Kelahiran Salma membuat semua berubah. Farhana seolah sedikit melupa kepada Karenina. Sementara Wafi meski tidak pernah tidak adil dalam hal jadwal, tetapi jika berada di kediaman Karenina, dia selalu bercerita tentang Salma dan kebahagiaan Mutia.
Akan tetapi, hal itu baginya tak jadi soal, karena atas izin Wafi, Mira diperbolehkan untuk tinggal sesekali di kediamannya.
"Asal beliau bisa menjagamu, aku nggak apa-apa, tapi katakan padaku jika ada hal yang tidak membuatmu nyaman karena itu." Demikian pesan Wafi setelah dia mengungkapkan semua kisah tentang dia dan mama tirinya.
Keputusannya untuk mengajak Miranda tinggal bersama bukan pemikiran sesaat. Mendengar kisah Mira yang kini sendiri dan tak lagi dianggap oleh Alvin anaknya sendiri.
Kehadiran bayi mungil bernama Salma memang mendatangkan kebahagiaan yang luar biasa bagi Wafi. Tentu saja hal itu bisa dimaklumi oleh Karenina, tetapi tidak oleh Mira.
Mama tiri Karenina itu merasa putrinya tidak diperlakukan adil sebagai mana mestinya. Hal itu yang membuat dirinya berulangkali mengingatkan agar Karenina bicara soal ini. Akan tetapi, selalu saja dia menolak karena menganggap hal itu adalah hal biasa.
"Karena toh nanti jika anak Nina lahir bisa jadi hal serupa juga dilakukan Mas Wafi, Ma," dalihnya.
"Iya, Mama tahu, tapi kamu sekarang sedang mengandung dan juga butuh perhatian dari suamimu, Nina. Jika pun bukan kamu, tapi anakmu. Dia butuh disapa abinya, dia butuh mendengar suara Wafi, 'kan?"
Karenina tersenyum tipis.
"Mama, terima kasih, ya. Mama sudah begitu perhatian pada Nina." Dia menatap Mira dengan mata berkaca-kaca. "Nina bersyukur bisa bertemu Mama lagi dengan kondisi seperti ini. Mama tahu? Ketika ada Mama, maka Nina sudah merasa nyaman meski Mas Wafi tidak di sini," imbuhnya dengan suara bergetar.
Jika dia boleh jujur, sebenarnya dirinya pun sangat menginginkan Wafi lebih sering berinteraksi dengan anak yang dia kandung. Akan tetapi, karena memang kesibukan suaminya yang luar biasa belakangan ini dan kehadiran Salma menjadikan dirinya sedikit terabaikan.
"Nina ...." Mira menarik napas dalam-dalam, "Jika ada yang harus disalahkan dalam hal ini adalah Mama. Mama yang menyebabkan kamu seperti ini, Nin. Mama sudah sangat bersikap tidak adil padamu. Mama menyesal. Sangat menyesal. Maafkan Mama."
Kedua perempuan berbeda generasi itu berpelukan. Semua kisah masa lalu kini melebur menjadi satu bentuk ikatan yang lebih kuat. Tak ada yang menyangka garis hidup seseorang.
Siapa sangka keangkuhan Miranda berubah menjadi sebuah rasa tawadhu dan qanaah. Siapa sangka sikap manja dan keras kepala Karenina berubah menjadi sosok lemah lembut dan penuh kasih saat dirinya semakin dekat dengan Sang Pencipta.
"Ma, apa Mama pernah menghubungi Alvin?" tanya Karenina setelah mengurai pelukan.
Perempuan berjilbab putih itu menggeleng.
"Semenjak rumah itu disita, dia tidak pernah menemui Mama."
"Apa Alvin tahu di mana Mama tinggal?"
Mira menarik napas dalam-dalam lalu mengangguk.
"Tahu, Nin. dia pernah bertemu sama Mbok Ti asisten rumah tangga kita dulu."
Karenina membuang napas perlahan. Dia bisa merasakan bagaimana sakitnya hati seorang ibu ketika diabaikan oleh anaknya. Dia juga tahu seperti apa sayangnya Mira terhadap Alvin meskipun akhirnya rasa sayang itulah yang menjerumuskannya.
Ketukan di pintu mengalihkan perhatian Karenina. Terdengar suara tak asing dari luar tengah memanggil namanya.
"Siapa, Nin?"
"Mbak Hana, Ma."
"Hana ... kakak Wafi?"
"Iya, Ma."
Karenina sengaja tidak pernah menceritakan perihal Farhana kepada mamanya. Dia khawatir jika diceritakan justru akan menambah rumit persoalan yang sejatinya belum selesai.
"Mbak Hana? Mari masuk," ajaknya saat membuka pintu.
Farhana diam, dia hanya mengamati perut Karenina yang terlihat sedikit membuncit.
"Kamu tahu, 'kan? Aku nggak pernah suka sama kamu! Aku nggak pernah suka sama orang-orang yang belagak paling bersih padahal sendirinya kotor! Aku benci pada circlemu dan aku benci padamu karena sudah begitu saja masuk ke keluarga kami dengan masa lalumu yang kotor!"
