Menikahi Luka 4

3K 171 5
                                    


Menunduk, Karenina tak bisa membalas pertanyaan mama dari Jonas. Mira, adalah seorang single parent. Semenjak papanya memilih pergi dengan selingkuhannya dua puluh tahun yang lalu, hingga kini pria yang bernama Aji itu tidak pernah menunjukkan batang hidungnya. Kala itu usia Jonas masih tujuh tahun.

"Maafkan saya, Karenina, saya hargai kamu karena sudah mencintai anak saya, tapi saya minta kamu tinggalkan dia. Karena saya punya catatan buruk tentang pekerjaan seperti yang kamu lakukan. Cukup saya yang mengalami peristiwa buruk dengan seorang perempuan yang berprofesi seperti kamu, bukan anak saya!" Mira tegas membuat benteng untuk dia dan Jonas.

Siang itu Mira mengajaknya untuk bertemu di sebuah restoran tanpa sepengetahuan Jonas. Setelah pertemuan pertama yang berlangsung datar, rupanya Mira menyimpan banyak kalimat untuk Karenina.

"Jadi kamu bisa membuat alasan apa pun selain untuk menjauhi anak saya. Kamu paham?"

Perempuan yang masih terlihat cantik di usia yang berkepala lima itu menatap lekat padanya. Tak disangka oleh Karenina jika hal ini aka terjadi, karena saat mereka bertemu pertama kali bersama Jonas, sambutan Mira sangat baik dan bersahabat.

"Ada hal yang sangat beralasan kenapa saya mencegah hubungan kalian, seperti yang saya ceritakan tadi, saya hanya tidak ingin hal buruk terjadi. Saya tidak menghalangi kalian dekat, tapi hanya sebatas teman, bukan pasangan yang akan menikah. Semoga kamu bisa mengerti, Karenina!"

Mendengar semua yang diungkap okeh Mira, tak ada yang bisa dia lakukan kecuali mengangguk meski hatinya terasa teriris.

"Aku berharap kamu menemukan kebahagiaan bersama Jonas, meski mungkin akan ada saja halangan di hubungan kalian, tapi aku berharap kamu bisa melewatinya, Nin!" Ucapan Sheila terngiang kembali. "Karena nggak semua orang tua akan rela anaknya menikah dengan perempuan yang sudah telanjur dicap sebagai perempuan malam," ungkap Sheilla lagi.

Benar, tidak ada yang salah dari ucapan rekannya itu, dan dia pun tidak bisa mengubah atau mengoreksi apa yang menjadi alasan atau trauma seorang Miranti di masa lalu.

"Kamu mengerti, kan?"

"Iya, Tante. Saya mengerti."

"Bagus. Terima kasih sudah mau menemui saya. Saya harus kembali ke kantor. Oh iya, ini ada cek yang kamu bisa cairkan sewaktu-waktu kalau kamu butuh. Ini bukan untuk menyuap kamu, saya hanya turut prihatin pada perjalanan hidupmu. Anak saya sudah banyak cerita tentang kamu. Terima ya! Saya harus pergi!" Miranti menyorongkan amplop putih kepadanya. "Saya minta kamu terima. Selamat siang." Perempuan itu kalau mengayun langkah cepat meninggalkan Karenina yang masih terdiam menatap amplop pemberian Miranti.

Miranti benar, dia terlalu naif jika berharap pada Jonas. Pria baik itu tidak pantas menjadi pasangannya. Jonas mungkin sudah tidak asing dengan kehidupan malam, tetapi dia masih bisa menghargai dirinya setidaknya saat mereka hanya berdua saja.

Sementara dirinya? Andai ada pemindai yang bisa menggambarkan bekas atau tanda jamahan pria di tubuhnya, pasti seluruh tubuhnya akan tercetak tanda-tanda itu. Dan sudah dipastikan tidak ada satu jengkal pun di tubuhnya yang luput dari tangan atau bibir pria yang mencari kesenangan setiap malam.

Trauma yang dialami Miranti pun tidak ada yang bisa menyalahkan, termasuk dirinya. Menelisik semua yang terjadi, Karenina menggeleng cepat. Dia tidak boleh egois, cukup keegoisan yang dulu sudah membuat dirinya menyesal seumur hidup. Kini dia bertekad harus bisa memikirkan bagaimana orang lain harus menanggung beban atau trauma pada hidup mereka masing-masing dan dia harus bisa memahami semuanya.

