Wafi cemas saat mendengar laporan jika kemarin istrinya pingsan. Setelah mengajar gegas dia mendatangi kediaman Karenina.
"Mas Wafi?" sapanya hangat saat membuka pintu dan mencium punggung dan sang suami.
"Aisyah kamu nggak apa-apa?" tanyanya setelah menutup pintu.
"Nggak apa-apa, Mas. Kenapa emang?"
"Aku dapat informasi kalau kemarin kamu pingsan?"
"Saya nggak apa-apa, Mas. Mas mau minum apa? Saya buatkan."
"Nggak, sini duduk di sampingku!" titah Wafi menepuk sofa di sebelah dia duduk.
"Mas nggak perlu khawatir, saya baik-baik saja. Memang sepertinya kemarin itu saya kurang tidur," tuturnya mencoba menenangkan hati suaminya.
Wafi menatapnya penuh kasih. Karenina memang muncul belakangan di hidupnya, pun demikian dengan rasa cinta yang di miliki untuk perempuan itu. Namun, begitu banyak kejutan yang diberikan Karenina padanya.
Ada banyak hal yang membuatnya terkagum-kagum. Selain tentu saja kecerdasan yang dimiliki, kesabaran yang luas yang dipunyainya menjadi hal yang sangat dikagumi oleh Wafi. Tak pernah mengeluh juga salah satu dari sifat yang disukai pada diri sang istri.
"Aisyah, kalau kamu lelah kenapa nggak bilang ke aku kemarin? Kenapa kamu mengorbankan dirimu sendiri? Heum?" Lembut Wafi menyingkirkan anak rambut di dahi sang istri.
"Mas, kan soal itu sudah dibilang kemarin kalau saya sama sekali tidak merasa lelah, bukan Mas Wafi atau siapa pun yang membuat saya kelelahan, tetapi diri saya sendiri. Saya kemarin memang merasa agak zalim karena memaksakan diri untuk tetap menyelesaikan pekerjaan saya," jelasnya dengan bibir tertarik.
"Kamu yakin nggak apa-apa?" Wafi tampak masih khawatir.
"Iya, Mas." Dia menarik napas kemudian menoleh. Sungguh dirinya tak ingin membuat pria di sebelahnya itu khawatir. Karena ada seseorang yang harus lebih dikhawatirkan daripada dirinya. Seseorang yang begitu dia hormati. Seseorang yang kini akan melahirkan penerus bagi pesantren ini.
"Sekarang saya harap Mas nggak perlu khawatir lagi. Saya baik-baik saja, 'kan?"
Wafi mengangguk pelan.
"Aisyah ... mengenai permintaan Mutia yang waktu itu agar kamu kembali menemaninya mungkin memang tidak perlu."
"Kenapa, Mas?"
"Nggak apa-apa, aku rasa itu akan membiarkan dirimu tak nyaman."
Karenina bergeming. Ucapan Wafi tidak salah, sebagai perempuan terlebih seorang istri kedua, sudah barang tentu perasaan tidak nyaman akan muncul terlebih dengan kehamilan Mutia.
"Nanti aku yang akan bicara padanya."
"Tapi ini permintaan Mbak Mutia, Mas." Wajahnya terlihat cemas. Cemas jika hal tersebut akan membuat Mutia tersinggung dan akan menyangka jika dirinya tak bahagia dengan calon bayi yang sebentar lagi akan lahir itu.
"Aisyah, Mutia meminta dan kamu berhak menolak atau menerima, Mutia hanya meminta, buka memaksa. Jadi kamu bisa menolak, bahkan jika dia memaksa sekali pun kamu pun hak untuk menolak."
Karenina menarik bibirnya singkat. Ada hal yang pelik yang dia ingin ungkap, tetapi tentu akan membuat lebih panjang permasalahan ini. Terlebih jika Wafi tahu cikal bakal masalah itu adalah dari keluarganya sendiri.
"Mas."
"Hmm?"
"Apa saya boleh mengunjungi makam Papa?"
Wafi memiringkan tubuhnya menghadap Karenina.
"Tentu. Tentu boleh. Nanti kita ke sana."
"Mas mau ke makam Papa juga?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Menikahi Luka (Sudah Tersedia Terbit E-booknya)
General FictionDiusir dari rumah oleh ibu tiri saat papanya baru meninggal tepat empat puluh hari adalah awal dari derita Karenina. Kehidupan yang serba berkecukupan harus dia lepaskan begitu saja. Kehilangan limpahan kasih sayang sang papa dan harus keluar lepas...