"Mbak, tahan, Mbak. Ayo kita masuk. Nggak enak di depan pintu seperti ini karena bisa saja dilihat oleh santri dan asatiz. Mari masuk, Mbak." Karenina berusaha tetap lembut dan tak terpengaruh oleh ucapan Farhana.
"Jangan sok baik! Jangan kamu pikir dengan lahirnya Salma aku tidak lagi mengganggumu! Justru karena ada Salma aku akan lebih menginginkan kamu pergi dari keluargaku!"
Karenina memejamkan mata berharap mamanya tidak muncul di tengah-tengah mereka.
"Tolong pelankan suaranya, Mbak Hana," mohonnya.
"Kenapa? Kamu malu? Kamu malu karena kamu bukan dari keluarga yang terhormat? Ah iya! Kamu pasti sudah tahu, 'kan? Kalau teman kamu itu sekarang sedang digerogoti penyakit hina? Kamu tahu, 'kan?"
Kali ini Karenina membalas tatapan kakak iparnya. Keningnya terlihat berkerut mencoba meyakinkan pendengarannya.
"Digerogoti penyakit? Siapa, Mbak? Siapa yang sedang sakit?"
Farhana melipat kedua tangannya di dada, sambil menyeringai dia berkata, "Perempuan yang kamu bilang temanmu itu. Perempuan yang menjajakan tubuhnya demi uang! Kamu pasti tahu!"
Karenina membasahi tenggorokannya yang mendadak kering.
"Sheila? Apa yang Mbak maksud itu Sheila, Mbak?" tanyanya dengan bibir bergetar dan mata berkaca-kaca.
"Kenapa? Kamu kaget?" tanyanya mengejek kalau tertawa kecil. "Atau jangan-jangan ... kamu takut karena mungkin kamu juga orang yang terinfeksi virus itu? Kamu khawatir, 'kan? Kamu pasti sedang berpikir apakah kamu juga mengidap penyakit itu! Iya, 'kan? Karena biasanya teman pelacur itu sama saja! Sama-sama pelacur!"
Tanpa disadari oleh Karenina, ternyata sang mama sudah berada di belakangnya dan saat Hana tengah sibuk merangkai kata merendahkan putrinya, Kira tak sanggup menahan amarah hingga satu tamparan keras mendarat di pipi kakak pertama Wafi itu.
"Hati-hati kamu kalau bicara! Anak saya tidak seperti yang kamu pikir dan ucapkan!" Mira masih mengepalkan tangannya. Tampak matanya nyalang memindai tajam kepada Farhana.
"Mama."
"Seperti ini kakak dari suamimu, Nina? Dan kamu tidak pernah bercerita tentang dia? Kenapa kamu tutup-tutupi?" Mira tampak geram, dia terus menatap Farhana yang tengah kesakitan memegang pipinya.
"Mama, please, kita masuk. Ayo, Mbak Hana, kita masuk. Kita bicara baik-baik." Karenina terlihat serba salah. Dia yakin jika pertengkaran tadi diketahui beberapa santri dan asatiz karena memang hari ini hari aktif dan sedang jam istirahat.
"Mama? Jadi perempuan bar-bar ini mamamu?" ejek Farhana kembali menyeringai dengan tangan masih memegang pipi. "Jadi dia mamamu? Kamu bilang kamu sudah tidak punya mama? Oh iya, apa dia mama yang menjualmu pada laki-laki yang menginginkan kehangatan?"
"Mbak Hana, please! Berhenti! Berhenti menyudutkan saya. Ayo masuk, Mbak. Apa yang Mbak lakukan ini sudah membuat Mas Wafi malu. Ayo masuk, Mbak." Karenina terlihat mulai menangis.
"Asal kamu tahu, Nina, yang bikin Wafi malu itu bukan aku, tapi kamu! Kamu yang bikin Wafi malu. Bukan hanya Wafi, tapi keluarga besar kami yang malu!"
"Mbak Hana." Suara Karenina tersenyum memohon. Tangannya mencoba meraih lengan kakak iparnya itu agar mau masuk rumah.
"Aku nggak sudi masuk rumahmu apalagi ada perempuan itu! Ingat! Sebaiknya kamu jangan pernah hadir di hidup Wafi dan keluarga kami selamanya! Segera, Nina! Segera! Atau ... bayi itu yang akan jadi korbannya!" ancam Hana seraya menepis kuat tangan Karenina hingga perempuan bergamis abu-abu itu hampir jatuh terduduk jika tak segera ditahan oleh Mira.
**
Tahaan, jan esmoni, hehe😅
Terima kasih sudah berkunjung 🫰
KAMU SEDANG MEMBACA
Menikahi Luka (Sudah Tersedia Terbit E-booknya)
General FictionDiusir dari rumah oleh ibu tiri saat papanya baru meninggal tepat empat puluh hari adalah awal dari derita Karenina. Kehidupan yang serba berkecukupan harus dia lepaskan begitu saja. Kehilangan limpahan kasih sayang sang papa dan harus keluar lepas...