Karenina membuka amplop di depannya, matanya hampir tak percaya dengan nominal yang tertulis di sana, lima ratus juta bukan yang yang sedikit baginya. Terlebih menurut Miranti uang itu untuk bersimpati pada kisah hidupnya. Namun, Karenina menggeleng dan kembali memasukkan kertas cek itu ke dalam amplop. Meski saat ini dia sangat butuh uang, tetapi bukan itu yang dia cari.

Jauh di lubuk hatinya, dia menginginkan ketenangan dan rasa nyaman. Beberapa bulan hidup di dunia malam dengan berbagai macam tipuannya, dia merasa terkadang lelah berpura-pura tertawa bahagia saat mendapatkan uang dan tips dari pelanggan. Ada sudut hati yang berteriak memberontak ingin didengar.

Angin sepoi-sepoi membawa suara azan di telinga Karenina. Ada masjid tak jauh dari restoran tempat dia dan Miranti bertemu. Tak ada yang menarik dari suara itu baginya, karena sejak dulu pun dia selalu mendengar. Akan tetapi, hatinya terketuk saat beberapa salah satu dari pegawai restoran itu mendekat dan mengatakan jika dia dan semua yang bekerja siang ini akan ke masjid untuk salat Zuhur.

"Kalau Mbak masih mau di sini, silakan, tapi kami tidak bisa melayani, karena ini sudah aturan dari pemilik restoran ini. Mungkin Mbak mau salat, di masjid kamu ada disediakan mukena, Mbak. Maaf, saya permisi dulu." Perempuan bertubuh mungil mengenakan celemek itu membungkuk sopan lalu meninggalkan Karenina bersama dengan pelayan yang lainnya.

Salat, entah kapan terakhir dia melakukan itu. Kewajiban yang mungkin terakhir dia lakukan saat masih mengaji dengan Ustaz Ali saat masih duduk di bangku sekolah di sekolah dasar. Kala itu papa dan mamanya sepakat memanggil ustaz untuk mengajarinya salat dan mengaji.

Karenina mengedarkan pandangan ke seluruh sudut restoran. Masih ada beberapa yang sama sepertinya, duduk menikmati embusan angin. Ada juga yang mengobrol dan yang sebagian lainnya asyik bermain dengan gadget mereka.

Karenina merapikan rambutnya yang ditiup angin kemudian membetulkan kancing blouse -nya yang terbuka di bagian atas. Tadinya memang dia sengaja membiarkan satu kancingnya terbuka, tetapi entah kenapa sapa ramah dari pelayan tadi membuatnya malu.

Menarik napas dalam-dalam, dia meneguk minuman yang tadi dipesankan Miranti. Dia meletakkan gelas kembali ke meja saat telepon genggamnya berdering.

"Nina, kamu di mana?" Suara Jonas terdengar dari seberang.

Karenina tersenyum tipis, tentu saja dia tidak mungkin mengatakan hal yang sesungguhnya.

"Aku ... aku dalam perjalanan, Jo. Maaf aku nggak kasi kabar ke kamu."

"Perjalanan? Perjalanan ke mana?" desaknya.

"Eum ... ke Bali. Aku ke Bali," sahutnya cepat.

"Bali?"

"Iya. Aku diajak klienku semalam. Mungkin untuk beberapa hari aku off. Maaf belum sempat kasi kabar tadi."

Jonas mengernyit, dia merasa Karenina sengaja pergi, karena terakhir mereka bertemu, tidak ada sama sekali pembicaraan tentang Bali di antara mereka.

"Iya, tapi kenapa mendadak? Kenapa semalam kamu nggak bicara apa pun? Kamu yakin kamu baik-baik saja?" Kali ini terdengar kekhawatiran pada masa suara pria bersuara bariton itu.

Menarik napas dalam-dalam, Karenina bisa merasakan kegelisahan Jonas. Dia tahu seperti apa pria itu melindunginya.

"Maaf, Jo. Aku lupa bicara soal ini ke kamu. Lagian kamu, kan juga butuh latihan untuk perform di acara peresmian klub milik Niko."

Sejenak Jonas diam, sementara Karenina terus berusaha agar kebohongannya bisa dipercaya.

"Eum ... udah dulu ya, Jo. Nanti aku telepon lagi. Bye, Jo!"

Dia mengakhiri obrolan, dan langsung mematikan paket data.

"Aku nggak mau kamu jadi anak durhaka, Jo. Karena kamu begitu ingin kita bersatu sementara mamamu tidak," gumamnya sembari bangkit dan pergi meninggalkan restoran itu.

**



Menikahi Luka (Sudah Tersedia Terbit E-booknya)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang