalam-dalam, Wafi meraih tangan sang istri, lalu menggenggamnya erat.
"Aku sudah minta ke Mutia agar aku pulang ke rumah kita."
Ucapan Wafi membuat Karenina menyipitkan mata.
"Mas Wafi minta ke Mbak Mutia?"
"Iya, dan Mutia mengizinkan," jawabnya dengan kedua sudut bibir tertarik.
"Mbak Mutia mengizinkan?"
"Iya, Sayang. Kenapa? Kamu nggak percaya?"
"Bukan, Mas. Bukan begitu, tapi ...."
"Bahkan sebelum aku meminta, Mutia justru yang mengatakan hal itu lebih dulu," jelasnya.
Mendengar penuturan sang suami, tentu saja dia bahagia meski sedikit tak percaya. Mengingat ada Salma yang sudah pasti membutuhkan abinya setelah sekian lama tak bersua.
"Tapi bagaimana dengan Salma? Apa Mas Wafi tidak merindukan Salma?"
Menarik napas dalam-dalam, pria yang di tangannya masih menempel infus itu, mengusap pipi Karenina.
"Ini yang bikin aku percaya kamu adalah perempuan yang benar-benar tepat untuk kumiliki." Wafi menatapnya dengan mata penuh kehangatan.
Pipinya merona mendengar pujian dari sang suami.
"Mas Wafi," protesnya salah tingkah.
Mengulum senyum, Wafi mencubit gemas pipi istrinya.
"Untuk Salma, Mutia bilang dia bisa datang ke rumah kita siang hari, dan mengajak Salma ke sini. Kamu nggak keberatan, 'kan?"
"Nggak dong, Mas. Sama sekali nggak keberatan, aku malah senang!" jawabnya antusias sembari menggeleng cepat.
Seperti inilah yang dia inginkan. Hidup saling mencinta dan mengasihi. Dia dan Mutia bersama untuk sebuah bahagia, tak ada salah paham yang membuat mereka saling jauh. Mungkin jika ada percikan cemburu adalah hal wajar karena itu sifat wajar seorang perempuan.
Akan tetapi, jika semuanya dilabuhkan pada satu alasan dan tujuan yang sejak mula dijadikan fondasi semuanya tentu akan berjalan dengan baik.
"Kalau begitu , saya bebenah dulu ya, Mas. Ada beberapa barang yang harus dibereskan, supaya sore nanti kita nggak repot lagi."
Wafi mengangguk dengan bibir tersenyum.
"Aisyah."
"Ya, Mas?"
"Makasih, ya."
Kali ini Karenina mengerutkan keningnya.
"Makasih untuk apa?"
"Untuk semua kesabaran dan keikhlasan yang sudah kamu beri untukku."
Kalimat Wafi membuat matanya mengembun. Kata-kata yang diucapkan suaminya itu terasa sangat dalam dan membuat dirinya merasa dihargai sebagai seorang istri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menikahi Luka (Sudah Tersedia Terbit E-booknya)
General FictionDiusir dari rumah oleh ibu tiri saat papanya baru meninggal tepat empat puluh hari adalah awal dari derita Karenina. Kehidupan yang serba berkecukupan harus dia lepaskan begitu saja. Kehilangan limpahan kasih sayang sang papa dan harus keluar lepas...